Seoul (CB) - Kesepakatan tahun 2015 dengan Jepang mengenai
"perempuan penghibur" Korea Selatan yang dipaksa bekerja di rumah-rumah
bordil militer Jepang semasa perang Jepang gagal memenuhi kebutuhan para
korban menurut Korea Selatan pada Rabu.
Menteri Luar Negeri Korea Selatan (Korsel) Kang Kyung-wha meminta maaf atas kesepakatan kontroversial tersebut karena panel yang dia tunjuk pada Juli untuk menyelidiki perundingan-perundingan yang mengarah kepada perjanjian itu tidak mengungkapkan hasil-hasilnya.
"Saya memohon maaf telah melukai hati para korban, keluarga mereka, masyarakat sipil yang mendukung mereka dan semua orang lain sebab perjanjian itu gagal mencerminkan secara cukup pendekatan berorientasi korban, yang merupakan standar universal dalam menyelesaikan isu-isu hak asasi manusia," kata Kang dalam jumpa pers.
Berdasarkan kesepakatan itu, yang disetujui pendahulu Presiden Moon Jae-in dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, Jepang memohon maaf kepada bekas perempuan penghibur dan menyediakan dana satu miliar yen (8,8 juta dolar AS) untuk membantu mereka.
Kedua pemerintah sepakat, isu tersebut akan "diselesaikan dan tak akan diubah lagi" jika kedua pihak memenuhi kewajiban mereka. Tetapi Moon mengatakan rakyat Korsel tidak dapat menerima persetujuan itu.
Investigasi itu menyimpulkan bahwa perselisihan mengenai perempuan penghibur, eufemisme Jepang untuk perempuan, banyak di antara mereka orang-orang Korea, yang dipaksa untuk bekerja di rumah-rumah bordil era perang, tak dapat "diselesaikan secara fundamental" karena tuntutan para korban bagi kompensasi legal Jepang tak terpenuhi.
Tokyo menyatakan masalah kompensasi bagi perempuan-perempuan korban kejahatan perang tersebut telah diselesaikan berdasarkan perjanjian tahun 1965 dengan Seoul.
Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga mengatakan isu itu telah diselesaikan dan tak diubah lagi telah dikonfirmasi oleh kedua pemerintah.
"Sangat penting bahwa perjanjian itu sudah siap dilaksanakan," kata Suga dalam jumpa pers reguler sebelum laporan itu disiarkan.
"Pemerintah akan terus berusaha mendesak pihak Korea Selatan pada setiap kesempatan untuk terus menerus menerapkan kesepakatan ini," katanya sebagaimana dikutip Reuters.
Kang mengatakan pemerintah Korea Selatan akan meninjau kembali hasil investigasi dan menerjemahkannya menjadi kebijakan setelah konsultasi dengan korban dan kelompok sipil yang mendukung mereka.
Korea Selatan dan Jepang merupakan kunci bagi upaya internasional untuk mengekang program nuklir Korea Utara yang bertentangan dengan resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB.
Masalah perempuan penghibut telah menjadi penyebab perdebatan antara Jepang dengan negara tetangga China serta Korea Utara dan Selatan sejak perang. Jepang menjajah semenanjung Korea antara 1910 dan 1945 dan menduduki bagian-bagian China sebelum dan selama Perang Dunia II.
Menteri Luar Negeri Korea Selatan (Korsel) Kang Kyung-wha meminta maaf atas kesepakatan kontroversial tersebut karena panel yang dia tunjuk pada Juli untuk menyelidiki perundingan-perundingan yang mengarah kepada perjanjian itu tidak mengungkapkan hasil-hasilnya.
"Saya memohon maaf telah melukai hati para korban, keluarga mereka, masyarakat sipil yang mendukung mereka dan semua orang lain sebab perjanjian itu gagal mencerminkan secara cukup pendekatan berorientasi korban, yang merupakan standar universal dalam menyelesaikan isu-isu hak asasi manusia," kata Kang dalam jumpa pers.
Berdasarkan kesepakatan itu, yang disetujui pendahulu Presiden Moon Jae-in dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, Jepang memohon maaf kepada bekas perempuan penghibur dan menyediakan dana satu miliar yen (8,8 juta dolar AS) untuk membantu mereka.
Kedua pemerintah sepakat, isu tersebut akan "diselesaikan dan tak akan diubah lagi" jika kedua pihak memenuhi kewajiban mereka. Tetapi Moon mengatakan rakyat Korsel tidak dapat menerima persetujuan itu.
Investigasi itu menyimpulkan bahwa perselisihan mengenai perempuan penghibur, eufemisme Jepang untuk perempuan, banyak di antara mereka orang-orang Korea, yang dipaksa untuk bekerja di rumah-rumah bordil era perang, tak dapat "diselesaikan secara fundamental" karena tuntutan para korban bagi kompensasi legal Jepang tak terpenuhi.
Tokyo menyatakan masalah kompensasi bagi perempuan-perempuan korban kejahatan perang tersebut telah diselesaikan berdasarkan perjanjian tahun 1965 dengan Seoul.
Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga mengatakan isu itu telah diselesaikan dan tak diubah lagi telah dikonfirmasi oleh kedua pemerintah.
"Sangat penting bahwa perjanjian itu sudah siap dilaksanakan," kata Suga dalam jumpa pers reguler sebelum laporan itu disiarkan.
"Pemerintah akan terus berusaha mendesak pihak Korea Selatan pada setiap kesempatan untuk terus menerus menerapkan kesepakatan ini," katanya sebagaimana dikutip Reuters.
Kang mengatakan pemerintah Korea Selatan akan meninjau kembali hasil investigasi dan menerjemahkannya menjadi kebijakan setelah konsultasi dengan korban dan kelompok sipil yang mendukung mereka.
Korea Selatan dan Jepang merupakan kunci bagi upaya internasional untuk mengekang program nuklir Korea Utara yang bertentangan dengan resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB.
Masalah perempuan penghibut telah menjadi penyebab perdebatan antara Jepang dengan negara tetangga China serta Korea Utara dan Selatan sejak perang. Jepang menjajah semenanjung Korea antara 1910 dan 1945 dan menduduki bagian-bagian China sebelum dan selama Perang Dunia II.
Credit antaranews.com