Seorang jurnalis lepas asal Jepang, Jumpei
Yasuda, akhirnya kembali ke rumahnya pada Kamis (25/10), setelah tiga
tahun disandera militan Suriah. (Hatay Governorship/Turkish
Police/Handout via Reuters)
"Saya senang bisa kembali ke Jepang. Pada saat yang sama, saya tidak tahu apa yang akan terjadi dari sini atau apa yang harus saya lakukan," katanya ketika menyeberang dari Suriah ke Ankara, sebelum ke Jepang.
Ini bukan kali pertama Yasuda diculik oleh militan. Ia sudah pernah diculik oleh militan di Irak pada 2004 lalu.
Ketertarikannya untuk meliput ke wilayah konflik sudah terlihat sejak 2002, ketika Yasuda pergi ke Irak untuk meliput masalah lingkungan, dan ketahanan pangan untuk surat kabar Shinano Mainichi.
Saat itu, ia frustrasi karena surat kabarnya tidak setuju untuk melakukan tugas itu, sehingga dia berhenti pada 2003.
Dalam buku karyanya pada 2003, Yasuda menjelaskan bahwa ia pergi melakukan peliputan karena ingin menunjukkan penderitaan akibat perang.
"Saya tidak dapat melihat wajah orang-orang yang tinggal di negara yang disebut sebagai wilayah 'kejahatan' dari informasi yang diberikan oleh media Jepang, mereka hanya melaporkan hal-hal diplomatik dan inspeksi oleh PBB," tulisnya.
Yasuda kembali ke Irak pada 2007 untuk bekerja sebagai juru masak di kamp pelatihan tentara Irak. Tiga tahun kemudian, ia menerbitkan sebuah buku tentang pekerja di zona perang.
Perjalanan terakhirnya ke Irak terjadi pada 2015, saat itu tidak ada informasi mengenai keberadaannya. Kebanyakan warga Jepang yang disandera di sana telah dibunuh.
Sebut saja jurnalis Jepang, Kenji Goto, dan seorang temannya, Haruna Yukawa. Mereka dibunuh dengan cara dipenggal oleh militan di Irak.
Namun, kebanyakan wartawan di Jepang tak mengkhawatirkan nasib Yasuda karena menurut mereka, pria itu tangguh.
"Yasuda itu tangguh dan memiliki kekuatan mental yang hebat. Aku tidak khawatir dia akan terluka," kata seorang jurnalis lepas, Kosuke Tsuneoka.
Ketika Yasuda terbang kembali ke Jepang, beberapa pengguna media sosial pun melontarkan kritikan karena menganggap pemerintah menghamburkan uang negara demi membayar tebusan jurnalis tersebut.
"Setelah dia kembali, saya ingin dia mengadakan konferensi pers untuk meminta maaf dan bekerja untuk membayar kembali uang tebusan. Saya tidak perlu mendengar pendapatnya," tulis pengguna akun Twitter, Kawako.
"Apakah benar-benar perlu untuk menyelamatkannya lagi? Membayar sejumlah uang yang besar untuk tebusan?" tulis pengguna akun Twiter @Massa.Kongo.
Meski pemerintah membantah membayar tebusan, tapi gelombang kritik ini membuat wartawan Jepang khawatir mereka tidak dapat dengan leluasa meliput ke daerah konflik.
"Saya khawatir atmosfer mereka menjadi seperti ini, sehingga orang tidak boleh pergi karena berbahaya dan kecenderungannya menuju pengendalian diri," tulis Yoshihiro Kando, mantan wartawan surat kabar Asahi.
Credit cnnindonesia.com