‘’Masjid dengan nama resmi ‘Masjid Istiqlal’ itu dibangun selama enam tahun dari 1995 -2002. Lokasinya memang dipilih di tengah lembah yang di depannya ada tempat tempat parkir yang luas,’’ katanya seraya menyebutkan luas bangunan masjid itu mencapai 2.500 meter persegi. Sedangkan, data fisik dua menaranya masing-masing diketahui mencapai 48 meter. Dan tinggi bangunan masjidnya mencapai 27 meter.
Dari jauh bangunan masjid yang menelan pembiayaan sebanyak 2,7 jutadola memang terlihat menonjol karena di Sarajevo tidak banyak berdiri bangunan bertingkat tinggi. Maka tidak mengherankan bila Masjid Istiqlal ini kemudian menjadi salah satu ikon kota yang sempat menjadi mengalami perang yang berdarah-darah.
‘’Harus diakui memang ada peran Soeharto di situ. Dan seluruh rakyat Bosnia mengetahuinya. Di kala hari libur dan Jumat banyak orang pergi mengunjungi masjid tersebut,’’ ujar Hasan kembali.
Kisahnya sebagai berikut:
Setelah berdebat, PBB mengizinkan Soeharto terbang ke Bosnia. Syaratnya, Soeharto harus menandatangani surat pernyataan risiko. Artinya PBB tak bertanggung jawab jika suatu hal menimpa Presiden RI kedua ini di Sarajevo. Presiden Soeharto langsung meminta formulir kepada Sjafrie selaku Komandan Grup A Pasukan Pengaman Presiden. Dia pun langsung menandatangani surat itu tanpa ragu.
Sjafrie kala itu mengaku ketar-ketir juga. Apalagi saat Soeharto menolak mengenakan helm baja. Dia juga tak mau menggunakan rompi antipeluru seberat 12 kg yang dikenakan oleh setiap anggota rombongan. "Eh, Sjafrie, itu rompi kamu cangking (jinjing) saja," ujar Soeharto pada Sjafrie.
Pak Harto tetap menggunakan jas dan kopiah. Sjafrie pun ikut-ikutan mengenakan kopiah yang dipinjamnya dari seorang wartawan yang ikut. Tujuannya untuk membingungkan sniper yang pasti akan mengenali Presiden Soeharto di tengah rombongan.
"Ini dilakukan untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah," terang Sjafrie.
Suasana mencekam saat pesawat mendarat di Sarajevo,. Sjafrie mengaku melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang terus bergerak mengikuti pesawat yang ditumpangi rombongan Presiden Soeharto.
Saat konflik itu, lapangan terbang Sarajevo dikuasai dua pihak. Pihak Serbia menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara kiri-kanan landasan dikuasai Bosnia.
"Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah," kataSjafrie.
Setelah mendarat, bukan berarti masalah selesai. Mereka harus melewati Sniper Valley, sebuah lembah yang menjadi medan pertarungan para penembak jitu Serbia dan Bosnia. Sudah tak terhitung banyaknya korban yang jatuh akibat tembakan sniper di lembah itu.
Pak Harto naik panser VAB yang sudah disediakan Pasukan PBB. Walau di dalam panser, bukan berarti mereka akan aman 100 persen dari terjangan peluru sniper. Tapi Presiden Soeharto santai-santai saja.
Akhirnya mereka sampai di Istana Presiden Bosnia yang keadaannya sangat memprihatinkan. Tidak ada air mengalir, sehingga air bersih harus diambil dengan ember. Pengepungan yang dilakukan Serbia benar-benar meluluh-lantakan kondisi Bosnia.
Presiden Bosnia Herzegovina Alija Izetbegovic menyambut hangat kedatangan Presiden Soeharto. Dia benar-benar bahagia Soeharto tetap mau menemuinya walaupun harus melewati bahaya.
Setelah berdebat, PBB mengizinkan Soeharto terbang ke Bosnia. Syaratnya, Soeharto harus menandatangani surat pernyataan risiko. Artinya PBB tak bertanggung jawab jika suatu hal menimpa Presiden RI kedua ini di Sarajevo. Presiden Soeharto langsung meminta formulir kepada Sjafrie selaku Komandan Grup A Pasukan Pengaman Presiden. Dia pun langsung menandatangani surat itu tanpa ragu.
Sjafrie kala itu mengaku ketar-ketir juga. Apalagi saat Soeharto menolak mengenakan helm baja. Dia juga tak mau menggunakan rompi antipeluru seberat 12 kg yang dikenakan oleh setiap anggota rombongan. "Eh, Sjafrie, itu rompi kamu cangking (jinjing) saja," ujar Soeharto pada Sjafrie.
Pak Harto tetap menggunakan jas dan kopiah. Sjafrie pun ikut-ikutan mengenakan kopiah yang dipinjamnya dari seorang wartawan yang ikut. Tujuannya untuk membingungkan sniper yang pasti akan mengenali Presiden Soeharto di tengah rombongan.
"Ini dilakukan untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah," terang Sjafrie.
Suasana mencekam saat pesawat mendarat di Sarajevo,. Sjafrie mengaku melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang terus bergerak mengikuti pesawat yang ditumpangi rombongan Presiden Soeharto.
Saat konflik itu, lapangan terbang Sarajevo dikuasai dua pihak. Pihak Serbia menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara kiri-kanan landasan dikuasai Bosnia.
"Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah," kataSjafrie.
Setelah mendarat, bukan berarti masalah selesai. Mereka harus melewati Sniper Valley, sebuah lembah yang menjadi medan pertarungan para penembak jitu Serbia dan Bosnia. Sudah tak terhitung banyaknya korban yang jatuh akibat tembakan sniper di lembah itu.
Pak Harto naik panser VAB yang sudah disediakan Pasukan PBB. Walau di dalam panser, bukan berarti mereka akan aman 100 persen dari terjangan peluru sniper. Tapi Presiden Soeharto santai-santai saja.
Akhirnya mereka sampai di Istana Presiden Bosnia yang keadaannya sangat memprihatinkan. Tidak ada air mengalir, sehingga air bersih harus diambil dengan ember. Pengepungan yang dilakukan Serbia benar-benar meluluh-lantakan kondisi Bosnia.
Presiden Bosnia Herzegovina Alija Izetbegovic menyambut hangat kedatangan Presiden Soeharto. Dia benar-benar bahagia Soeharto tetap mau menemuinya walaupun harus melewati bahaya.
Setelah meninggalkan istana, Sjafrie pun bertanya pada Soeharto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang berbahaya. Termasuk menyampingkan keselamatan dirinya.
"Ya kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok," jawab Pak Harto.
"Tapi resikonya sangat besar, Pak" kata Sjafrie lagi.
"Ya itu bisa kita kendalikan. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka jadi tambah semangat," kata Pak Harto.
Kata-kata itu membekas di hati Sjafrie. Bahkan sampai puluhan tahun kemudian, dia masih ingat kata-kata Presiden Soeharto tersebut.
"Kalimat yang diucapkannya bermuatan keteladanan yang berharga bagi siapa pun yang hendak menjadi pemimpin," tutup Sjafrie.
Maka kenangan atas kunjungan itulah kini menjadi cerita abadi di balik berdirinya Masjid Istiqlal di Sarajevo. Sebelum pembangunan dituntaskan Presiden Ketiga RI BJ Habibie dan isterinya Ainun Habibie menyumbangkan sebuah mimbar dan aneka ornamen yang teruat dari kayu jati yang berukir indah dengan gaya ornamen perpaduan khas Jepara dan Turki.
Akhirnya, pada September 2001, Menteri Agama Indonesia, Said Aqil Husin al-Munawar meresmikan berdirinya masjid tersebut. Dan, setahun kemudian pada bulan September 2002 selama kunjungan kenegaraannya ke Sarajevo, Presiden Megawati Soekarnoputri menyempatkan diri mengunjungi dan menandatangani prasasti pendirian Masjid Istiqlal di Bosnia ini.
Credit REPUBLIKA.CO.ID