GUATEMALA CITY
- Keputusan pemerintah Guatemala untuk memindahkan Kedutaan Besar
mereka di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem ternyata mendapat tentangan
dari masyarakat Guatemala. Banyak dari masyarakat Guatemala yang
menyangkan dan menolak keputusan tersebut.
Menurut Departemen Urusan Ekspatriat Guatemala, awalnya penolakan terhadap keputusan pemindahaan kedutaan itu datang dari komunitas Palestina di Guatemala. Namun, lambat laun komunitas, dan kelompok lain di Guatemala mulai menyampaikan penolakan serupa.
Melasnir Fars News pada Rabu (27/12), kelompok-kelompok ini khawatir keputusan pemindahan kedutaan itu akan memberikan dampak buruk baik dari segi politik, ataupun ekonomi kepada Guatemala.
Penolakan tersebut juga datang dari sejumlah politisi, dan tokoh-tokoh masyarakat di negara itu. Salah satu tokoh yang bersuara kencang mengenai hal ini adalah mantan Wakil Presiden Guatemala, Eduardo Stein.
Stein, yang dilengserkan pada tahun 2014 karena diduga melakukan korupsi, menuturkan keputusan ini akan memiliki implikasi ekonomi yang besar bagi masyarakat Guatemala dan akan mempengaruhi lebih dari 45 ribu petani kapulaga di negara Amerika Tengah.
Kekwatiran serupa juga disampaikan oleh Presiden Uni Eksportir Guatemala. Presiden Uni Eksportir Guatemala bahkan telah menyampaikan Kementerian Luar Negeri Guatemala untuk membatalkan keputusan tersebut, demi kepentingan perekonomian Guatemala, karena negara-negara Islam dan Arab adalah salah satu pasar terbesar kapulaga dari Guatemala.
Sejatinya ini bukan kali pertama Guatemala mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, dan berencana menindahkan kedutaan ke Yerusalem. Pada masa pemerintahan Ramiro J Leon Carpio, tahun 1993 hingga 1996, Guatemala juga pernah menyatakan hal serupa. Namun, Carpio langsung membatalkan keputusan tersebut, setelah negara-negara Arab dan Islam menutup pintu mereka ke pasar Guatemala.
Menurut Departemen Urusan Ekspatriat Guatemala, awalnya penolakan terhadap keputusan pemindahaan kedutaan itu datang dari komunitas Palestina di Guatemala. Namun, lambat laun komunitas, dan kelompok lain di Guatemala mulai menyampaikan penolakan serupa.
Melasnir Fars News pada Rabu (27/12), kelompok-kelompok ini khawatir keputusan pemindahan kedutaan itu akan memberikan dampak buruk baik dari segi politik, ataupun ekonomi kepada Guatemala.
Penolakan tersebut juga datang dari sejumlah politisi, dan tokoh-tokoh masyarakat di negara itu. Salah satu tokoh yang bersuara kencang mengenai hal ini adalah mantan Wakil Presiden Guatemala, Eduardo Stein.
Stein, yang dilengserkan pada tahun 2014 karena diduga melakukan korupsi, menuturkan keputusan ini akan memiliki implikasi ekonomi yang besar bagi masyarakat Guatemala dan akan mempengaruhi lebih dari 45 ribu petani kapulaga di negara Amerika Tengah.
Kekwatiran serupa juga disampaikan oleh Presiden Uni Eksportir Guatemala. Presiden Uni Eksportir Guatemala bahkan telah menyampaikan Kementerian Luar Negeri Guatemala untuk membatalkan keputusan tersebut, demi kepentingan perekonomian Guatemala, karena negara-negara Islam dan Arab adalah salah satu pasar terbesar kapulaga dari Guatemala.
Sejatinya ini bukan kali pertama Guatemala mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, dan berencana menindahkan kedutaan ke Yerusalem. Pada masa pemerintahan Ramiro J Leon Carpio, tahun 1993 hingga 1996, Guatemala juga pernah menyatakan hal serupa. Namun, Carpio langsung membatalkan keputusan tersebut, setelah negara-negara Arab dan Islam menutup pintu mereka ke pasar Guatemala.
Credit sindonews.com
Ironi Presiden Guatemala yang akui Yerusalem milik Israel; dibelit korupsi
Jakarta (CB)- Pengakuan Guatemala bahwa Yerusalem ibu
kota Israel membuat Presiden Jimmy Morales kian dekat dengan Amerika
Serikat ketika citra pemerintahannya di dalam negeri merosot tajam
karena kasus korupsi yang diselidiki para penyidik dukungan PBB.
Menolak arus beras dunia yang menolak keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memindahkan kedutaan besarnya di Israel ke Yerusalem, Guatemala dan Honduras menjadi dua negara di benua Amerika yang mendukung Trump dalam voting resolusi Yerusalem oleh Majelis Umum PBB pekan lalu.
Kian terasing di dalam negeri, Morales menjadi mendapatkan sekutu di Washington dengan mendekatkan dirinya kepada Trump, kendati dia mempertaruhkan nasib ekspor rempah-rempah kapulaga ke negara-negara Arab.
Pada Hari Natal dia menyatakan akan mengikuti Trump memindahkan kedutaan besar Guatemala dari Tel Aviv ke Yerusalem.
"Ini adalah cara paling hemat bagi Morales demi memastikan pemerintahan Trump berada di pihaknya," kata Michael Shifter, kepala Dialog Antar-Amerika, sebuah lembaga think tank yang berbasis di Washington.
Morales sendiri menjadi kontroversi internasional.
Agustus silam, mantan komedian televisi ini dikecam PBB, Uni Eropa dan duta besar AS di Guatemala karena mengusir jaksa sokongan PBB yang berusaha memenjarakannya dalam kasus korupsi.
Penyelidikan dugaan uang haram untuk kampanye pemilihan presiden yang disusul dengan penyelidikan-penyelidikan korupsi oleh anggota keluarganya. telah membuat Morales terancam dimakzulkan.
Morales selamat dari tuduhan ini tetapi dia terus bernafsu membubarkan Komisi Internasional Anti Impunitas di Guatemala, lembaga yang didukung kuat PBB. Akibatnya, pemerintahannya kembali dalam bahaya pemakzulan.
Kini dia merapat ke AS dengan mendukung Trump. Dukungan ini tidak tanpa alasan, malah lebih karena realitas politik yang dihadapi Morales.
Trump mengancam memangkas bantuan kepada negara-negara yang mendukung resolusi PBB itu. Dan faktanya kebanyakan negara-negara di benua Amerika tidak terlalu tergantung kepada bantuan AS, kecuali Guatemala, Honduras dan El Salvador yang menentang resolusi PBB soal Yerusalem itu.
Guatemala bakal menerima bantuan 209 juta dolar AS, Honduras menerima bantuan 100 juta dolar dari AS tahun lalu, ditambah 75 juta dolar AS lainnya sebagai bantuan keamanan antara 2012 dan 2015.
Guatemala sendiri mendapatkan kiriman devisa yang banyak dari ratusan ribu tenaga kerjanya di AS yang kebanyakan ilegal dan terancam dideportasi Trump. Kiriman uang mereka tahun ini mencapai 8 miliar dolar atau setara dengan tiga perempat APBN Guatemala.
Oleh karena itu, menurut Ricardo Barrero dari Central American Institute of Political Studies di Guatemala, dukungan Morales kepada Trump adalah demi menciptakan stabilitas politik yang saat ini tak bisa dia ciptakan.
Guatemala juga mendapatkan bantuan latihan militer yang penting dari Israel. Tetapi negara ini juga punya kepentingan di Timur Tengah di mana-negara Arab adalah pembeli terbesar produk rempah-rempahnya.
Mantan wakil presiden Guatemala Eduardo Stein pada pertengahan 1990-an juga pernah menyerukan pemindahan kedutaan besar negara ini di Israel ke Yerusalem, dipaksa menarik ucapannya itu setelah negara-negara Arab mengancam menghentikan impor rempah-rempah negeri ini yang biasa digunakan dalam kopi Arab.
"Sepertinya hal ini akan terjadi lagi," kata Stein, merujuk ancaman negara Arab menghentikan impor rempah-rempah Guatemala, seperti dikutip Reuters.
Menolak arus beras dunia yang menolak keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memindahkan kedutaan besarnya di Israel ke Yerusalem, Guatemala dan Honduras menjadi dua negara di benua Amerika yang mendukung Trump dalam voting resolusi Yerusalem oleh Majelis Umum PBB pekan lalu.
Kian terasing di dalam negeri, Morales menjadi mendapatkan sekutu di Washington dengan mendekatkan dirinya kepada Trump, kendati dia mempertaruhkan nasib ekspor rempah-rempah kapulaga ke negara-negara Arab.
Pada Hari Natal dia menyatakan akan mengikuti Trump memindahkan kedutaan besar Guatemala dari Tel Aviv ke Yerusalem.
"Ini adalah cara paling hemat bagi Morales demi memastikan pemerintahan Trump berada di pihaknya," kata Michael Shifter, kepala Dialog Antar-Amerika, sebuah lembaga think tank yang berbasis di Washington.
Morales sendiri menjadi kontroversi internasional.
Agustus silam, mantan komedian televisi ini dikecam PBB, Uni Eropa dan duta besar AS di Guatemala karena mengusir jaksa sokongan PBB yang berusaha memenjarakannya dalam kasus korupsi.
Penyelidikan dugaan uang haram untuk kampanye pemilihan presiden yang disusul dengan penyelidikan-penyelidikan korupsi oleh anggota keluarganya. telah membuat Morales terancam dimakzulkan.
Morales selamat dari tuduhan ini tetapi dia terus bernafsu membubarkan Komisi Internasional Anti Impunitas di Guatemala, lembaga yang didukung kuat PBB. Akibatnya, pemerintahannya kembali dalam bahaya pemakzulan.
Kini dia merapat ke AS dengan mendukung Trump. Dukungan ini tidak tanpa alasan, malah lebih karena realitas politik yang dihadapi Morales.
Trump mengancam memangkas bantuan kepada negara-negara yang mendukung resolusi PBB itu. Dan faktanya kebanyakan negara-negara di benua Amerika tidak terlalu tergantung kepada bantuan AS, kecuali Guatemala, Honduras dan El Salvador yang menentang resolusi PBB soal Yerusalem itu.
Guatemala bakal menerima bantuan 209 juta dolar AS, Honduras menerima bantuan 100 juta dolar dari AS tahun lalu, ditambah 75 juta dolar AS lainnya sebagai bantuan keamanan antara 2012 dan 2015.
Guatemala sendiri mendapatkan kiriman devisa yang banyak dari ratusan ribu tenaga kerjanya di AS yang kebanyakan ilegal dan terancam dideportasi Trump. Kiriman uang mereka tahun ini mencapai 8 miliar dolar atau setara dengan tiga perempat APBN Guatemala.
Oleh karena itu, menurut Ricardo Barrero dari Central American Institute of Political Studies di Guatemala, dukungan Morales kepada Trump adalah demi menciptakan stabilitas politik yang saat ini tak bisa dia ciptakan.
Guatemala juga mendapatkan bantuan latihan militer yang penting dari Israel. Tetapi negara ini juga punya kepentingan di Timur Tengah di mana-negara Arab adalah pembeli terbesar produk rempah-rempahnya.
Mantan wakil presiden Guatemala Eduardo Stein pada pertengahan 1990-an juga pernah menyerukan pemindahan kedutaan besar negara ini di Israel ke Yerusalem, dipaksa menarik ucapannya itu setelah negara-negara Arab mengancam menghentikan impor rempah-rempah negeri ini yang biasa digunakan dalam kopi Arab.
"Sepertinya hal ini akan terjadi lagi," kata Stein, merujuk ancaman negara Arab menghentikan impor rempah-rempah Guatemala, seperti dikutip Reuters.
Credit antaranews.com