Rabu, 03 Oktober 2018

Mengenal Palu Koro, Sesar yang Dikhawatirkan Para Ahli


Kapal Sabuk Nusantara 39 yang terdampar ke daratan akibat gempa dan tsunami di desa Wani, Pantai Barat Donggala, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).
Kapal Sabuk Nusantara 39 yang terdampar ke daratan akibat gempa dan tsunami di desa Wani, Pantai Barat Donggala, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).
Foto: Muhammad Adimaja/Antara

Sesar Palu Koro dinilai unik dan pergerakan terbesar kedua di Indonesia.



CB, JAKARTA -- Di Pulau Sulawesi, ada tiga lempengan yang saling bertemu. Yakni, Lempeng Benua Eurasia (relatif diam), lempeng pasifik (bergerak ke barat), dan lempeng Australia-Hindia (bergerak ke utara). 


Hal itu membuat kondisi geologi Sulawesi menjadi kompleks. Dalam peta sumber gempa nasional yang disusun Pusat Studi Gempa Nasional pada 2017 menyebutkan, ada 48 sesar di Pulau Sulawesi. Beberapa di antaranya sesar Palu Koro, sesar Matano, sesar Saddang, dan sesar parit-parit. Wilayah yang berada di atas sesar itu pun berpotensi dilanda gempa. 

Dalam catatan sejarah, misalnya, telah beberapa kali terjadi bencana gempa Sulawesi. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat gempa berkekuatan besar telah terjadi di Sulawesi sejak 1927. Gempa dengan kekuatan 6,5 SR dan disusul Tsunami itu terjadi di sesar Palu Koro. Gempa di Sulawesi juga terjadi pada 1930, 1938, 1996, 1998, 2005, 2008, dan 2012.


Tapi, di antara banyaknya sesar di Pulau Sulawesi, sesar Palu Koro menjadi yang paling dikhawatirkan. Bahkan, Lembaga Ilmuan Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2017 memublikasikan penelitian yang menyebutkan sesar Palu Koro lebih mengkhawatirkan dari sesar Palolo Graben yang memanjang 70 kilometer dan membentuk lembah Paolo dan lembah Sopu. Padahal, sejumlah gempa berskala besar juga pernah terjadi bersumber dari sesar Palo Graben.

Kapal Sabuk Nusantara 39 yang terdampar ke daratan akibat gempa dan tsunami di desa Wani, Pantai Barat Donggala, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).
Gempa Donggala
Foto:
Sesar Palu Koro dinilai unik dan pergerakan terbesar kedua di Indonesia.


Menurut Ahli Geologi Universitas Gajah Mada (UGM) yang juga anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IIAGI) Rovicky Dwi Putohari, sesar Palu Koro memang mempunyai karakteristik yang unik dari sesar lainnya. Sesar ini membelah Pulau Sulawesi atau dari Teluk Palu hingga Lembah Bone.


Sesar yang menjadi sumber terjadinya gempa di Palu, Donggala, dan wilayah sekitarnya itu merupakan sesar dengan liprate atau pergerakan segmen-segmennya dengan kecepatan besar per tahunnya. Bahkan, pergerakan sesar Palu Koro menjadi yang terbesar kedua di antara sesar yang diketahui para ahli ada di pulau-pulau Indonesia.

“Sesar ini memiliki sliprate hingga 45-48 mm per tahun, nomor dua di bawah sesar Sorong,” tutur Rovicky kepada Republika.co.id pada Selasa (2/10).


Sementara pada kejadian bencana alam yang melanda Palu, Donggala, dan wilayah sekitarnya, adanya tsunami, jelas Rovicky, tidak secara langsung disebabkan oleh dislokasi patahan di darat, tapi karena dislokasi longsoran bawah laut.


Pada gempa di Palu dan Donggala itu, getaran gempa skala 7,7 SR menyebabkan longsoran bawah laut yang membuat tsunami. Hal ini pula yang membedakan kejadian tsunami di Palu dan Donggala dengan kejadian tsunami di Aceh pada 2004. Sebab, pada bencana gempa dan tsunami di Aceh, munculnya tsunami dikarenakan dislokasi patahan berada di laut. 


“Sesar geser seperti di Palu Koro memang tidak menyebabkan tsunami besar, seperti megathrust, namun sesar geser ini memiliki daya rusak besar karena getaran goyangannya. Ini salah satunya karena sesar  geser ini dislokasi/repture-nya berada di darat,” ujar Rovicky menjelaskan.


Potensi tsunami yang dipicu oleh longsoran bawah laut pun tak mudah dikenali oleh para ahli. Menurut Rovicky, diperlukan data bathymetri yang detail untuk mengetahuinya. Bahkan, hal itu pun belum dimiliki oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Akan tetapi, Kota Palu, Donggala, dan wilayah sekitarnya memang telah menjadi perhatian para ahli karena telah lama masuk dalam peta rawan gempa. 


Kapal Sabuk Nusantara 39 yang terdampar ke daratan akibat gempa dan tsunami di desa Wani, Pantai Barat Donggala, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).
Sejumlah toko dan gudang yang rusak akibat diterjang gempa dan tsunami berkekuatan 7,4 SR di kawasan Pergudangan Kabupaten Donggala, Sulteng, Senin (1/10).
Foto:

Sesar Palu Koro dinilai unik dan pergerakan terbesar kedua di Indonesia.


Lalu bagaimana wilayah lainnya di Indonesia? LIPI pada 2017 memublikasikan bahwa kota-kota besar di sepanjang pantai utara Jawa dari Surabaya, Semarang, hingga Cirebon berada di jalur sesar gempa aktif. Sesar Kendeng namanya.


Sesar darat ini memanjang dari Jawa Timur hingga Jawa Tengah. Sesai Kendeng juga merupakan kelanjutan jalur busur belakang back arch dari utara Flores dan menerus hingga utara Bali yang masuk ke daratan di Jawa Timur. Pada peta gempa nasional 2010, jumlah sesar di Jawa hanya ada 4, tetapi setelah dilakukan penelitian saat ini jumlahnya 34 sesar. 

Rovicky mengatakan, wilayah-wilayah yang berada atau berdekatan dengan patahan aktif memiliki potensi gempa. Bahkan, pusat studi gempa pun telah memetakan hal itu dalam peta gempa. Saat ini, menurut Rovicky, yang terpenting adalah sosialisasi pemerintah dan lembaga terkait kepada masyarakat terkait peta gempa di tiap wilayahnya masing-masing.


“Yang perlu selanjutnya adalah sosialisasi oleh pihak-pihak yang berwenang untuk menyosialisasikan peta-peta itu ke masyarakat. Kapan akan terjadi kan kita tak tahu, yang penting itu melihat petanya dan di mana lokasi kita,” tuturnya.





Credit  republika.co.id