"Pekan lalu Panglima Tertinggi (Presiden Vladimir Putin) menyetujui struktur dan basis di Tartus dan Hmeimim (pangkalan udara). Kami telah mulai membentuk kehadiran permanen di sana," ungkap Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu pada Selasa (26/12).
Pernyataan Shoigu ini muncul setelah Dewan Federasi Rusia, pada Selasa, meratifikasi sebuah kesepakatan antara Rusia dan Suriah. Adapun kesepakatan tersebut yakni tentang memperluas fasilitas angkatan laut di dekat kota pelabuhan Tartus dan menjadikannya sebuah pangkalan angkatan laut penuh.
Menurut dokumen kesepakatan yang diratifikasi tersebut, kapal-kapal Rusia, termasuk kapal penjelajah bertenaga nuklir, akan diizinkan memasuki perairan dan pelabuhan Suriah. Lebih terperinci lagi, kesepakatan yang baru saja disahkan Dewan Federasi Rusia memungkinkan negara tersebut menempatkan 11 kapal perangnya di Tartus.
Hal ini pun telah dikonfirmasi oleh kepala komite keamanan dan pertahanan majelis tinggi Rusia Viktor Bondarev. "Kesepakatan ini akan memperluas fasilitas angkatanlaut di Tartus, satu-satunya pangkalan angkatan laut Rusia di Laut Tengah danmemberikan kapal perang Rusia akses ke perairan dan pelabuhan Suriah," ujar Bondarev.
Kesepakatan terkait pembangunan dan pemanfaatan fasilitas angkatan laut di Tartus ini akan berlangsung selama 49 tahun. Kendati demikian, kesepakatan ini dapat diteruskan kembali bila kedua negara menghendaki.
Sementara pangkalan udara di Hmeimim memang telah digunakan Rusia untuk melancarkan serangan udara terhadap kelompok pemberontak dan teroris di Suriah. Serangan tersebut dilakukan sebagai bentuk dukungan Rusia terhadap pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Berdasarkan kesepakatan, Rusia dapat menggunakanpangkalan udara Hmeimim tanpa batas waktu.
Rusia mulai menggelar operasi militernya di Suriah pada September 2015. Operasi militer ini dilakukan berdasarkan permintaan langsung pemerintah Suriah yang dipimpin Assad. Kala itu, Pemerintah Suriah mengalami kesulitan dan cukup kewalahan menghadapi perlawanan kelompok milisi.
Sejak saat itu, militer Rusia mulai melakukan serangan-serangan udara menargetkankelompok-kelompok yang menentang pemerintah atau rezim Presiden Assad. Kelompoktersebut antara lain Koalisi Nasional Suriah, Front al-Nusra, serta milisiISIS.
Kemudian pada 11 Desember lalu, Putin meminta Kementerian Pertahanan Rusia untuk mulai menarik pasukan militernya dari Suriah. Menurut Putin,selama dua tahun menggelar operasi militer di Suriah, pasukan Rusia bersama tentara Suriah telah berhasil memukul perlawanan kelompok teroris di negara tersebut. "Mengingat hal ini, saya telah mengambil keputusan, sebagianbesar kontingen militer Rusia yang tinggal di Suriah untuk kembali ke rumah, keRusia," ujarnya.
Kendati telah memutuskan untuk menarik pasukannya, Putin menegaskan negaranya siap untuk kembali menggelar operasi militer bila kelompokmilisi dan teroris di Suriah bangkit kembali. "Rusia siap menghadapi pukulanbaru bagi teroris jika mereka kembali dan mencoba untuk mendobrak perdamaianSuriah," ujarnya.
Berkat bantuan militer Rusia, pemerintah Suriah pun mulai menggenggam kembalikekuasaannya. Hal ini disebabkan banyaknya daerah di Suriah yang sebelumnyadikuasai kelompok milisi berhasil direbut kembali.
Credit republika.co.id