Emmanuel Macron mendapatkan banyak
dukungan dari kaum muda dan warga yang muak dengan sistem perpolitikan
Perancis. (REUTERS/Benoit Tessier)
Jakarta, CB --
Tiga tahun lalu, tepatnya 2014, nama Emmanuel Macron
tak dikenal sebagian besar publik Perancis. Hari ini, dia menjadi
kandidat presiden terkuat Negara di Eropa Barat itu.
Macron, dengan caranya yang tak biasa, ternyata berhasil menarik simpati politisi dan publik hingga bisa membawanya ke putaran kedua pemilu yang akan diselenggarakan hari ini, Minggu (7/5).
Pertama kali terjun ke politik sebagai penasihat ekonomi Presiden Francois Hollande, pria 39 tahun itu masih dianggap sejumlah politikus, tak cukup berpengalaman untuk bersaing menuju Istana Elysee.
Dia bahkan pernah menjadi bahan olok-olok di lingkaran politik negaranya sendiri.
Mantan Perdana Menteri Manuel Valls sempat memandang remeh dan menyebutnya sebagai "populis kelas ringan."
Namun, sejumlah pengamat menuturkan, daya tarik Macron justru terletak di situ: latar belakangnya yang tidak biasa di kalangan politisi, yakni bankir investasi dengan dompet berisi jutaan euro, yang berubah haluan menjadi pejabat publik.
Sebagai kandidat yang belum pernah memegang jabatan lewat pemilu, Macron bisa menawarkan dirinya sebagai "anti-sistem" untuk warga yang muak dengan perpolitikan Perancis.
Menurut survei terbaru, elektabilitas eks menteri ekonomi, industri, dan urusan digital ini, semakin menjauhi rivalnya yang berhaluan ekstrem kanan, Marine Le Pen.
Berdasarkan survei Elabe untuk BFM TV dan L'Express, Jumat (5/5), Macron diprediksi mendapat 62 persen suara di putaran kedua nanti, meningkat tiga poin dari proyeksi terakhir.
Diuntungkan Kontroversi dan Suara Kaum Muda
Capaian ini menjadi kejutan bagi orang-orang yang mengikuti cerita awal perjalanan politik hingga pencalonan Macron bergulir.
Tanpa dukungan parpol mapan, dia berhasil mengalahkan sembilan kandidat lain dalam putaran pertama, termasuk eks perdana menteri Francois Fillon yang sempat difavoritkan sebagai bakal presiden terkuat.
Macron berhasil meraup suara terbanyak sebesar 24 persen pada pemilu 23 April lalu, mengalahkan Le Pen dan Fillon yang hanya mengantongi masing-masing 21 persen dan 20 persen suara.
Sejumlah skandal yang menerpa Fillon dan Le Pen pun dianggap turut mempermudah Macron merangkak naik ke puncak. Fillon mesti menelan pil pahit lantaran skandal dugaan penggelapan dan penyalahgunaan dana publik, terus mengikis popularitasnya hingga tak lolos di putaran pertama.
Sementara, Le Pen juga tersandung skandal dugaan penyalahgunaan dana Uni
Eropa serta kontroversi partainya mengenai kaum Yahudi. Isu
penyalahgunaan dana ini, bermula ketika parlemen Eropa memerintahkan Le
Pen untuk mengembalikan dana sekitar 340 ribu euro atau setara dengan
Rp4,3 miliar.
Dana tersebut seharusnya digunakan untuk menggaji staf parlemen tersebut. Namun, Le Pen dituding menggunakan dana itu untuk membayar pengawal pribadi dan sejumlah rekan politiknya di Paris.
Dengan bermodal gerakan sosial-liberal En Marche! pada 2016 lalu, Macron bertekad mempersatukan sayap kiri dan kanan. Macron mengumumkan pencalonannya pada November lalu.
Sekitar 10 ribu orang datang di kampanye perdana Macron di Paris, jumlah yang cukup besar untuk sebuah kampanye politik. Meski begitu, tak jarang kampanye berbiaya murahnya berjalan kacau.
Pada sejumlah kampanye, “wacana kosong” Macron kerap ditertawakan di media sosial. Diberitakan The Economist, Macron pernah keliru mengutip salah satu band hip hop terpopuler di Perancis, tentang ketidaksetaraan sosial, berupaya mendekatkan diri dengan kelas pekerja.
Di awal kampanye pun Macron tak cukup bersinar. Survei memaparkan, elektabilitas mantan bankir investasi Rothschild ini hanya mampu bertengger di posisi tiga, di bawah Le Pen dan Fillon.
Di samping kekacauan itu, Macron terus menggaungkan program kampanye yang terkesan memberikan pengaruh positif bagi Perancis, jika dibandingkan dengan rivalnya, Le Pen.
Pemimpin Partai Front Nasional (FN) itu dikenal dengan retorika berwarnakan anti-globalisasi, anti-Eropa, bahkan rasis terkait kaum imigran dan Muslim. â¨â¨Sejumlah pihak tak jarang menganggap kampanye perempuan 48 tahun itu membuat publik frustrasi dan dirundung ketakutan, hingga memicu perpecahan. â¨Sementara Macron, yang menganggap dirinya bukan lah seorang “yang mendekat ke sayap kanan atau kiri” ini, mengaungkan niatnya untuk mendorong reformasi liberal yang bersahabat jika terpilih nanti.
Dalam programnya, Macron berniat mempertahankan keanggotaan Perancis di Uni Eropa. Dia bahkan berniat mempererat hubungan antara sesama negara Eropa dan memperkuat nilai mata uang euro.
Pria berusia 39 tahun itu pun ingin mempromosikan globalisasi ekonomi dan deregulasi nasional. Macron juga berencana melonggarkan kebijakan imigrasi dan menangani serta mempersatukan kaum imigran dan pengungsi.
Di tengah wacana kebangkitan nasionalis dan populis, cita-cita dan retorika Macron ini, nyatanya berhasil menarik simpati kaum muda.
Jika dia sanggup mengalahkan Le Pen, seperti prediksi sejumlah lembaga jajak pendapat, pemilu Perancis kali ini menjadi bukti bahwa kaum muda bisa bangkit dan terlepas dari senioritas dalam perpolitikan, optimisme mengalahkan ketakutan, dan pro-Eropa liberalis masih bisa menang di tengah kebangkitan populisme
di Benua Biru.
Macron, dengan caranya yang tak biasa, ternyata berhasil menarik simpati politisi dan publik hingga bisa membawanya ke putaran kedua pemilu yang akan diselenggarakan hari ini, Minggu (7/5).
Pertama kali terjun ke politik sebagai penasihat ekonomi Presiden Francois Hollande, pria 39 tahun itu masih dianggap sejumlah politikus, tak cukup berpengalaman untuk bersaing menuju Istana Elysee.
Dia bahkan pernah menjadi bahan olok-olok di lingkaran politik negaranya sendiri.
Mantan Perdana Menteri Manuel Valls sempat memandang remeh dan menyebutnya sebagai "populis kelas ringan."
Namun, sejumlah pengamat menuturkan, daya tarik Macron justru terletak di situ: latar belakangnya yang tidak biasa di kalangan politisi, yakni bankir investasi dengan dompet berisi jutaan euro, yang berubah haluan menjadi pejabat publik.
Sebagai kandidat yang belum pernah memegang jabatan lewat pemilu, Macron bisa menawarkan dirinya sebagai "anti-sistem" untuk warga yang muak dengan perpolitikan Perancis.
Menurut survei terbaru, elektabilitas eks menteri ekonomi, industri, dan urusan digital ini, semakin menjauhi rivalnya yang berhaluan ekstrem kanan, Marine Le Pen.
Berdasarkan survei Elabe untuk BFM TV dan L'Express, Jumat (5/5), Macron diprediksi mendapat 62 persen suara di putaran kedua nanti, meningkat tiga poin dari proyeksi terakhir.
Diuntungkan Kontroversi dan Suara Kaum Muda
Capaian ini menjadi kejutan bagi orang-orang yang mengikuti cerita awal perjalanan politik hingga pencalonan Macron bergulir.
Tanpa dukungan parpol mapan, dia berhasil mengalahkan sembilan kandidat lain dalam putaran pertama, termasuk eks perdana menteri Francois Fillon yang sempat difavoritkan sebagai bakal presiden terkuat.
Macron berhasil meraup suara terbanyak sebesar 24 persen pada pemilu 23 April lalu, mengalahkan Le Pen dan Fillon yang hanya mengantongi masing-masing 21 persen dan 20 persen suara.
Sejumlah skandal yang menerpa Fillon dan Le Pen pun dianggap turut mempermudah Macron merangkak naik ke puncak. Fillon mesti menelan pil pahit lantaran skandal dugaan penggelapan dan penyalahgunaan dana publik, terus mengikis popularitasnya hingga tak lolos di putaran pertama.
Emmanuel
Macron menjadi kandidat terkuat Presiden Perancis, padahal karir
politiknya sangat singkat. (Foto: REUTERS/Benoit Tessier)
|
Dana tersebut seharusnya digunakan untuk menggaji staf parlemen tersebut. Namun, Le Pen dituding menggunakan dana itu untuk membayar pengawal pribadi dan sejumlah rekan politiknya di Paris.
Dengan bermodal gerakan sosial-liberal En Marche! pada 2016 lalu, Macron bertekad mempersatukan sayap kiri dan kanan. Macron mengumumkan pencalonannya pada November lalu.
Sekitar 10 ribu orang datang di kampanye perdana Macron di Paris, jumlah yang cukup besar untuk sebuah kampanye politik. Meski begitu, tak jarang kampanye berbiaya murahnya berjalan kacau.
Pada sejumlah kampanye, “wacana kosong” Macron kerap ditertawakan di media sosial. Diberitakan The Economist, Macron pernah keliru mengutip salah satu band hip hop terpopuler di Perancis, tentang ketidaksetaraan sosial, berupaya mendekatkan diri dengan kelas pekerja.
Di awal kampanye pun Macron tak cukup bersinar. Survei memaparkan, elektabilitas mantan bankir investasi Rothschild ini hanya mampu bertengger di posisi tiga, di bawah Le Pen dan Fillon.
Di samping kekacauan itu, Macron terus menggaungkan program kampanye yang terkesan memberikan pengaruh positif bagi Perancis, jika dibandingkan dengan rivalnya, Le Pen.
Pemimpin Partai Front Nasional (FN) itu dikenal dengan retorika berwarnakan anti-globalisasi, anti-Eropa, bahkan rasis terkait kaum imigran dan Muslim. â¨â¨Sejumlah pihak tak jarang menganggap kampanye perempuan 48 tahun itu membuat publik frustrasi dan dirundung ketakutan, hingga memicu perpecahan. â¨Sementara Macron, yang menganggap dirinya bukan lah seorang “yang mendekat ke sayap kanan atau kiri” ini, mengaungkan niatnya untuk mendorong reformasi liberal yang bersahabat jika terpilih nanti.
Dalam programnya, Macron berniat mempertahankan keanggotaan Perancis di Uni Eropa. Dia bahkan berniat mempererat hubungan antara sesama negara Eropa dan memperkuat nilai mata uang euro.
Pria berusia 39 tahun itu pun ingin mempromosikan globalisasi ekonomi dan deregulasi nasional. Macron juga berencana melonggarkan kebijakan imigrasi dan menangani serta mempersatukan kaum imigran dan pengungsi.
Di tengah wacana kebangkitan nasionalis dan populis, cita-cita dan retorika Macron ini, nyatanya berhasil menarik simpati kaum muda.
Jika dia sanggup mengalahkan Le Pen, seperti prediksi sejumlah lembaga jajak pendapat, pemilu Perancis kali ini menjadi bukti bahwa kaum muda bisa bangkit dan terlepas dari senioritas dalam perpolitikan, optimisme mengalahkan ketakutan, dan pro-Eropa liberalis masih bisa menang di tengah kebangkitan populisme
di Benua Biru.
Credit CNN Indonesia