Investigasi dilakukan. Panglima TNI dan menhan tidak merasa memesan.
Menhan Ryamizard dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam Rapat Kerja di DPR RI, Senin, 6 Februari 2017. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
CB – Helikopter
AgustaWestland 101 sudah sepekan di Landasan Udara Halim Perdanakusuma,
Jakarta. Heli berkelir loreng hijau khas TNI itu terparkir di Skuadron
Teknik 021. Dijaga petugas, dikelilingi garis polisi "dilarang
melintas". Heli menengah buatan negeri Ratu Elizabeth ini belum
digunakan, karena dalam proses investigasi.
Sebab, siapa yang mendatangkan heli ini, masih misterius, sehingga muncul polemik. Baik panglima TNI maupun menteri pertahanan, sama-sama tidak merasa memesan.
Padahal, dalam rapat kabinet 2015, Presiden Joko Widodo sudah meminta untuk membatalkan pembelian Helikopter AW 101, karena harganya yang dinilai mahal.
Polemik ini terkuak dalam rapat kerja antara menteri pertahanan, panglima TNI, dan Komisi I DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 6 Februari 2017.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan tidak pernah memesan Helikopter AW 101 itu. Dia juga tidak tahu proses pengadaan helikopter buatan Inggris itu sampai tiba di Tanah Air.
Di hadapan para anggota Dewan, Jenderal Gatot kemudian mencurahkan unek-uneknya. Dia menyinggung soal Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 28 Tahun 2015 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pertahanan Negara. Dengan adanya permenhan itu, Gatot merasa kewenangan panglima TNI dipangkas.
Sebagai Panglima TNI, Gatot menyatakan tidak bisa mengatur berapa anggaran TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Menurut dia, semua anggaran TNI langsung di bawah tanggung jawab Kementerian Pertahanan, tidak melalui panglima TNI.
"Panglima sulit bertanggung jawab dalam pengendalian terhadap tujuan sasaran penggunaan anggaran TNI, termasuk angkatan," kata Gatot.
Dia merasa, sebelum ada Permenhan No 28 Tahun 2015, mekanisme pengadaan alat utama sistem persenjataan berjalan baik, sistematis, dan ketat. Namun, kewenangannya sebagai panglima terkikis setelah ada permenhan itu.
Mantan kepala staf TNI AD itu tak menampik bahwa TNI memang berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan, sebagaimana Pasal 3 Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Namun demikian, bukan berarti TNI bagian dari unit operasional Kemenhan.
TNI, lanjut dia, terdiri atas tiga matra yakni, Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara. Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, semua matra TNI ada di bawah pimpinan panglima TNI.
Gatot mengatakan, seharusnya dia membuka persoalan ini sejak 2015. Tapi, baru kali ini dia bisa sampaikan.
"Tapi, berkaitan dengan saya, saya buka ini untuk menyiapkan adik-adik saya. Karena saya mungkin besok bisa diganti, paling lambat Maret saya harus diganti. Kalau ini terjadi terus, maka kewenangan di bawah panglima TNI tidak ada," ujar Gatot.
Mendengar keluhan panglima, Anggota Komisi I DPR, Effendi Simbolon, lantas meminta penjelasan Menhan Ryamizard Ryacudu. Namun, Ryamizard meminta agar penjelasannya disampaikan secara tertutup, tanpa diliput media.
"Kalau tertutup, bisa buka-bukaan," kata Ryamizard. Para wartawan pun diminta untuk keluar dari ruang rapat.
Sebab, siapa yang mendatangkan heli ini, masih misterius, sehingga muncul polemik. Baik panglima TNI maupun menteri pertahanan, sama-sama tidak merasa memesan.
Padahal, dalam rapat kabinet 2015, Presiden Joko Widodo sudah meminta untuk membatalkan pembelian Helikopter AW 101, karena harganya yang dinilai mahal.
Helikopter Agusta Westland (AW) 101
terparkir dengan dipasangi garis polisi di Hanggar Skadron Teknik 021
Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis, 9 Februari
2017. (Foto: VIVA.co.id/Widodo S. Jusuf/Pool)
Helikopter Agusta Westland (AW) 101
terparkir dengan dipasangi garis polisi di Hanggar Skadron Teknik 021
Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis, 9 Februari
2017. (Foto: VIVA.co.id/Widodo S. Jusuf/Pool)
Berawal dari Curhat PanglimaPolemik ini terkuak dalam rapat kerja antara menteri pertahanan, panglima TNI, dan Komisi I DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 6 Februari 2017.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan tidak pernah memesan Helikopter AW 101 itu. Dia juga tidak tahu proses pengadaan helikopter buatan Inggris itu sampai tiba di Tanah Air.
Di hadapan para anggota Dewan, Jenderal Gatot kemudian mencurahkan unek-uneknya. Dia menyinggung soal Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 28 Tahun 2015 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pertahanan Negara. Dengan adanya permenhan itu, Gatot merasa kewenangan panglima TNI dipangkas.
Sebagai Panglima TNI, Gatot menyatakan tidak bisa mengatur berapa anggaran TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Menurut dia, semua anggaran TNI langsung di bawah tanggung jawab Kementerian Pertahanan, tidak melalui panglima TNI.
"Panglima sulit bertanggung jawab dalam pengendalian terhadap tujuan sasaran penggunaan anggaran TNI, termasuk angkatan," kata Gatot.
Dia merasa, sebelum ada Permenhan No 28 Tahun 2015, mekanisme pengadaan alat utama sistem persenjataan berjalan baik, sistematis, dan ketat. Namun, kewenangannya sebagai panglima terkikis setelah ada permenhan itu.
Mantan kepala staf TNI AD itu tak menampik bahwa TNI memang berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan, sebagaimana Pasal 3 Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Namun demikian, bukan berarti TNI bagian dari unit operasional Kemenhan.
TNI, lanjut dia, terdiri atas tiga matra yakni, Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara. Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, semua matra TNI ada di bawah pimpinan panglima TNI.
Gatot mengatakan, seharusnya dia membuka persoalan ini sejak 2015. Tapi, baru kali ini dia bisa sampaikan.
"Tapi, berkaitan dengan saya, saya buka ini untuk menyiapkan adik-adik saya. Karena saya mungkin besok bisa diganti, paling lambat Maret saya harus diganti. Kalau ini terjadi terus, maka kewenangan di bawah panglima TNI tidak ada," ujar Gatot.
Mendengar keluhan panglima, Anggota Komisi I DPR, Effendi Simbolon, lantas meminta penjelasan Menhan Ryamizard Ryacudu. Namun, Ryamizard meminta agar penjelasannya disampaikan secara tertutup, tanpa diliput media.
"Kalau tertutup, bisa buka-bukaan," kata Ryamizard. Para wartawan pun diminta untuk keluar dari ruang rapat.
Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, meminta tidak dibenturkan dengan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo terkait dengan penggunaan anggaran alutsista. Terutama terkait dengan pembelian helikopter AW 101 oleh TNI Angkatan Udara.
"Sudah saya sampaikan itu, jangan diungkit-ungkit lagi. Semuanya punya. Saya pengguna anggaran. Mulai dari yang bendahara siapa, menkeu. Diserahkan kepada saya, saya semua itu. Saya sebarkan untuk Kemhan, di Sekjen. TNI ada panglima atau kasum. Dulu begitu," ujar Ryamizard, di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 8 Februari 2017.
Masalah pembelian Helikopter AW 101, ia menyerahkan semuanya kepada kepala staf TNI Angkatan Udara yang kini tengah melakukan penyelidikan internal. Namun, terkait dengan curhatan Gatot di DPR, Ryamizard meminta tidak dibesar-besarkan.
"Jangan digede-gedein. Dari dulu saya enggak pernah ribut kan, jangan buat saya ribut. Saya orang pejabat pengalah, bukan kalah," kata dia.
Menurut Ryamizard, pengadaan Helikopter AW 101 bukan melalui kementeriannya. "Begini, ini kan untuk Kepresidenan. Kalau Kepresidenan tidak lewat Kemhan. Lewat Sekretariat Negara," kata Ryamizard.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo sudah menolak membeli heli itu, yang awalnya diperuntukkan VVIP Kepresidenan. Karena heli sudah dibeli, menurutnya, tidak ada persoalan kalau nanti dikembalikan.
"Kalau kebutuhan sih bagus, tapi mahalnya itu. Kalau kita kan sudah bisa buat di PT DI. Kenapa enggak PT DI saja, kan itu maunya Presiden," kata Ryamizard.
Saat ini, Ryamizard menyerahkan pada TNI AU terkait investigasi masalah ini. “Saya serahkan pada KSAU. Tunggu KSAU,” katanya.
Bentuk Tim Investigasi
Polemik bergulir, hingga dibentuk tim investigasi. Baik panglima TNI, maupun TNI Angkatan Udara, membuat tim investigasi masing-masing.
Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, menyatakan, pembentukan tim investigasi internal sudah mendapatkan izin dari panglima TNI.
Menurut Hadi, saat ini masih terus menyelidiki dan mendalami pengadaan Helikopter AW 101. Dia pun mengaku telah berkoordinasi dengan menteri Sekretariat Negara terkait anggaran dari pembelian Helikopter AW 101.
"Kenapa terjadi, itulah yang akan diinvestigasi oleh panglima TNI, dan saya bantu untuk melaksanakan investigasi internal," kata Hadi di Markas Wing I Paskhas Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, Rabu, 8 Februari 2017.
Menurut Hadi, anggaran yang digunakan untuk membeli AW 101 turun dari Dirjen Anggaran Angkatan Udara. Sebab, helikopter tersebut masuk dalam kategori pembelian khusus.
"Itulah kami sampaikan dan saya sudah sampaikan bahwa anggaran itu adalah anggaran Unit Organisasi AU yang memang bisa diberikan ke sana, apabila digunakan secara khusus. Karena pada waktu itu kekhususannya akan mengadakan heli VVIP," kata Hadi.
"Saya tahu betul anggaran itu bukan dari Setneg. Karena saya mantan sesmil tahu betul dari proses pengadaan pesawat VVIP sampai dengan apa yang terjadi sekarang," kata Hadi.
Hanya saja, ia masih belum dapat menentukan sampai kapan investigasi itu berlangsung, juga tenggat waktunya. Itu dimaksudkan agar penyelesaian masalah itu dapat menyeluruh.
"Kita harus pelan-pelan. Tidak boleh buru-buru, sehingga kita akan mengarah ke sasaran, kena sasarannya. Kalau buru-buru nanti akan miss. Sehingga kita punya tim sendiri kemudian membantu panglima TNI," kata Hadi.
Tinjau Ulang Permenhan
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Fadli Zon, menilai ada kepentingan begitu kuat yang mendasari TNI AU ngotot membeli Helikopter AW 101.
"Saya kira (ada) kepentingan. Pasti kepentingan. Bisa terkait dengan jenis pesawat, bisa juga ada motif lain, kita tidak tahu. Yang jelas ada motif kepentingan," ujar Fadli.
Menurut dia, kepentingan itu terlihat dari tarik-menarik untuk menentukan alutsista yang paling cocok. Karenanya, kata dia, harus dibuka dan diungkap secara transparan.
"Tinggal bagaimana sekarang ini, kalau mau melihat itu urut-urutannya saja. Dokumennya diurutkan, dari mana, siapa yang memberikan rekomendasi, siapa yang mengambil keputusan sesungguhnya," kata politikus Gerindra itu.
"Jadi dari situ saya kira tidak bisa dibantah lagi, siapa sebetulnya yang punya otoritas untuk pengajuan dan pembelian helikopter tersebut, dan yang diuntungkan atau apa," Fadli menambahkan.
Anggota Komisi I DPR Ahmad Muzani menilai Permenhan Nomor 28 Tahun 2015 cukup janggal. Aturan seperti itu seolah membuat panglima TNI tidak memiliki pasukan.
"Bayangkan seorang panglima tidak memiliki kendali atas apa yang akan dikerjakan oleh AD, AL, AU. Saya kira itu berarti sama saja panglima tanpa pasukan," kata Muzani di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 8 Februari 2017.
Menurut Muzani, Permenhan tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pertahanan Negara itu sebaiknya ditinjau ulang. Hal itu untuk memperbaiki hubungan antara panglima TNI dan menteri pertahanan.
"Kemudian dibicarakan lagi supaya kendali atas AD, AL, AU itu bisa lebih koordinatif lagi," ujar Muzani.
Muzani menyarankan agar Presiden Jokowi, menteri pertahanan, dan panglima TNI duduk bersama membahas aturan ini. Rapat harmonisasi diperlukan untuk membicarakan poin-poin krusial dalam permenhan tersebut.
"Sebaiknya ini diselesaikan di tingkat kementerian oleh Presiden supaya koordinasi di Mabes TNI bisa berjalan efektif dan lebih baik lagi, sehingga tentara kita bisa betul-betul dalam satu kendali," kata Muzani.
Anggota Komisi I DPR, Andreas Hugo Pareira, mengatakan, substansi dari adanya permenhan itu adalah sentralisasi perencanaan dan pembelian alutsista. Upaya itu sudah ditanyakan kembali kepada Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu.
"Di situ Kemenhan mengatakan bahwa mereka mengacu pada Undang Undang Sistem Perencanaan Pembangunan. Dari situ dasarnya bahwa pertanggungjawaban penganggaran itu ada pada kementerian," ujar Ryamizard.
Andreas mengatakan, terkait pengurangan kewenangan akibat permenhan ini memang menimbulkan dampak positif dan negatif secara keorganisasian. Hal itu kembali akan dibicarakan dalam sesi khusus selanjutnya.
"Pasti (berpengaruh). Kalau ada wewenangnya dikurangi dari sesuatu yang bisa dia peroleh. Kami ingin memperdalam itu dalam sesi khusus di agenda selanjutnya," kata politikus PDIP ini.
Namun, dengan adanya kontroversi ini, Andreas berharap tidak ada perbedaan pendapat yang tajam lagi antara panglima TNI dan Menhan Ryamizard.
"Di mana pun, baik panglima atau menhan itu kan adalah aparat negara di bawah Presiden. Yang satu punya fungsi administrasi, perencanaan dari pertahanan. Yang satu adalah poin sebagai penggerak pasukan, sehingga dia seharusnya sinergi, gitu," kata Andreas.
Credit VIVA.co.id