CB, Jakarta - Indonesia melalui posisi sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB
periode 2019 - 2020 akan menyuarakan perlunya reformasi di dalam tubuh
PBB. Reformasi diperlukan agar Dewan Keamanan PBB selaras dengan tatanan
global yang lebih inklusif.
Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian Ruddyard mengatakan di tubuh PBB terdapat lima negara anggota yang memiliki hak veto. Sekarang ini tidak mudah bagi negara-negara tersebut untuk mengurangi atau menghilangkan sama sekali hak veto mereka.
"Ini tidak gampang karena dalam kesepakatan reformasi Dewan Keamanan PBB 2017-2018 ada keinginan untuk melakukan reformasi termasuk pada negara-negara pemilik hak veto,"kata Febrian, Rabu, 16 Januari 2019.
Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian Ruddyard. Sumber: TEMPO/Suci Sekarwati
Febrian menjelaskan reformasi PBB setidaknya menyasar pada empat hal. Pertama, masalah keanggotaan apakah anggota tetap atau tidak tetap Dewan Keamanan PBB jumlahnya tidak berubah atau boleh bertambah.
Saat ini, Dewan Keamanan PBB terdiri dari 15 negara anggota, yakni lima negara anggota tetap dan 10 negara anggota tidak tetap. Setiap negara anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB memiliki periode keanggotaan selama 2 tahun.
Kedua, hal yang disoroti dalam reformasi Dewan Keamanan PBB adalah isu representasi. Contohnya, ada sekitar 50 negara Afrika di PBB, tetapi representasinya hanya dua di anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Jumlah ini dinilai kurang mewakili.
Febrian menekankan jumlah anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang tidak bertambah jumlahnya telah menyandera PBB. Sebab negara-negara seperti Jepang, Brazil dan India menjerit merasa punya posisi yang sama dengan anggota tetap tersebut. Lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB adalah Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia dan Cina.Ketiga, anggota PBB ingin ada reformasi terkait hak veto, apakah veto ini bisa dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Febrian mengatakan anggota PBB dituntut bersikap realistis karena negara-negara pemilik hak veto tidak mau hak istimewa itu dihilangkan. Dengan begitu, Indonesia menyerukan adanya pengaturan kapan veto tidak boleh digunakan, misalnya untuk isu kejahatan perang.
Terakhir, reformasi PBB juga harus menyasar transparansi metode kerja di Dewan Keamanan PBB. Febrian mengatakan adanya kata sepakat untuk melakukan reformasi di tubuh PBB adalah sebuah kemajuan luar biasa sebab bisa saja negara-negara kekuatan dunia menyuarakan ketidak setujuan mereka.
Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian Ruddyard mengatakan di tubuh PBB terdapat lima negara anggota yang memiliki hak veto. Sekarang ini tidak mudah bagi negara-negara tersebut untuk mengurangi atau menghilangkan sama sekali hak veto mereka.
"Ini tidak gampang karena dalam kesepakatan reformasi Dewan Keamanan PBB 2017-2018 ada keinginan untuk melakukan reformasi termasuk pada negara-negara pemilik hak veto,"kata Febrian, Rabu, 16 Januari 2019.
Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian Ruddyard. Sumber: TEMPO/Suci Sekarwati
Febrian menjelaskan reformasi PBB setidaknya menyasar pada empat hal. Pertama, masalah keanggotaan apakah anggota tetap atau tidak tetap Dewan Keamanan PBB jumlahnya tidak berubah atau boleh bertambah.
Saat ini, Dewan Keamanan PBB terdiri dari 15 negara anggota, yakni lima negara anggota tetap dan 10 negara anggota tidak tetap. Setiap negara anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB memiliki periode keanggotaan selama 2 tahun.
Kedua, hal yang disoroti dalam reformasi Dewan Keamanan PBB adalah isu representasi. Contohnya, ada sekitar 50 negara Afrika di PBB, tetapi representasinya hanya dua di anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Jumlah ini dinilai kurang mewakili.
Febrian menekankan jumlah anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang tidak bertambah jumlahnya telah menyandera PBB. Sebab negara-negara seperti Jepang, Brazil dan India menjerit merasa punya posisi yang sama dengan anggota tetap tersebut. Lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB adalah Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia dan Cina.Ketiga, anggota PBB ingin ada reformasi terkait hak veto, apakah veto ini bisa dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Febrian mengatakan anggota PBB dituntut bersikap realistis karena negara-negara pemilik hak veto tidak mau hak istimewa itu dihilangkan. Dengan begitu, Indonesia menyerukan adanya pengaturan kapan veto tidak boleh digunakan, misalnya untuk isu kejahatan perang.
Terakhir, reformasi PBB juga harus menyasar transparansi metode kerja di Dewan Keamanan PBB. Febrian mengatakan adanya kata sepakat untuk melakukan reformasi di tubuh PBB adalah sebuah kemajuan luar biasa sebab bisa saja negara-negara kekuatan dunia menyuarakan ketidak setujuan mereka.
Credit tempo.co