Ilustrasi sengketa di Laut China Selatan. (REUTERS/Nguyen Minh)
"Mungkin kita tidak akan bisa sampai pada kode etik yang mengikat secara hukum," kata Locsin dalam konferensi pers di Kota Davao, Filipina, sebagaimana dilansir Reuters, Senin (29/10).
"Tapi, itu akan menjadi standar tentang bagaimana negara-negara ASEAN, pemerintah ASEAN berperilaku satu sama lain dengan hormat, tidak pernah agresi, dan selalu mendukung untuk kemajuan bersama," lanjut dia.
Locsin menyatakan hal itu selepas mengadakan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri China, Wang Yi.
Pada tahun ini, ASEAN dan China memulai negosiasi agar dapat meredakan ketegangan terkait sengketa Laut China Selatan. Sebab kawasan perairan itu sangat padat di mana sekitar US$3 triliun komoditas dibawa melewati zona itu setiap tahunnya.
Locsin tidak menyampaikan pernyataannya secara detail terkait alasan dirinya meragukan kesepakatan yang akan dicapai.
China merupakan negara yang mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan. Mereka bahkan telah membuat pulau buatan dan mendirikan pangkalan militer.
Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam juga memiliki klaim di wilayah itu yang dinilai memiliki jumlah potensi penangkapan ikan sangat besar.
Australia, Jepang, dan AS telah mendesak ASEAN dan China guna memastikan kode etik tersebut benar-benar dapat mengikat secara hukum.
Sementara itu, para kritikus mengatakan keraguan itu muncul karena adanya kegagalan terkait efektifitas kode etik jika itu ditegakkan.
Para diplomat China memastikan bahwa ASEAN akan mematuhi apa pun yang akan disepakati dalam negosiasi yang sedang berlangsung.
China berharap negosiasi mengenai masalah ini dapat diselesaikan pada 2021.
Wang juga meyakinkan bahwa Filipina tidak akan menjadi ancaman bagi negara tetangganya yang lebih kecil.
"China tidak pernah dan tidak akan menjadi saingan bagi Filipina," katanya saat membahas kunjungan presiden Xi Jinping ke Manila pada bulan depan.
Credit cnnindonesia.com