Rabu, 23 Maret 2016

Radikalisme di Eropa, Ada Apa dengan Belgia?


 
AFP PHOTO / EMMANUEL DUNAND Aparat keamanan membuat barikade di dekat Stasiun Metro Maalbeek, Brussels, Belgia, setelah ledakan bom yang terjadi pada Selasa (22/3/2016).

  CB - Belgia, selama ini dianggap sebagai sebuah negeri yang tenang, dikenal dunia lewat kartu-kartu pos yang menampilkan kota-kotanya yang indah dan permen cokelatnya.

Namun, penangkapan Salah Abdeslam, tersangka pelaku serangan Paris tahun lalu yang menewaskan 130 orang, di distrik Molenbeek, Brussels, menggeser kesan indah negeri mungil ini.

Kini, Belgia dianggap sebagai salah satu lahan subur tumbuhnya paham radikalisme di Eropa.

Kesan itu semakin kuat setelah pada Selasa (22/3/2016), dua ledakan bom mengguncang bandara Brussels dan stasiun kereta bawah tanah, dengan korban puluhan orang tewas.

Apa yang menyebabkan Belgia menjadi lahan berkembangnya terorisme di Eropa?

Belgia adalah sebuah negara seluas 30.528 kilometer persegi dengan penduduk 11 juta jiwa.

Belgia, secara ekonomi, merupakan negara yang makmur dengan pendapatan per kapita mencapai lebih dari 43.000 dollar AS per tahun.

Dari sisi kebhinekaan, Belgia juga bukan negara yang homonim. Hingga tahun 2007, 92 persen penduduk adalah warga Belgia dan sisanya adalah warga negara Uni Eropa lainnya.

Selain itu sebagai sebuah negara, Belgia cukup terbuka untuk menerima warga negara baru.

Pada awal 2012, sekitar 25 persen warga Belgia adalah mereka yang memiliki latar belakang dan keturunan asing.

Jika dirinci  maka 1,2 juta orang adalah keturunan Eropa dan 1,35 juta adalah keturunan negara non-Eropa, sebagian besar berasal dari Maroko, Turki dan Republik Demokratik Kongo.

Sejak undang-undang kewarganegaraan Belgia direvisi pada 1983, hingga saat ini sudah 1,3 juta migran menerima status sebagai warga negara Belgia.

Kelompok terbesar imigran yang kini beranak pinak di Belgia berasal dari Maroko, dengan jumlah lebih dari 450.000 orang.

Dari sisi keagamaan, meski mayoritas penduduk Belgia memeluk Katolik, namun kerajaan ini adalah negara sekuler.

Semua agama bebas berkembang di negeri itu. Di Belgia kini 6 persen penduduknya atau sekitar 628 ribu jiwa memeluk Islam, mayoritas adalah warga keturunan Maroko.

Umat Muslim Belgia kebanyakan tinggal di kota-kota besar seperti Brussels, Antwerp, dan Charleroi.

Dari profil ringkas Belgia itu, maka secara kasat mata seharusnya negeri semakmur Belgia tidak menjadi ladang persemaian pemahaman radikal di Eropa.

Molenbeek dan radikalisme

Salah Abdeslam, tersangka penyerangan Paris, meski warga negara Perancis, dia lahir dan dibesarkan di distrik Molenbeek, Brussels.

Molenbeek adalah sebuah distrik kelas pekerja dan sejak lama distrik ini identik dengan kemiskinan dan kriminalitas di ibu kota Uni Eropa itu.

Bagi warga Brussels, bukan hal yang aneh jika warga distrik ini terlibat dalam berbagai kejahatan seperti penodongan, narkotika hingga perampokan.

Bahkan dua serangan teror terakhir di Paris yaitu penembakan kantor majalah Charlie Hebdo dan serangan yang gagal terhadap kereta cepat Thalys, juga melibatkan warga Molenbeek.

Seperti halnya kawasan miskin di berbagai belahan dunia, Molenbeek juga merupakan kawasan terpadat di Brussels yang disesaki 95.000 orang, atau dua kali lipat dari kawasan lain di Brussels.

Molenbeek dulu, pernah menjadi daerah yang makmur, tepatnya di akhir abad ke-18.

Revolusi industri dan pembangunan kanal Brusses-Charleroi membuat daerah ini makmur dari perdagangan dan manufaktur.

Kemunduran Molenbeek terjadi pada akhir abad ke-19, ketika pemerintah Brussels mereintegrasikan kanal dengan kawasan pelabuhan baru.

Kemunduran industri di Molenbeek sudah dimulai sebelum Perang Dunia I pecah, dan semakin cepat di masa Depresi Besar.

Sejak itu upaya untuk mengembalikan kejayaan Molenbeek selalu gagal. Alhasil sebagian besar penduduk distrik ini hidup dalam kondisi miskin.

Apalagi, hampir 30 persen warga Molenbeek adalah pengangguran. Sehingga mereka sangat mudah terjatuh dalam kriminalisme hingga radikalisme.

Ali, bukan nama sebenarnya, kepada CNN mengatakan diskriminasi dan kurangnya peluang di Belgia membuat para pemuda negeri itu memilih jalan pintas.

Dua saudara laki-laki Ali, sudah berangkat ke Suriah dan salah satunya telah tewas di garis depan pertempuran.

"Banyak dari kami merasa tak diterima di negara kami sendiri. Perasaan termarjinalisasi inilah yang dieksploitasi para perekrut," ujar Ali.

Dia menambahkan,  meski sebagian besar dari mereka lahir dan besar di Belgia namun negara selalu menganggap mereka sebagai orang asing.

"Negara menganggap kami orang asing sehingga kami sulit mencari pekerjaan. Negara memenuhi diri kami dengan kebencian dan mengatakan kami tak berguna," tambah Ali.

"Jadi para pemuda melihat apa yang tengah terjadi di Suriah akhirnya memutuskan berangkat agar menjadi berguna," lanjut Ali.

Situasi ini adalah hal yang sangat berbahaya dalam memupuk bibit-bibit radikalisme.

"Ini adalah kombinasi berbahaya antara kemiskinan dan kemunculan berbagai organisasi berhaluan radikal," kata Bilal Benyaich, peneliti senior di lembaga riset Itinera Institute seperti dikutip CNBC.

"Di Molenbeek, banyak anak muda yang belum pernah melihat pusat kota Brussels. Mereka berkutat di ruang-ruang chat dan Facebook, berhubungan dengan kelompok-kelompok paling radikal," tambah Benyaich.

Benyaich menegaskan, kelompok radikal jumlahnya sangat kecil dibanding jumlah seluruh umat muslim Belgia.

Namun, dia mendesak, agar para politisi segera menelurkan strategi tepat untuk memberantas radikalisme dengan layanan sosial, pendidikan, sistem hukum dan kepolisian ditambah kebijakan luar negeri yang realistis.

Politik, politik dan politik

Namun, usulan Benyaich itu nampaknya sulit diwujudkan dalam waktu dekat, dan penyebabnya adalah sistem politik Belgia yang unik jika tak mau disebut aneh.

Seorang politisi Belgia, Hans Bonte, seperti dikutip harian Jerman Spiegel, mengatakan, dia tak heran jika banyak tersangka kasus terorisme berasal dari Molenbeek.

Bonte menyebut dua hal yang menyebabkan masalah ini, yaitu politik Belgia yang terlalu lokal dan mininya pengawasan serta kontrol sosial terhadap mereka yang sudah teradikalisasi.

Brussels, sebuah kota dengan penduduk sebanyak 1,2 juta jiwa, tak memiliki satu dinas kepolisian.

Kota ini, memiliki enam kepolisian yang bertanggung jawab terhadap 19 wali kota yang tak jarang adalah para rival politik.

Selain itu, konflik tak teratasi antara dua populasi terbesar Belgia yaitu warga Flemish yang berbahasa Belanda dan Waloons yang berbahasa Perancis juga membayangi.

Usai serangan Paris tahun lalu, Menteri Dalam Negeri Belgia Jan Flambon, yang seorang Flemish, mengusulkan agar keenam kepolisian di Belgia melakukan merjer untuk mengantisipasi serangan serupa.

"Itu adalah mimpi orang Flemish," kata Ahmed El Kahnnouss, wakil wali kota Molenbeek.

Dia mengatakan, Molenbeek, sebagai kawasan dengan penduduk berbahasa Perancis harus memiliki kepolisian dengan bahasa yang sama.

Hal ini, lanjut Kahnnouss, terkait dengan prinsip tradisional Belgia soal otonomi komunal.

Selain itu, aparat kepolisian terutama di kawasan-kawasan "kurang makmur" seperti Molenbeek, tak memiliki fasilitas memadai.

Eksportir anggota kelompok radikal

Dengan berbagai kerumitan di lapangan itu, tak heran jika Belgia kini menjadi saah satu "eksportir" utama pemuda ke kancah perang di Suriah dan Irak.

Menurut data dari ICSR, Kings College London, hingga akhir tahun lalu sebanyak 500 warga Belgia berangkat ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Dari sisi jumlah warga yang pergi ke Timur Tengah, Belgia menempati urutan ketiga setelah Perancis dan Inggris.

Namun, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang hanya 11 juta jiwa, maka Belgia menjadi negara terbanyak yang mengirim pemudanya untuk berperang di Suriah dan Irak.

Di Suriah, ratusan warga Belgia yang sebagian besar masih berusia muda itu menjadi semakin teradikalisasi dan yang paling berbahaya adalah mendapat pelatihan militer.

Setelah kenyang pengalaman tempur mereka pulang dari Suriah dan setibanya di Belgia tak ada sistem apapun yang bisa memantau aktivitas para veteran perang ini.

"Untuk seorang pemuda yang teradikalisasi maka dibutuhkan sebuah solusi terbaik yang khusus dibuat untuk dia. Dan itu tak terjadi di Brussels dan sekitarnya," ujar Bonte.

Jadi yang diperlukan mungkin adalah pengawasan dan penanganan yang terukur dan bukan sekadar tindakan represif.

Sayangnya, Perdana Menteri Belgia Charles Michel memandang, tindakan represif menjadi yang utama.

"Hampir selalu terdapat kaitan dengan Molenbeek. Kami sudah mencoba mencegah. Kini kami harus represif. Kami selama ini tak ingin campur tangan dan lemah. Kini kami harus membayar mahal," ujar Michel.

Yang jelas, masalah radikalisme di Belgia adalah masalah bersama negara-negara Eropa. Apalagi Brussels, jaraknya hanya "sepelemparan batu" dari Paris, Perancis.

Brussels juga hanya berjarak beberapa jam dari kota-kota utama Eropa seperti Amsterdam, Koln, Strasbourg, Frankfurt atau Berlin.




Credit  KOMPAS.com