Selasa, 03 Maret 2015

Sejumlah Dokter Ungkap Skandal Prosedur Medis yang Masif

 
Bloomberg Seorang dokter mengungkapka, dalam pertemuan bulanan dengan kepala eksekutif rumah sakit, dirinya ditegur karena hanya dapat 10 persen


NEW DELHI, CB - Selama bertahun-tahun, rakyat India sudah menduga bahwa sejumlah dokter di negara itu telah melakukan operasi yang seharusnya tidak perlu, memerintahkan tes dan prosedur yang tidak beralasan, menerima imbalan karena merujuk pasien dan berperilaku seperti baron perampok yang rakus ketimbang sebagai perawat orang sakit.

Kini kisah-kisah horor itu yang dulu hanya menjadi lelucon di meja makan, seperti operasi jantung untuk mengatasi nyeri bahu yang sebenarnya bisa pulih dengan cukup berolahraga, muncul ke permukaan dari mulut orang-orang yang sangat berkompeten.

Dalam sebuah laporan yang dirilis minggu ini, sebanyak 78 dokter, separuhnya telah mengidentifikasi diri mereka, membeberkan kesaksian tentang keserakahan dan korupsi yang tampaknya telah menjadi endemik dalam profesi kedokteran di India.

Para dokter itu menyampaikan kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berbasis di Pune, yaitu SATHI (Support for Advocacy and Training to Health Initiatives), yang membuat laporan tersebut bahwa sejumlah rumah sakit swasta telah sedemikian dikomersialkan. Dampaknya, motif memaksimalkan keuntungan menjadi dasar dari setiap aspek pengobatan.

Seorang dokter mengungkapkan bahwa dalam pertemuan bulanan dengan kepala eksekutif rumah sakit, dirinya ditegur karena hanya dapat 10 persen "nilai konversi" (conversion rate), sebuah referensi tentang berapa banyak pasien rawat jalan yang ditangai seorang dokter yang disarankan untuk menjalani operasi.

"Dia (kepala eksekutif rumah sakit) memberitahu saya nilai konversi harus 40 persen dan bahwa saya harus meninggalkan rumah sakit tersebut kecuali saya bisa meningkatkan nilai itu," tutur sang dokter.

Koordinator SATHI, Abhay Shukla yang juga seorang dokter, mengatakan laporan itu penting karena hal itu datang kebanyakan dari organisasi sosial, studi lapangan maupun lelucon, walau bukti korupsi sudah ada selama bertahun-tahun.

"Ini pertama kalinya para dokter telah "meniup peluit". Biasanya para dokter tidak pernah menentang satu sama lain. Kesaksian mereka menunjukkan bahwa kita berada di tepi krisis parah yang memerlukan regulasi," kata Dr Shukla.

Dalam laporan tersebut, para dokter berbicara tentang bagaimana sebuah rujukan untuk angioplasti bisa membuat seorang dokter mendapat imbalan (kickback); tentang bagaimana para dokter memerintahkan CT scan dan MRI yang seharusnya tidak diperlukan; dan tentang para dokter yang merujuk pasien ke sebuah klinik untuk melakukan electrocardiograms murni demi mendapatkan komisi.

Rumah sakit swasta berkembang pesat di India. Perkembangan tersebut tidak lepas dari keadaan mengerikan di kebanyakan rumah sakit pemerintah, di mana kadang-kadang ada dua pasien dalam satu tempat tidur.

Setelah menggelontorkan sejumlah investasi besar dan menghadapi persaingan ketat, banyak rumah sakit mencoba untuk mengembalikan modal investasi mereka melalui cara-cara yang tidak etis, termasuk penetapan "target" pendapatan yang harus dicapai para dokter.

Laporan SATHI itu muncul setelah MediAngels, pusat medis di Mumbai yang menawarkan second opinion (pendapat pihak kedua), melaporkan bulan lalu bahwa hampir 44 persen dari 12.500 pasien yang telah disarankan untuk menjalani operasi pemasangan stent, operasi lutut, kanker, dan infertilitas, justru dianjurkan agar tidak melakukan saran itu oleh sejumlah konsultan pihak kedua mereka.

Dan tahun lalu, sebuah perdebatan tentang imbalan dan suap yang mewarnai hampir setiap bagian dari sistem kesehatan telah dipicu oleh sebuah artikel di British Medical Journal yang dibikin dokter David Berger. Berdasarkan pengalaman kerja selama enam bulan sebagai dokter sukarelawan di sebuah rumah sakit di India, dokter  Berger menjelaskan tentang permintaan foto sinar X, MRI, histerektomi yang tidak diperlukan, suap rutin dan "kematian sia-sia".

Menurut dokter Shukla, satu-satunya solusi untuk masalah itu adalah regulasi. Ia menyebut regulasi Dewan Kedokteran India sangat "minimal". Hampir tidak ada dokter yang pernah dikenakan hukuman disiplin atau dicabut ijin praktiknya. "Sektor-sektor lain diatur, seperti telekomunikasi, minyak bumi, listrik, lalu mengapa tidak dengan perawatan kesehatan milik  swasta. Dewan Kedokteran India mengatakan masalah terbatas pada sejumlah kambing hitam. Namun Anda perlu mikroskop untuk menemukan kambing putih," tambah dokter Shukla.

Seorang ahli urologi senior di Rumah Sakit Apollo di New Delhi, Narasimhan Subramanian, setuju bahwa kerangka jelas tentang tes dan pengobatan sangat penting. Setelah melihat pedoman kerja di Inggris, di mana dia telah berpraktik, dokter Subramanian mengatakan bahwa sejumlah aturan sederhana, seperti yang mengatur pengobatan pasien dengan cedera kepala, telah bekerja dengan baik. "Aturan itu menetapkan bahwa para dokter tidak perlu memerintahkan CT scan kecuali pasien sudah pingsan, ada pendarahan dari telinga atau hidung, muntah atau ada luka yang terlihat," katanya.

Tanda-tanda perubahan telah muncul di India. Juni lalu, ahli jantung senior di rumah sakit top pemerintah  meluncurkan sebuah organisasi bernama Society for Less Investigative Medicine. Organisasi itu menentang pemeriksaan yang seharusnya tidak perlu. Mereka berharap bahwa disiplin medis yang lain bisa mengikuti langkah tersebut.


Credit  KOMPAS.com