Rabu, 03 Oktober 2018

Fenomena Likuifaksi dan Tenggelamnya Rumah-Rumah di Petobo


Foto udara reruntuhan masjid di antara rumah-rumah warga yang hancur akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR) di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).
Foto udara reruntuhan masjid di antara rumah-rumah warga yang hancur akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR) di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).
Foto: Hafidz Mubarak/Antara

Gempa di Palu Sulteng, memicu fenomena likuifaksi atau pencairan tanah.



CB, Ratusan rumah di Kelurahan Petobo, Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) masih tertimbun lumpur hitam pascagempa berkekuatan 7,4 Skala Richter mengguncang daerah itu, pada Jumat (28/9). Lumpur hitam berasal dari tanggul kali yang terletak di bagian timur Kelurahan Petobo di Jalan H.M. Soeharto.


Tanggul roboh saat gempa mengguncang daerah itu dan seketika lumpur menghantam rumah-rumah penduduk di bagian Ranjule Kelurahan Petobo sekitar pukul 18.07 Wita. Saat itu, bertepatan dengan waktu shalat maghrib. Banyak masyarakat utamanya beragama Islam berada di masjid.

Sebagian warga lainnya berada di rumah. Mereka tidak dapat berbuat banyak utamanya tindakan penyelamatan diri. Hingga kemarin, upaya pencarian korban belum dilakukan.


Kelurahan Petobo menjadi salah satu lokasi terdampak gempa paling parah, selain wilayah Perumnas Balaroa. Ribuan korban diperkirakan masih tertimbun tanah bersama bangunan di dua lokasi itu.

"Kami belum identifikasi di Perumnas Balaroa dan Kelurahan Petobo karena lokasinya sangat parah," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu Fresly Tampubolon di Palu, Senin (1/10).

Dua daerah tersebut, yakni Balaroa dan Petobo, merupakan pusat kerusakan paling dahsyat karena rumah dan fasilitas publik di titik itu tertimbun tanah bak ditelan bumi. Menurut sejumlah saksi, beberapa detik setelah gempa 7,4 SR mengguncang Palu, wilayah kelurahan itu terlihat semburan air yang cukup tinggi, lalu tiba-tiba permukaan tanah menurun sehingga ikut menarik seluruh benda di atasnya.

Bahkan, beberapa bangunan seperti masjid bergeser jauh sekitar 50 meter dari posisi semula. "Istri dan anak-anak saya tidak bisa diselamatkan. Saya perkirakan mereka terperangkap dalam rumah lalu digulung tanah," kata Husnan, salah seorang keluarga korban.

Saat kejadian, Husnan sedang berada di kantor, sedangkan istri dan anak-anaknya ada di rumah. Kondisi yang sama juga terjadi di Kelurahan Kawatuna. Namun di lokasi itu disertai air sehingga belum memungkinkan disentuh oleh tim penanggulangan bencana.

Wakil Wali Kota Palu Sigit Purnomo Said mengatakan belum tersentuhnya dua titik bencana terparah itu karena akses yang terputus. Sigit mengatakan, tim penanggulangan bencana memprioritaskan lokasi bencana yang dapat dijangkau cepat.



Bergeraknya Sesar Palu-Kuro


Pada Senin (1/10), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis analisis singkat mengenai gempa dan tsunami yang terjadi di Palu, Sulteng. Apa yang terjadi di Kelurahan Petobo adalah fenomena likuifaksi atau pencairan tanah.


Pakar kegempaan LIPI Danny Hilman Natawidaja mengungkapkan, ada detail-detail fenomena alam yang membuat gempa dan tsunami Palu patut mendapat perhatian. “Ada tsunami yang justru terjadi di mekanisme pergerakan struktur sesar mendatar juga likuifaksi tanah,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (1/10).


Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto menyebutkan, letak Kota Palu berada di atas sesar Palu-Koro. Sesar Palu-Koro adalah patahan yang membelah Sulawesi menjadi dua bagian Barat dan Timur. Pada Jumat pekan lalu, sesar itu bergerak aktif.


"Sesar ini mempunyai pergerakan aktif dan jadi perhatian para peneliti geologi,” kata Eko.


Peneliti bidang geofisika kelautan dari Pusat Penelitian Oseanografi, Nugroho Dwi Hananto menilai, ada kemungkinan bahwa sesar mendatar Palu-Koro yang memiliki komponen deformasi vertikal di dasar laut menjadi pemicu terjadinya tsunami. Ia menjelaskan, kawasan Teluk Palu hingga Donggala juga mempunyai bentuk mirip kanal tertutup dengan bentuk dasar laut yang curam.

Akibatnya, ketika ada massa air laut datang, gelombangnya lebih tinggi dan kecepatannya lebih cepat. Ia juga mencatat kemungkinan longsor bawah laut disebabkan tebing bawah laut runtuh akibat gempa.

“Gempa dan tsunami Palu menjadi pelajaran penting perlunya data geo-sains yang lebih lengkap untuk bisa mengkaji potensi terjadinya gempa yang sumbernya berasal dari bawah laut,” ungkap dia.


Fenomena Likuifaksi


Adapun, likuifaksi atau pencairan tanah yang terjadi saat gempa mengguncang Kota Palu, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9) merupakan fenomena baru bagi masyarakat Indonesia. Dalam berbagai video yang tersebar di media sosial, likuifaksi ditandai dengan bergeraknya bangunan di atas tanah seolah-olah terseret oleh lumpur, seperti yang terjadi di Kelurahan Petobo.

Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, kejadian likuifaksi di Kota Palu bukanlah yang pertama kali terjadi. Pada gempa bumi yang terjadi di Lombok, likuifaksi juga terjadi. Namun, skalanya lebih kecil.

"Tidak semua tempat yang terjadi gempa, terjadi juga likuifaksi. Di Lombok terjadi, tapi kecil. Tapi kalau kita melihat di Palu, likuifaksi yang terjadi begitu besar," kata dia saat konferensi pers di Graha BNPB, Senin (1/10).

Ia menjelaskan, terjadinya likuifaksi disebabkan oleh guncangan gempa. Kondisi material geologi yang ada di tanah juga ikut memengaruhi. Ketika guncangan terjadi, tanah menjadi cair karena material air yang tinggi.


Dalam volume air yang besar, kata dia, tanah menjadi gembur. Akibatnya, bangunan di atas tanah, perumahan, dan pohon, itu berjalan pelan-pelan sampai akhirnya ambles dan tertimbun oleh lumpur.

Dengan kata lain, likuifaksi merupakan proses keluarnya lumpur dari lapisan tanah akibat guncangan gempa dan menyebabkan lapisan tanah yang awalnya kompak, bercampur dengan air menjadi lumpur. Kekuatan tanah yang berkurang mengakibatkan bangunan di atasnya hancur.


Menurut Sutopo, likuifaksi tidak sembarangan ditemukan di jalur gempa yang akan terjadi. Artinya, tidak semua daerah rawan gempa, rawan pula terjadi likuifaksi.

Fenomena likuifaksi hebat yang menimpa Perumnas Petobo dan Perumnas Balaroa di Kota Palu, harus menjadi pembelajaran untuk semua pihak. Dalam kejadian gempa di Kota Palu, likuifaksi terjadi di Perumnas Balaroa yang menenggelamkan sekitar 1.747 unit rumah. Sementara, di Perumnas Patobo ada sekitar 744 unit rumah tenggelam.


Sutopo mengatakan, BNPB belum menerima informasi terkait jumlah korban dan kerusakan yang terjadi di dua Perumnas tersebut. Namun, ia yakin jumlah kerusakan tinggi dan likuifaksi menelan banyak korban.


photo

Dugaan Penyebab Gempa Palu dan Donggala







Credit  republika.co.id