PLO ingin Israel mengaku negara Palestina sesuai dengan perbatasan 1967.
CB,
RAMALLAH -- Dewan pusat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO)
mengumumkan bahwa mereka menangguhkan pengakuannya terhadap negara
Israel.
Seperti dilansir
Middle East Eye, Selasa (30/10), dalam
keputusan yang diumumkan setelah pertemuan Senin malam, PLO mengaku akan
menghentikan semua komitmennya pada "otoritas pendudukan" sampai Israel
mengakui sebuah negara Palestina sesuai perbatasan 1967, dengan
Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Komitmen itu termasuk
kerja sama keamanan dan perjanjian perdagangan yang dicapai antara
Israel dan Otoritas Palestina (PA). Keputusan dewan ini tidak mengikat.
Namun dapat menjadi acuan bagi Otoritas Palestina untuk membuat
keputusan di masa depan. Presiden PA Mahmoud Abbas hadir pada pertemuan
tersebut.
Sebelumnya, pada 2015 Dewan pusat PLO telah
menyerukan untuk mengakhiri kerja sama keamanan dengan Israel. Dewan
telah menugaskan Abbas dan Komite Eksekutif PLO untuk menindaklanjuti
hasil keputusan ini.
Dewan juga secara eksplisit
mengkritik proses perdamaian yang dipimpin Donald Trump dan rencananya
untuk mengakhiri konflik. "Komite memuji upaya presiden (Abbas) dalam
menolak apa yang disebut Kesepakatan Abad ini dan melakukan semua cara
yang tersedia untuk mengalahkannya, serta menganggap pemerintah AS mitra
dari Israel bagian dari masalah, bukan solusi," tulis kantor berita
resmi Palestina,
Wafa dalam laporannya.
Dewan
juga mengecam Hamas yang mengontrol Jalur Gaza. Mereka menuduh kelompok
itu gagal memenuhi komitmennya dalam perjanjian rekonsiliasi yang
ditandatangani pada Oktober tahun lalu.
Abbas tampaknya
mendukung keputusan Dewan ini. Ia mengatakan, Palestina akan melakukan
tindakan-tindakan yang sebelumnya telah disetujui oleh dewan pusat.
Menurut
pernyataan yang diterbitkan oleh WAFA, Abbas menyerukan Palestina untuk
bersatu di belakang PLO sebagai satu-satunya wakil sah dari rakyat
Palestina.
Abbas menanggapi tekanan yang memuncak dari
Washington untuk mengakhiri bantuan publik dari Otoritas Palestina
terhadap keluarga tahanan dan orang-orang yang dibunuh oleh pasukan
Israel. "Bagian untuk keluarga kami dan para martir dan yang terluka
adalah garis merah; kami tidak dapat bernegosiasi atas hak-hak mereka,"
kata Abbas.