Gempa di Palu Sulteng, memicu fenomena likuifaksi atau pencairan tanah.
CB,
Ratusan rumah di Kelurahan Petobo, Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng)
masih tertimbun lumpur hitam pascagempa berkekuatan 7,4 Skala Richter
mengguncang daerah itu, pada Jumat (28/9). Lumpur hitam berasal dari
tanggul kali yang terletak di bagian timur Kelurahan Petobo di Jalan
H.M. Soeharto.
Tanggul roboh saat gempa mengguncang
daerah itu dan seketika lumpur menghantam rumah-rumah penduduk di bagian
Ranjule Kelurahan Petobo sekitar pukul 18.07 Wita. Saat itu, bertepatan
dengan waktu shalat maghrib. Banyak masyarakat utamanya beragama Islam
berada di masjid.
Sebagian warga lainnya berada di rumah. Mereka tidak dapat
berbuat banyak utamanya tindakan penyelamatan diri. Hingga kemarin,
upaya pencarian korban belum dilakukan.
Kelurahan
Petobo menjadi salah satu lokasi terdampak gempa paling parah, selain
wilayah Perumnas Balaroa. Ribuan korban diperkirakan masih tertimbun
tanah bersama bangunan di dua lokasi itu.
"Kami belum
identifikasi di Perumnas Balaroa dan Kelurahan Petobo karena lokasinya
sangat parah," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu
Fresly Tampubolon di Palu, Senin (1/10).
Dua daerah
tersebut, yakni Balaroa dan Petobo, merupakan pusat kerusakan paling
dahsyat karena rumah dan fasilitas publik di titik itu tertimbun tanah
bak ditelan bumi. Menurut sejumlah saksi, beberapa detik setelah gempa
7,4 SR mengguncang Palu, wilayah kelurahan itu terlihat semburan air
yang cukup tinggi, lalu tiba-tiba permukaan tanah menurun sehingga ikut
menarik seluruh benda di atasnya.
Bahkan, beberapa bangunan
seperti masjid bergeser jauh sekitar 50 meter dari posisi semula.
"Istri dan anak-anak saya tidak bisa diselamatkan. Saya perkirakan
mereka terperangkap dalam rumah lalu digulung tanah," kata Husnan, salah
seorang keluarga korban.
Saat kejadian, Husnan sedang
berada di kantor, sedangkan istri dan anak-anaknya ada di rumah. Kondisi
yang sama juga terjadi di Kelurahan Kawatuna. Namun di lokasi itu
disertai air sehingga belum memungkinkan disentuh oleh tim
penanggulangan bencana.
Wakil Wali Kota Palu Sigit Purnomo
Said mengatakan belum tersentuhnya dua titik bencana terparah itu karena
akses yang terputus. Sigit mengatakan, tim penanggulangan bencana
memprioritaskan lokasi bencana yang dapat dijangkau cepat.
Bergeraknya Sesar Palu-Kuro
Pada
Senin (1/10), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis
analisis singkat mengenai gempa dan tsunami yang terjadi di Palu,
Sulteng. Apa yang terjadi di Kelurahan Petobo adalah fenomena likuifaksi
atau pencairan tanah.
Pakar kegempaan LIPI Danny
Hilman Natawidaja mengungkapkan, ada detail-detail fenomena alam yang
membuat gempa dan tsunami Palu patut mendapat perhatian. “Ada tsunami
yang justru terjadi di mekanisme pergerakan struktur sesar mendatar juga
likuifaksi tanah,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima
Republika.co.id, Senin (1/10).
Kepala
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto menyebutkan, letak Kota
Palu berada di atas sesar Palu-Koro. Sesar Palu-Koro adalah patahan
yang membelah Sulawesi menjadi dua bagian Barat dan Timur. Pada Jumat
pekan lalu, sesar itu bergerak aktif.
"Sesar ini mempunyai pergerakan aktif dan jadi perhatian para peneliti geologi,” kata Eko.
Peneliti
bidang geofisika kelautan dari Pusat Penelitian Oseanografi, Nugroho
Dwi Hananto menilai, ada kemungkinan bahwa sesar mendatar Palu-Koro yang
memiliki komponen deformasi vertikal di dasar laut menjadi pemicu
terjadinya tsunami. Ia menjelaskan, kawasan Teluk Palu hingga Donggala
juga mempunyai bentuk mirip kanal tertutup dengan bentuk dasar laut yang
curam.
Akibatnya, ketika ada massa air laut datang,
gelombangnya lebih tinggi dan kecepatannya lebih cepat. Ia juga mencatat
kemungkinan longsor bawah laut disebabkan tebing bawah laut runtuh
akibat gempa.
“Gempa dan tsunami Palu menjadi pelajaran
penting perlunya data geo-sains yang lebih lengkap untuk bisa mengkaji
potensi terjadinya gempa yang sumbernya berasal dari bawah laut,” ungkap
dia.
Fenomena Likuifaksi
Adapun,
likuifaksi atau pencairan tanah yang terjadi saat gempa mengguncang
Kota Palu, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9) merupakan fenomena baru
bagi masyarakat Indonesia. Dalam berbagai video yang tersebar di media
sosial, likuifaksi ditandai dengan bergeraknya bangunan di atas tanah
seolah-olah terseret oleh lumpur, seperti yang terjadi di Kelurahan
Petobo.
Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan
Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo
Nugroho mengatakan, kejadian likuifaksi di Kota Palu bukanlah yang
pertama kali terjadi. Pada gempa bumi yang terjadi di Lombok, likuifaksi
juga terjadi. Namun, skalanya lebih kecil.
"Tidak semua
tempat yang terjadi gempa, terjadi juga likuifaksi. Di Lombok terjadi,
tapi kecil. Tapi kalau kita melihat di Palu, likuifaksi yang terjadi
begitu besar," kata dia saat konferensi pers di Graha BNPB, Senin
(1/10).
Ia menjelaskan, terjadinya likuifaksi disebabkan
oleh guncangan gempa. Kondisi material geologi yang ada di tanah juga
ikut memengaruhi. Ketika guncangan terjadi, tanah menjadi cair karena
material air yang tinggi.
Dalam volume air yang
besar, kata dia, tanah menjadi gembur. Akibatnya, bangunan di atas
tanah, perumahan, dan pohon, itu berjalan pelan-pelan sampai akhirnya
ambles dan tertimbun oleh lumpur.
Dengan kata lain,
likuifaksi merupakan proses keluarnya lumpur dari lapisan tanah akibat
guncangan gempa dan menyebabkan lapisan tanah yang awalnya kompak,
bercampur dengan air menjadi lumpur. Kekuatan tanah yang berkurang
mengakibatkan bangunan di atasnya hancur.
Menurut
Sutopo, likuifaksi tidak sembarangan ditemukan di jalur gempa yang akan
terjadi. Artinya, tidak semua daerah rawan gempa, rawan pula terjadi
likuifaksi.
Fenomena likuifaksi hebat yang menimpa Perumnas
Petobo dan Perumnas Balaroa di Kota Palu, harus menjadi pembelajaran
untuk semua pihak. Dalam kejadian gempa di Kota Palu, likuifaksi terjadi
di Perumnas Balaroa yang menenggelamkan sekitar 1.747 unit rumah.
Sementara, di Perumnas Patobo ada sekitar 744 unit rumah tenggelam.
Sutopo
mengatakan, BNPB belum menerima informasi terkait jumlah korban dan
kerusakan yang terjadi di dua Perumnas tersebut. Namun, ia yakin jumlah
kerusakan tinggi dan likuifaksi menelan banyak korban.