Sebuah negara memilih
bullying terang-terangan semacam itu hanya ketika negara itu tahu
mereka tidak punya argumentasi moral atau hukum untuk meyakinkan negara
lain
Washington (CB) - Presiden Amerika Serikat Donald Trump,
Rabu waktu AS, mengancam akan menghentikan bantuan keuangan kepada
negara-negara yang mendukung rancangan resolusi PBB yang menyeru Amerika
menarik keputusannya mengakui Yerusalem ibu kota Israel.
Tetapi sejumlah diplomat senior di PBB menyebut ancaman Haley itu tidak akan mengubah pendirian kebanyakan anggota Majelis Umum, apalagi ancaman terang-terangan di depan publik itu jarang sekali terjadi sebelum ini. Beberapa diplomat malah menganggap ancaman itu ditujukan untuk merayu para pemilih AS (untuk Pemilu Sela tahun depan).
Sedangkan Miroslav Lajcak, Presiden Majelis Umum PBB, enggan menanggapi ancaman Trump itu, namun menyatakan "Adalah hak dan tanggung jawab setiap negara anggota PBB untuk mengutarakan pandangannya."
Trump tiba-tiba menjungkirbalikkan kebijakan berpuluh-puluh tahun AS dalam soal Palestina dan Yerusalem ketika bulan ini dia mengatakan bahwa AS mengakui Yerusalem ibu kota Israel. Tindakan dia ini memicu amarah dari Palestina, dunia Aran dan Islam, serta membuat cemas sekutu-sekutunya di Barat.
Trump juga berencana memindahkan kedutaan besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Rancangan resolusi PBB itu sendiri berisi seruan kepada semua negara untuk menghindari mendirikan misi diplomatik di Yerusalem.
Kemarin, Duta Besar AS di PBB Nikki Haley, lewat surat kepada beberapa anggota PBB yang juga didapat Reuters, memperingatkan bahwa Trump telah meminta dia untuk "melaporkan balik negara-negara yang bersuara menentang kita."
Haley terang-terangan mengancam lewat posting Twitter bahwa "AS akan mencatat nama-nama (negara yang mendukung rancangan resolusi itu)".
Seorang diplomat senior dari sebuah negara Islam, yang meminta namanya tidak disebutkan, menyerang surat ancaman dari Haley, dengan berkata, "Sebuah negara memilih bullying terang-terangan semacam itu hanya ketika negara itu tahu mereka tidak punya argumentasi moral atau hukum untuk meyakinkan negara lain."
Sedangkan seorang diplomat senior Barat yang meminta namanya tidak diungkapkan, menyebut surat ancaman dari Haley itu sebagai "taktik murahan" di PBB, namun "bagus sekali untuk Haley 2020 atau Haley 2024", merujuk kemungkinan duta besar AS ini mencalonkan diri pada Pemilu 2020 atau 2024.
"Dia tidak akan memenangkan satu suara pun di Majelis Umum atau Dewan Keamanan, tetapi dia akan memenangkan suara penduduk AS," sindir diplomat Barat itu.
Seorang diplomat senior Eropa yang juga meminta namanya tidak disebutkan yakin Haley tak akan mampu membalikkan suara banyak negara anggota PBB.
"Kita kehilangan kepemimpinan AS di sini dan surat semacam ini jelas tidak akan membantu menegakkan kepemimpinan AS dalam proses perdamaian Timur Tengah," kata sang diplomat.
Sedangkan Duta Besar Bolivia untuk PBB Sacha Sergio Llorentty Soliz mengomentari surat Haley dengan berkata, "Negara pertama yang semestinya dia tulis adalah Bolivia."
"Kami menyesalkan arogansi dan pelecehan terhadap keputusan berdaulat dari negara-negara anggota (PBB) dan terhadap multilateralisme," kata dia.
Israel menganggap Yerusalem ibu kota abadi dan tak terpisahkan miliknya, serta menginginkan semua kedutaan besar asing berada di kota ini.
Sebaliknya, Palestina menginginkan Yerusalem sebagai ibu kota negaranya, tepatnya di bagian timur kota yang diduduki Israel menyusul Perang 1967 yang lalu dianeksasi namun tidak pernah mendapatkan pengakuan internasional.
Tetapi sejumlah diplomat senior di PBB menyebut ancaman Haley itu tidak akan mengubah pendirian kebanyakan anggota Majelis Umum, apalagi ancaman terang-terangan di depan publik itu jarang sekali terjadi sebelum ini. Beberapa diplomat malah menganggap ancaman itu ditujukan untuk merayu para pemilih AS (untuk Pemilu Sela tahun depan).
Sedangkan Miroslav Lajcak, Presiden Majelis Umum PBB, enggan menanggapi ancaman Trump itu, namun menyatakan "Adalah hak dan tanggung jawab setiap negara anggota PBB untuk mengutarakan pandangannya."
Trump tiba-tiba menjungkirbalikkan kebijakan berpuluh-puluh tahun AS dalam soal Palestina dan Yerusalem ketika bulan ini dia mengatakan bahwa AS mengakui Yerusalem ibu kota Israel. Tindakan dia ini memicu amarah dari Palestina, dunia Aran dan Islam, serta membuat cemas sekutu-sekutunya di Barat.
Trump juga berencana memindahkan kedutaan besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Rancangan resolusi PBB itu sendiri berisi seruan kepada semua negara untuk menghindari mendirikan misi diplomatik di Yerusalem.
Kemarin, Duta Besar AS di PBB Nikki Haley, lewat surat kepada beberapa anggota PBB yang juga didapat Reuters, memperingatkan bahwa Trump telah meminta dia untuk "melaporkan balik negara-negara yang bersuara menentang kita."
Haley terang-terangan mengancam lewat posting Twitter bahwa "AS akan mencatat nama-nama (negara yang mendukung rancangan resolusi itu)".
Seorang diplomat senior dari sebuah negara Islam, yang meminta namanya tidak disebutkan, menyerang surat ancaman dari Haley, dengan berkata, "Sebuah negara memilih bullying terang-terangan semacam itu hanya ketika negara itu tahu mereka tidak punya argumentasi moral atau hukum untuk meyakinkan negara lain."
Sedangkan seorang diplomat senior Barat yang meminta namanya tidak diungkapkan, menyebut surat ancaman dari Haley itu sebagai "taktik murahan" di PBB, namun "bagus sekali untuk Haley 2020 atau Haley 2024", merujuk kemungkinan duta besar AS ini mencalonkan diri pada Pemilu 2020 atau 2024.
"Dia tidak akan memenangkan satu suara pun di Majelis Umum atau Dewan Keamanan, tetapi dia akan memenangkan suara penduduk AS," sindir diplomat Barat itu.
Seorang diplomat senior Eropa yang juga meminta namanya tidak disebutkan yakin Haley tak akan mampu membalikkan suara banyak negara anggota PBB.
"Kita kehilangan kepemimpinan AS di sini dan surat semacam ini jelas tidak akan membantu menegakkan kepemimpinan AS dalam proses perdamaian Timur Tengah," kata sang diplomat.
Sedangkan Duta Besar Bolivia untuk PBB Sacha Sergio Llorentty Soliz mengomentari surat Haley dengan berkata, "Negara pertama yang semestinya dia tulis adalah Bolivia."
"Kami menyesalkan arogansi dan pelecehan terhadap keputusan berdaulat dari negara-negara anggota (PBB) dan terhadap multilateralisme," kata dia.
Israel menganggap Yerusalem ibu kota abadi dan tak terpisahkan miliknya, serta menginginkan semua kedutaan besar asing berada di kota ini.
Sebaliknya, Palestina menginginkan Yerusalem sebagai ibu kota negaranya, tepatnya di bagian timur kota yang diduduki Israel menyusul Perang 1967 yang lalu dianeksasi namun tidak pernah mendapatkan pengakuan internasional.
Credit antaranews.com