BEIJING
- Pemerintah China membela kebijakannya terkait penahanan massal Muslim
Uighur di kamp-kamp interniran. Pemerintah berdalih langkah itu sebagai
upaya mencegah "terorisme".
Cara pencegahan tersebut dengan memasukkan para warga Uighur ke pusat-pusat pendidikan kejuruan.
Cara pencegahan tersebut dengan memasukkan para warga Uighur ke pusat-pusat pendidikan kejuruan.
Sohrat
Zakir, Gubernur Xinjiang, mengatakan bahwa Beijing menyelamatkan para
warga Muslim Uighur dan Kazak dari godaan kekerasan agama dengan
mengajarkan mereka keterampilan kerja serta keterampilan berbahasa
Mandarin.
Pembelaan pemerintah yang dilansir kantor berita Xinhua ini muncul ketika China jadi sorotan global atas laporan penahanan massal dan pengawasan ketat terhadap etnis Uighur dan minoritas Muslim Turki.
Laporan PBB memperkirakan ada sekitar 1 juta warga Muslim Uighur dan minoritas lain yang ditahan di kamp-kamp interniran.
Pemerintah China awalnya membantah laporan itu. Namun, ketika fakta penahanan massal itu tak bisa disangkal lagi, mereka mengklaim penahanan yang dilakukan bukan tindakan sewenang-wenang, melainkan pelaksanaan pendidikan ulang politik di seluruh kamp rahasia.
Sedangkan beberapa warga yang dianggap bersalah atas pelanggaran kecil dikirim ke pusat-pusat kejuruan untuk dibekali keterampilan kerja.
Menurut Zakir, langkah-langkah pemerintah membantu mencegah serangan di Xinjiang selama 21 bulan terakhir.
Zakir mengatakan, para warga Uighur dan minoritas lain menerima pelajaran bahasa Mandarin dan diberikan kuliah tentang konstitusi. Sedangkan keterampilan kerja yang diberikan antara lain keterampilan pengolahan makanan, perakitan produk elektronik, tata rambut, pembuatan pakaian dan e-commerce.
"Melalui pelatihan kerja, sebagian besar peserta pelatihan telah mampu merefleksikan kesalahan mereka dan melihat dengan jelas esensi dan bahaya terorisme dan ekstremisme agama," kata Zakir yang dilansir Rabu (17/10/2018).
"Mereka juga bisa lebih baik membedakan yang benar dari yang salah dan menahan infiltrasi pemikiran ekstremis," ujarnya.
Pembelaan pemerintah yang dilansir kantor berita Xinhua ini muncul ketika China jadi sorotan global atas laporan penahanan massal dan pengawasan ketat terhadap etnis Uighur dan minoritas Muslim Turki.
Laporan PBB memperkirakan ada sekitar 1 juta warga Muslim Uighur dan minoritas lain yang ditahan di kamp-kamp interniran.
Pemerintah China awalnya membantah laporan itu. Namun, ketika fakta penahanan massal itu tak bisa disangkal lagi, mereka mengklaim penahanan yang dilakukan bukan tindakan sewenang-wenang, melainkan pelaksanaan pendidikan ulang politik di seluruh kamp rahasia.
Sedangkan beberapa warga yang dianggap bersalah atas pelanggaran kecil dikirim ke pusat-pusat kejuruan untuk dibekali keterampilan kerja.
Menurut Zakir, langkah-langkah pemerintah membantu mencegah serangan di Xinjiang selama 21 bulan terakhir.
Zakir mengatakan, para warga Uighur dan minoritas lain menerima pelajaran bahasa Mandarin dan diberikan kuliah tentang konstitusi. Sedangkan keterampilan kerja yang diberikan antara lain keterampilan pengolahan makanan, perakitan produk elektronik, tata rambut, pembuatan pakaian dan e-commerce.
"Melalui pelatihan kerja, sebagian besar peserta pelatihan telah mampu merefleksikan kesalahan mereka dan melihat dengan jelas esensi dan bahaya terorisme dan ekstremisme agama," kata Zakir yang dilansir Rabu (17/10/2018).
"Mereka juga bisa lebih baik membedakan yang benar dari yang salah dan menahan infiltrasi pemikiran ekstremis," ujarnya.
Zakir
menyangkal laporan yang menyebut kondisi di kamp-kamp penahanan buruk
dan pelecehan psikologis serta fisik terhadap narapidana.
Sementra itu, Omir Bekali, seorang warga kelahiran Xinjiang, mengatakan kepada kantor berita Associated Press, bahwa dia ditahan di sebuah sel dengan 40 orang di dalam fasilitas yang dijaga ketat.
Sebelum makan, katanya, dia dan para tahanan lain disuruh melantunkan slogan "Terima kasih Partai! Terima Ibu Pertiwi!".
Beberapa tahanan mengatakan mereka dipenjara karena dianggap melakukan pelanggaran seperti memelihara janggut yang panjang dan pemakaian busana penutup wajah serta berbagi ucapan liburan atau hari besar Islam di media sosial.
Sementra itu, Omir Bekali, seorang warga kelahiran Xinjiang, mengatakan kepada kantor berita Associated Press, bahwa dia ditahan di sebuah sel dengan 40 orang di dalam fasilitas yang dijaga ketat.
Sebelum makan, katanya, dia dan para tahanan lain disuruh melantunkan slogan "Terima kasih Partai! Terima Ibu Pertiwi!".
Beberapa tahanan mengatakan mereka dipenjara karena dianggap melakukan pelanggaran seperti memelihara janggut yang panjang dan pemakaian busana penutup wajah serta berbagi ucapan liburan atau hari besar Islam di media sosial.
Credit sindonews.com