Unjuk rasa massa rompi kuning di Ibu Kota Paris, Prancis. (REUTERS/Jean-Paul Pelissier)
Philippe mengatakan pemerintah akan mendukung undang-undang baru yang menghukum aksi unjuk rasa yang tidak sesuai persyaratan.
"Undang-undang baru akan menghukum mereka yang tidak menghormati persyaratan untuk melakukan aksi protes, mereka yang ikut serta dalam demonstrasi tanpa izin, dan mereka yang mengikuti demonstrasi dengan mengenakan masker," kata Phillipe, seperti dikutip dari Straits Times, Selasa (8/1).
Philippe menyatakan pemerintah juga berencana melarang demonstran yang telah dikenali aparat keamanan sebagai provokator untuk ikut serta dalam aksi protes. Langkah ini sebelumnya diterapkan bagi penonton pertandingan sepak bola yang dikenal sering membuat kericuhan dilarang memasuki stadion.
"Langkah tersebut berhasil," kata Philippe.
Provokator dalam aksi unjuk rasa, tambah Phillipe, juga akan dituntut bertanggung jawab dan membayar ganti rugi atas usaha dan properti yang dirusak selama demonstrasi.
Pada Sabtu (5/1) pekan lalu, aksi unjuk rasa rompi kuning kembali berujung ricuh. Demonstran bahkan membawa kendaran proyek dan dipakai untuk merusak pagar bangunan pemerintah. Seorang mantan petinju profesional juga tertangkap kamera sedang memukuli petugas keamanan selama aksi protes.
Sejak akhir 2018 lalu, gerakan rompi kuning menguasai jalanan di kota-kota Prancis, khususnya Paris, setiap akhir pekan sebagai wujud protes terhadap pemerintahan Presiden Prancis, Emmanuel Macron.
Aksi ini awalnya adalah bentuk protes terhadap kenaikan pajak bahan bakar dan biaya hidup. Namun, belakangan aspirasi yang mereka usung meluas dan mendesak Macron turun. Malah unjuk rasa itu selalu berakhir dengan bentrokan antara demonstran dengan aparat.
Sekelompok demonstran perempuan rompi kuning juga menggelar aksi terpisah, mengkritik tujuan unjuk rasa itu yang dianggap sudah melenceng. Mereka juga memprotes karena mulanya demonstrasi itu adalah aksi damai yang dilakukan rakyat jelata.
Credit cnnindonesia.com