RIYADH
- Arab Saudi menyampaikan keinginannya untuk memperkaya uraniaum, bahan
utama senjata nuklir. Keinginan itu muncul, saingan utamanya, Iran,
juga memperkaya uranium melalui program nuklirnya.
Ambisi Riyadh untuk memiliki program nuklir seperti Teheran disampaikan Pangeran Turki al-Faisal, mantan kepala intelijen Arab Saudi, kepada Reuters.
Dia mengatakan bahwa negaranya tidak akan melepaskan hak ”berdaulat”-nya untuk memiliki sebuah program nuklir sipil.
Pangeran Turki menunjuk Iran sebagai contoh argumennya, di mana Teheran membuat kesepekatan dengan Amerika Serikat (AS) dan kekuatan dunia lainnya pada 2015 yang memberikan hak Teheran untuk menjalankan program nuklir sipil. Hak itu diberikan sebagai pembenaran jika Iran melepaskan ambisi untuk memiliki senjata nuklir.
Dalam beberapa pekan mendatang, Riyadh dijadwalkan mengadakan pembicaraan dengan Washington mengenai kerja sama nuklir. Pembicaraan itu akan memungkinkan perusahaan AS mengajukan penawaran kontrak multi-miliar dolar untuk membangun dua reaktor nuklir pertama di kerajaan Teluk tersebut.
Arab Saudi sejatinya sudah lama menginginkan pembangunan reaktor nuklir untuk tujuan damai dan sipil. Program ini bisa menjadi jalan bagi Riyadh untuk memperkaya uranium, bahan untuk pembuatan senjata nuklir.
Menurut Pangeran Turki, Saudi harus diizinkan melakukan hal yang sama seperti yang dikerjakan Iran, sesuai perjanjian nonproliferasi global. ”Jadi, kerajaan, dari sudut pandang itu, akan memiliki hak yang sama dengan anggota lain (dari perjanjian nonproliferasi), termasuk Iran,” katanya, yang dilansir Sabtu (23/12/2017).
Riyadh berencana membangun fasilitas nuklir yang menghasilkan listrik 17,6 gigawatt (GW) pada 2032. Fasilitas itu akan setara dengan sekitar 16 reaktor nuklir.
Pangeran Turki menambahkan, satu-satunya cara untuk menghentikan pengayaan uranium adalah dengan mendirikan zona bebas senjata nuklir di Timur Tengah. Ini merupakan gagasan lama yang telah didukung oleh majelis nuklir PBB.
”Ini tidak akan terjadi dalam semalam. Anda harus menetapkan skala waktu untuk negosiasi guna memasukkan diskusi regional antara calon anggota zona tersebut pada isu-isu yang bukan hanya nuklir, namun juga untuk mencapai perdamaian di Timur Tengah antara Israel dan Palestina,” katanya.
Ambisi Riyadh untuk memiliki program nuklir seperti Teheran disampaikan Pangeran Turki al-Faisal, mantan kepala intelijen Arab Saudi, kepada Reuters.
Dia mengatakan bahwa negaranya tidak akan melepaskan hak ”berdaulat”-nya untuk memiliki sebuah program nuklir sipil.
Pangeran Turki menunjuk Iran sebagai contoh argumennya, di mana Teheran membuat kesepekatan dengan Amerika Serikat (AS) dan kekuatan dunia lainnya pada 2015 yang memberikan hak Teheran untuk menjalankan program nuklir sipil. Hak itu diberikan sebagai pembenaran jika Iran melepaskan ambisi untuk memiliki senjata nuklir.
Dalam beberapa pekan mendatang, Riyadh dijadwalkan mengadakan pembicaraan dengan Washington mengenai kerja sama nuklir. Pembicaraan itu akan memungkinkan perusahaan AS mengajukan penawaran kontrak multi-miliar dolar untuk membangun dua reaktor nuklir pertama di kerajaan Teluk tersebut.
Arab Saudi sejatinya sudah lama menginginkan pembangunan reaktor nuklir untuk tujuan damai dan sipil. Program ini bisa menjadi jalan bagi Riyadh untuk memperkaya uranium, bahan untuk pembuatan senjata nuklir.
Menurut Pangeran Turki, Saudi harus diizinkan melakukan hal yang sama seperti yang dikerjakan Iran, sesuai perjanjian nonproliferasi global. ”Jadi, kerajaan, dari sudut pandang itu, akan memiliki hak yang sama dengan anggota lain (dari perjanjian nonproliferasi), termasuk Iran,” katanya, yang dilansir Sabtu (23/12/2017).
Riyadh berencana membangun fasilitas nuklir yang menghasilkan listrik 17,6 gigawatt (GW) pada 2032. Fasilitas itu akan setara dengan sekitar 16 reaktor nuklir.
Pangeran Turki menambahkan, satu-satunya cara untuk menghentikan pengayaan uranium adalah dengan mendirikan zona bebas senjata nuklir di Timur Tengah. Ini merupakan gagasan lama yang telah didukung oleh majelis nuklir PBB.
”Ini tidak akan terjadi dalam semalam. Anda harus menetapkan skala waktu untuk negosiasi guna memasukkan diskusi regional antara calon anggota zona tersebut pada isu-isu yang bukan hanya nuklir, namun juga untuk mencapai perdamaian di Timur Tengah antara Israel dan Palestina,” katanya.
Credit sindonews.com