CB, SANAA - Sebanyak 68 warga sipil Yaman tewas
terbunuh dalam satu hari, dalam dua serangan udara yang dilakukan
koalisi pimpinan Arab Saudi pekan ini. Koordinator kemanusiaan PBB di
Yaman, Jamie McGoldrick, mengatakan perang di Yaman semakin tidak masuk
akal dan sia-sia.
Menurut laporan PBB, serangan pertama koalisi terjadi di sebuah pasar yang ramai di Provinsi Taez, yang menewaskan 54 warga sipil, termasuk delapan anak-anak, dan melukai 32 lainnya. Sementara serangan kedua terjadi di Provinsi Hodeidah yang menewaskan 14 orang yang berasal dari satu keluarga.
"Saya sangat terganggu dengan meningkatnya korban sipil yang disebabkan oleh serangan tanpa pandang bulu di seluruh Yaman," kata McGoldrick, Kamis (28/12), dikutip The Guardian. Selain korban dari dua serangan udara itu, sebanyak 41 warga sipil lainnya juga tewas terbunuh dan 43 cedera dalam 10 hari pertempuran yang terjadi sebelumnya.
Koalisi pimpinan Arab Saudi mengintensifkan serangan udara yang menargetkan pemberontak Houthi yang didukung Iran, setelah berhasil mencegat sebuah rudal balistik pada 19 Desember lalu. Arab Saudi mengklaim telah berada di pinggiran ibu kota Sana'a, yang dikuasai oleh pemberontak Houthi.
"Insiden ini membuktikan ketidakpedulian total terhadap kehidupan manusia. Semua pihak, termasuk koalisi pimpinan Saudi, terus terlibat dalam perang tak masuk akal ini, yang hanya mengakibatkan kehancuran negara dan penderitaan rakyat. Warga sipil dihukum sebagai bagian dari operasi militer yang sia-sia dari kedua belah pihak," ungkap McGoldrick.
"Saya mengingatkan semua pihak dalam konflik tersebut, termasuk koalisi pimpinan Saudi, tentang kewajiban mereka berdasarkan hukum humaniter internasional untuk melindungi masyarakat sipil dan infrastruktur sipil, dan untuk selalu membedakan antara benda sipil dan militer," kata dia.
PBB mengatakan konflik di Yaman tidak memiliki solusi militer dan dapat diselesaikan hanya melalui perundingan. Sikap yang sama telah diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson, yang mengatakan resolusi konflik Yaman adalah prioritas nomor satu.
Pekan lalu, Arab Saudi mengatakan mereka telah membuka pelabuhan Hodeidah untuk kapal komersial dan kapal kemanusiaan. Sebelumnya Arab Saudi telah mendapat kecaman internasional atas blokade yang diberlakukan pada 6 November lalu, yang menjadikan kelaparan sebagai taktik perang.
PBB mengatakan pasokan bahan bakar pertama telah memasuki pelabuhan itu pada 24 Desember lalu. Yaman mengimpor 90 persen makanan dan semua bahan bakar, serta obat-obatannya.
Dalam sebuah konferensi pers pada Rabu (27/12), pihak Saudi mengklaim lima kapal telah memasuki Hodeidah dengan membawa bahan bakar. Pasukan koalisi juga telah memberikan 10 izin untuk mentransfer bantuan ke Yaman melalui penyeberangan darat.
PBB tidak memiliki perkiraan jumlah korban tewas di Yaman. Namun pada Agustus 2016, pusat medis menyatakan setidaknya 10 ribu orang telah terbunuh.
Menurut laporan PBB, serangan pertama koalisi terjadi di sebuah pasar yang ramai di Provinsi Taez, yang menewaskan 54 warga sipil, termasuk delapan anak-anak, dan melukai 32 lainnya. Sementara serangan kedua terjadi di Provinsi Hodeidah yang menewaskan 14 orang yang berasal dari satu keluarga.
"Saya sangat terganggu dengan meningkatnya korban sipil yang disebabkan oleh serangan tanpa pandang bulu di seluruh Yaman," kata McGoldrick, Kamis (28/12), dikutip The Guardian. Selain korban dari dua serangan udara itu, sebanyak 41 warga sipil lainnya juga tewas terbunuh dan 43 cedera dalam 10 hari pertempuran yang terjadi sebelumnya.
Koalisi pimpinan Arab Saudi mengintensifkan serangan udara yang menargetkan pemberontak Houthi yang didukung Iran, setelah berhasil mencegat sebuah rudal balistik pada 19 Desember lalu. Arab Saudi mengklaim telah berada di pinggiran ibu kota Sana'a, yang dikuasai oleh pemberontak Houthi.
"Insiden ini membuktikan ketidakpedulian total terhadap kehidupan manusia. Semua pihak, termasuk koalisi pimpinan Saudi, terus terlibat dalam perang tak masuk akal ini, yang hanya mengakibatkan kehancuran negara dan penderitaan rakyat. Warga sipil dihukum sebagai bagian dari operasi militer yang sia-sia dari kedua belah pihak," ungkap McGoldrick.
"Saya mengingatkan semua pihak dalam konflik tersebut, termasuk koalisi pimpinan Saudi, tentang kewajiban mereka berdasarkan hukum humaniter internasional untuk melindungi masyarakat sipil dan infrastruktur sipil, dan untuk selalu membedakan antara benda sipil dan militer," kata dia.
PBB mengatakan konflik di Yaman tidak memiliki solusi militer dan dapat diselesaikan hanya melalui perundingan. Sikap yang sama telah diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson, yang mengatakan resolusi konflik Yaman adalah prioritas nomor satu.
Pekan lalu, Arab Saudi mengatakan mereka telah membuka pelabuhan Hodeidah untuk kapal komersial dan kapal kemanusiaan. Sebelumnya Arab Saudi telah mendapat kecaman internasional atas blokade yang diberlakukan pada 6 November lalu, yang menjadikan kelaparan sebagai taktik perang.
PBB mengatakan pasokan bahan bakar pertama telah memasuki pelabuhan itu pada 24 Desember lalu. Yaman mengimpor 90 persen makanan dan semua bahan bakar, serta obat-obatannya.
Dalam sebuah konferensi pers pada Rabu (27/12), pihak Saudi mengklaim lima kapal telah memasuki Hodeidah dengan membawa bahan bakar. Pasukan koalisi juga telah memberikan 10 izin untuk mentransfer bantuan ke Yaman melalui penyeberangan darat.
PBB tidak memiliki perkiraan jumlah korban tewas di Yaman. Namun pada Agustus 2016, pusat medis menyatakan setidaknya 10 ribu orang telah terbunuh.
Credit REPUBLIKA.CO.ID