YANGON
- Sejumlah penduduk desa Rohingya di Myanmar telah dibantai dan
dimakamkan di lima kuburan massal. Demikian penyelidikan eksklusif oleh
kantor berita Associated Press (AP).
Laporan oleh kantor berita tersebut pada hari Kamis termasuk kesaksian saksi dari dua lusin korban selamat dan kerabat korban, serta rekaman ponsel yang mencatat waktu setelah serangan tersebut.
Diperkirakan 400 anggota etnis minoritas yang teraniaya itu dibunuh oleh tentara Myanmar. Dalam satu pembantaian, sekelompok pria berada dalam satu tim untuk pertandingan sepak bola lokal yang disebut 'chinlone' di desa Gu Dar Pyin, saat tentara mulai menembaki mereka.
Seorang korban bernama Noor Kadir kemudian menemukan enam temannya dikubur di dua kuburan massal terpisah. Dia mengatakan bahwa mayat korban hanya dapat dikenali melalui warna celana pendek mereka.
Pembunuhan massal tersebut diyakini terjadi pada 27 Agustus dan korban selamat mengatakan kepada AP bahwa tentara telah mencoba untuk menutupi bukti kekejaman tersebut. Video yang didapat oleh kantor berita tersebut mengindikasikan usaha menggunakan asam untuk menghancurkan mayat.
Sisa-sisa yang terkandung di dalam kuburan dangkal naik ke permukaan setelah hujan deras dan korban selamat dapat memfilmkan bukti.
Phil Robertson dari Human Rights mengatakan bahwa laporan tersebut meningkatkan dukungan bagi masyarakat internasional untuk menuntut pertanggungjawaban dari Myanmar dan menggarisbawahi perlunya embargo senjata yang dipimpin oleh PBB ke negara tersebut.
"Laporan AP bahwa (tentara) membawa asam ke Gu Dyar Pin untuk mengubah bentuk tubuh dan membuat identifikasi lebih sulit sangat memberatkan karena menunjukkan tingkat pra-perencanaan dari kekejaman ini," kata Robertson.
"Ini saatnya Uni Eropa dan AS untuk serius mengidentifikasi dan meratakan sanksi yang ditargetkan terhadap komandan militer dan tentara Myanamr yang bertanggung jawab atas kejahatan hak asasi manusia ini," imbuhnya seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (1/2/2018).
Utusan khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, Yanghee Lee mengatakan kepada wartawan bahwa pembunuhan dan pembuangan mayat tersebut mengandung "ciri genosida".
Ketika ditanya tentang kekerasan terhadap minoritas Rohingya di tangan militer Myanmar, Lee menanggapi bahwa "Anda dapat melihatnya sebagai sebuah pola".
Namun, utusan hak asasi PBB tersebut mengatakan bahwa dia tidak dapat membuat sebuah pernyataan mengenai "genosida" sampai pengadilan internasional dapat mempertimbangkan bukti tersebut.
Myanmar sebelumnya mengaku bertanggung jawab atas satu kuburan massal yang berisi 10 jenazah di desa Inn Din.
Laporan oleh kantor berita tersebut pada hari Kamis termasuk kesaksian saksi dari dua lusin korban selamat dan kerabat korban, serta rekaman ponsel yang mencatat waktu setelah serangan tersebut.
Diperkirakan 400 anggota etnis minoritas yang teraniaya itu dibunuh oleh tentara Myanmar. Dalam satu pembantaian, sekelompok pria berada dalam satu tim untuk pertandingan sepak bola lokal yang disebut 'chinlone' di desa Gu Dar Pyin, saat tentara mulai menembaki mereka.
Seorang korban bernama Noor Kadir kemudian menemukan enam temannya dikubur di dua kuburan massal terpisah. Dia mengatakan bahwa mayat korban hanya dapat dikenali melalui warna celana pendek mereka.
Pembunuhan massal tersebut diyakini terjadi pada 27 Agustus dan korban selamat mengatakan kepada AP bahwa tentara telah mencoba untuk menutupi bukti kekejaman tersebut. Video yang didapat oleh kantor berita tersebut mengindikasikan usaha menggunakan asam untuk menghancurkan mayat.
Sisa-sisa yang terkandung di dalam kuburan dangkal naik ke permukaan setelah hujan deras dan korban selamat dapat memfilmkan bukti.
Phil Robertson dari Human Rights mengatakan bahwa laporan tersebut meningkatkan dukungan bagi masyarakat internasional untuk menuntut pertanggungjawaban dari Myanmar dan menggarisbawahi perlunya embargo senjata yang dipimpin oleh PBB ke negara tersebut.
"Laporan AP bahwa (tentara) membawa asam ke Gu Dyar Pin untuk mengubah bentuk tubuh dan membuat identifikasi lebih sulit sangat memberatkan karena menunjukkan tingkat pra-perencanaan dari kekejaman ini," kata Robertson.
"Ini saatnya Uni Eropa dan AS untuk serius mengidentifikasi dan meratakan sanksi yang ditargetkan terhadap komandan militer dan tentara Myanamr yang bertanggung jawab atas kejahatan hak asasi manusia ini," imbuhnya seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (1/2/2018).
Utusan khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, Yanghee Lee mengatakan kepada wartawan bahwa pembunuhan dan pembuangan mayat tersebut mengandung "ciri genosida".
Ketika ditanya tentang kekerasan terhadap minoritas Rohingya di tangan militer Myanmar, Lee menanggapi bahwa "Anda dapat melihatnya sebagai sebuah pola".
Namun, utusan hak asasi PBB tersebut mengatakan bahwa dia tidak dapat membuat sebuah pernyataan mengenai "genosida" sampai pengadilan internasional dapat mempertimbangkan bukti tersebut.
Myanmar sebelumnya mengaku bertanggung jawab atas satu kuburan massal yang berisi 10 jenazah di desa Inn Din.
Pembunuhan tersebut terjadi pada bulan September namun pihak berwenang hanya mengakui mereka setelah ditemukannya kuburan massal tersebut pada bulan Desember, mengklaim bahwa mereka yang telah meninggal adalah "teroris".
Amnesty International menggambarkan penemuan pada bulan Desember itu sebagai "puncak gunung es".
Sejak Agustus 2017, lebih dari 655 ribu orang Rohingya telah meninggalkan Myanmar ke negara tetangga Bangladesh untuk melarikan diri dari apa yang PBB sebut sebagai "genosida teks book".
Militer Myanmar mengklaim bahwa mereka memerangi apa yang mereka sebut "teroris", namun korban selamat yang menyeberang ke Bangladesh membawa serta laporan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran rumah.
Bangladesh dan Myanmar telah menyetujui kesepakatan untuk mengirim pengungsi Rohingya kembali. Sebagai bagian dari kesepakatan repatriasi, Rohingya akan ditahan di pusat penahanan, yang oleh aktivis Rohingya sebut sebagai "kamp konsentrasi".
Secara luas dianggap sebagai salah satu minoritas paling teraniaya di dunia, orang-orang Rohingya yang kebanyakan Muslim, ditolak kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar. Pemerintah Myanmar yang mengklaim bahwa mereka bukan penduduk asli negara itu.
Credit sindonews.com