Jumat, 16 September 2016

Saksi: Di Bawah Duterte, Orang Dibantai Seperti Ayam


Saksi: Di Bawah Duterte, Orang Dibantai Seperti Ayam  
Mantan pembunuh bayaran mengaku bersama polisi dan eks pemberontak telah membunuh 1.000 orang dengan cara sadis, semuanya atas perintah Rodrigo Duterte. (AFP PHOTO / TED ALJIBE)
 
Jakarta, CB -- Seorang saksi mata yang mengaku mantan algojo Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan setiap hari membunuh orang dengan cara sadis di Davao. Bahkan menurut dia, pembunuhan juga dilakukan sendiri oleh Duterte.

Edgar Matobato, 57, berbicara di bawah sumpah mengaku pernah membunuh sedikitnya 1.000 orang bersama dengan polisi dan bekas pemberontak komunis antara 1988-2013. Secara pribadi dia sendiri mengklaim menghabisi nyawa 50 orang, semua atas perintah Duterte saat dia menjabat walikota Davao.

"Saya tidak akan membunuh seseorang kecuali atas perintah Charlie Mike," kata dia pada pengadilan Senat dalam penyelidikan pembunuhan di luar hukum atas Duterte, Kamis (15/9), dikutip AFP. Charlie Mike adalah nama sandi untuk Duterte di kalangan pembunuh bayaran.

Orang-orang yang mereka bunuh adalah para penjahat, mulai dari kejahatan besar seperti penculikan, perampokan dan perkosaan, hingga kejahatan kecil.

Polisi, kata Matobato, memerintahkan pembunuhan dilakukan tidak dengan cara biasa karena para penjahat itu tidak layak mati cepat. "Kemudian kami membuka baju mereka, membakar mayat mereka dan memotong-motong mereka," ujar Matobato.

Beberapa korban lain dikosongkan terlebih dahulu isi perutnya sebelum jasadnya dibuang ke laut untuk dimakan ikan. Sejumlah lainnya dibiarkan tergeletak di jalan Davao dan tangannya diatur agar terlihat seperti memegang pistol.

Salah satu pelaku penculikan, kata Matobato, tewas setelah dijadikan santapan buaya.

Dibantai seperti ayam

Matobato mengaku melakukan pembunuhan setiap hari. "Rakyat Davao dibantai seperti ayam," kata dia.

Pria ini sempat berbohong saat istrinya melihat percikan darah di bajunya. Saat itu dia mengatakan habis memotong ayam, sehingga darahnya terciprat ke pakaian.

Duterte, lanjut dia, pernah membunuh dengan tangannya sendiri.

Matobato mengatakan bahwa pada 1993, ia dan anggota regu tembak lainnya sedang menjalankan satu misi. Ketika mereka mendekati lokasi, kendaraan agen Badan Investigasi Nasional dari Kementerian Kehakiman menghalangi jalan.

Konfrontasi pun tak terhindarkan hingga terjadi baku tembak. Duterte, yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Davao, tiba di lokasi kejadian di saat para algojo kehabisan peluru dan terluka.

"Walikota Duterte sendiri yang menghabisinya, dia mengosongkan dua magasin peluru uzi terhadap orang itu," kata Matobato.

Pengakuan Matobato itu dibantah oleh pemerintah Filipina. Menteri Kehakiman Vitaliano Aguirre menyebut tudingan itu "bohong dan palsu", mengatakan Matobato "jelas-jelas tidak berbicara benar."

Sementara putra Duterte, Paolo Duterte, mengatakan Matobato adalah "orang gila".

"Saya tidak akan memberi jawaban atas tuduhan orang gila," kata Paolo.

Matobato mengaku "disiksa" saat dia memutuskan untuk keluar dari tim pembunuh Duterte pada 2013. Saat itu dia mengatakan kepada atasannya bahwa dia terlalu tua untuk tugas itu dan ingin mencari pekerjaan lain.

Matobato sendiri sekarang sedang berada dalam program perlindungan saksi. Menurut Kepala Komisi HAM Filipina, Leila de Lima, Matobato menyerahkan diri pada 2009.

Ditanya alasan sebenarnya dia meninggalkan pekerjaan itu, dia menjawab, "hati nurani saya terganggu."




Credit  CNN Indonesia



Duterte Diklaim Perintahkan Bom Masjid, Bunuh Muslim


Duterte Diklaim Perintahkan Bom Masjid, Bunuh Muslim 
 Di hadapan Senat, mantan algojo mengaku Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerintahkan serangan bom di masjid yang berisi warga Muslim pada 1993. (AFP PHOTO/NOEL CELIS)
 
Jakarta, CB -- Saksi mata yang mengaku pernah menjadi anggota regu tembak bayaran mengklaim bahwa Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang kala itu masih menjabat sebagai Wali Kota Davao City, pernah memerintahkan langsung kepada timnya untuk meluncurkan serangan bom di masjid dan membunuh sejumlah warga Muslim pada 1993.

Mantan algojo itu bernama Edgar Matobato, yang bersaksi di Senat pada Kamis (16/9) untuk membantu penyelidikan soal dugaan praktik pembunuhan di luar hukum dalam kampanye anti-narkoba yang sudah menewaskan 3.140 orang sejak Duterte dilantik dua bulan lalu.

Dilaporkan Inquirer, Matobato mengaku bahwa dia sebelumnya merupakan salah satu anggota Unit Pasukan Bersenjata Warga Daerah (Cafgu) hingga Duterte menjabat sebagai Wali Kota Davao pada 1998 dan merekrutnya untuk bergabung dengan "Lambada Boys," regu tembak beranggotakan tujuh orang yang menjalankan serangkaian pembunuhan di luar hukum atas perintah langsung dari Duterte.

Matobato mengungkapkan bahwa usai serangan bom di Katedral Davao pada 1993, "Duterte memerintahkan untuk membunuh Muslim di dalam masjid."

Ia menyatakan bahwa Duterte sendiri yang menyambangi timnya untuk menginstruksikan serangan itu. Dalam kesaksian itu, Matobato menjawab "ya" ketika ditanya apakah dia berada di ruangan yang sama dengan Duterte ketika pria berusia 71 tahun ini memerintahkan pengeboman masjid.

Matobato kemudian mengakui bahwa ia yang meluncurkan Granat ke Masjid Bangkerohan, menurut laporan Rappler.

Serangan bom itu tidak ada menyebabkan korban luka maupun tewas.

Matobato menyatakan bahwa regu tembak bayaran itu kemudian merekrut lebih banyak anggota, termasuk anggota kelompok pemberontak dan kepolisian. Regu tembak itu kemudian disebut "Pasukan Kematian Davao" (DDS), dengan tugas utama melakukan pembunuhan di luar hukum di kawasan Davao.

Namun, anggota regu tembak itu bekerja diam-diam dan menjadi "karyawan bayangan" di Balai Kota Davao sebagai "Unit Keamanan Sipil."

Ia menyebut tugas regu tembak itu adalah untuk "membunuh warga."

Selain memerintahkan pengeboman dan pembunuhan warga Muslim, Matobato bersaksi bahwa Duterte pernah memerintahkan pembunuhan seseorang bernama Salik Makdum, yang ia culikdari Kota-Pulau Samal pada 2002.

Makdum kemudian diberikan kepada Kepala Nasional Polisi Filipina (PNP) Ronald dela Rosa, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Polisi Satuan Khusus Anti Organisasi Kriminal. Makdum kemudian dibunuh beramai-ramai dan dimakamkan di sebuah lahan pertambangan milik seorang polisi.

Dalam kesempatan itu, Matobato juga mengaku membunuh pelaku kriminal dan musuh pribadi atau keluarga Duterte sudah menjadi kegiatan sehari-harinya sejak 1988 hingga 2013.

Kebanyakan korban biasanya diculik oleh kelompok Matobato yang sebelumnya memperkenalkan diri sebagai polisi. Para korban kemudian dibawa ke lahan kuburan, di mana mereka dibunuh dengan cara sadis, seperti dibakar atau dimutilasi, kemudian langsung dimasukkan ke liang lahat.

"Pekerjaan kami adalah membunuh pelaku kriminal, pemerkosa, maling. Itu pekerjaan kami. Kami membunuh orang hampir setiap hari," katanya.

Beberapa korban lain dikosongkan terlebih dahulu isi perutnya sebelum jasadnya dibuang ke laut untuk dimakan ikan. Sejumlah lainnya dibiarkan tergeletak di jalan Davao dan tangannya diatur agar terlihat seperti memegang pistol.




Credit  CNN Indonesia


Duterte Dituduh Membunuh Staf Kementerian Kehakiman


Duterte Dituduh Membunuh Staf Kementerian Kehakiman  
Parlemen Filipina sedang menyelidiki tudingan pembunuhan di luar hukum dalam kampanye anti-narkoba gagasan Duterte yang sudah menewaskan 3.140 orang sejak pelantikan presiden. (Reuters/Lean Daval)
 
Jakarta, CB -- Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, diklaim pernah membunuh seorang karyawan Kementerian Kehakiman dan memerintahkan pembunuhan musuh politik lainnya.

Hal ini dibongkar oleh seorang mantan anggota regu tembak, Edgar Matobato, pada Kamis (15/9) di hadapan Senat. Parlemen Filipina sedang menyelidiki tudingan pembunuhan di luar hukum dalam kampanye anti-narkoba gagasan Duterte yang sudah menewaskan 3.140 orang sejak pelantikan presiden.

Matobato menuturkan bahwa selama dua dekade Duterte menjabat sebagai Wali Kota Davao, dia dan sekelompok polisi dan mantan pemberontak Komunis telah menewaskan lebih dari 1.000 orang, termasuk salah satunya dimakan hidup-hidup oleh buaya.

Melanjutkan ceritanya, Matobato mengatakan bahwa pada 1993, ia dan anggota regu tembak lainnya sedang menjalankan satu misi. Ketika mereka mendekati lokasi, kendaraan agen Badan Investigasi Nasional dari Kementerian Kehakiman menghalangi jalan.

Konfrontasi pun tak terhindarkan hingga terjadi baku tembak. Duterte, yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Davao, tiba di lokasi kejadian.

"Wali Kota Duterte yang menghabisi nyawanya. Jamisola [petugas Kementerian Kehakiman tersebut] masih hidup ketika dia [Duterte] tiba. Dia menghabiskan dua magasin untuk menembaknya," tutur Matobato, seperti dikutip AFP.

Matobato mengaku membunuh pelaku kriminal dan musuh pribadi atau keluarga Duterte sudah menjadi kegiatan sehari-harinya sejak 1988 hingga 2013.

Kebanyakan korban biasanya diculik oleh kelompok Matobato yang sebelumnya memperkenalkan diri sebagai polisi. Para korban kemudian dibawa ke lahan kuburan, di mana mereka dibunuh dengan cara sadis, seperti dibakar atau dimutilasi, kemudian langsung dimasukkan ke liang lahat.

"Pekerjaan kami adalah membunuh pelaku kriminal, pemerkosa, maling. Itu pekerjaan kami. Kami membunuh orang hampir setiap hari," katanya.

Beberapa korban lain dikosongkan terlebih dahulu isi perutnya sebelum jasadnya dibuang ke laut untuk dimakan ikan. Sejumlah lainnya dibiarkan tergeletak di jalan Davao dan tangannya diatur agar terlihat seperti memegang pistol.

Menanggapi pengakuan ini, juru bicara Duterte, Martin Andanar, mengatakan bahwa tuduhan itu sudah diselidiki tanpa ada tuntutan lain yang diajukan setelahnya.

"Saya pikir dia tidak mungkin menginstruksikan langsung seperti itu. Komisi Hak Asasi Manusia juga sudah menyelidikinya sejak lama dan tidak ada tuntutan yang diajukan," ucap Andanar.

Sementara itu, seorang juru bicara lain untuk Duterte, Ernesto Abella, menegaskan bahwa tudingan itu perlu diperiksa lagi lebih lanjut.

Wakil Wali Kota Davao yang juga merupakan putra Duterte, Paolo Duterte, pun mengatakan bahwa pengakuan dari Matobato ini "hanya kabar angin" dari "orang gila."

"Saya tidak akan menghargai jawaban dari tuduhan orang gila," katanya.

Matobato sendiri sekarang sedang berada dalam program perlindungan saksi. Menurut Kepala Komisi HAM Filipina, Leila de Lima, Matobato menyerahkan diri pada 2009.

Ketika ditanya alasannya meninggalkan pekerjaan lamanya tersebut, Matobato menjawab, "Saya terganggu dengan hati nurani saya."


Credit  CNN Indonesia



Regu Jagal Punya Kode Rahasia untuk Presiden Duterte

Regu Jagal Punya Kode Rahasia untuk Presiden Duterte
Presiden Fiipina, Rodrigo Duterte bersama dengan Kepala Polisi Filipina Jenderal Ronald “Bato” Dela Rosa saat upacara komando PNP di markas polisi di Manila, 1 Juli 2016. REUTERS/Romeo Ranoco
 
CB, Manila - Regu jagal Davao (Davao Death Squad-DDS) memberikan kode rahasia untuk Rodrigo Duterte saat menjabat wali kota Davao, Filipina. Charlie Mike, begitu mereka menamai Duterte, saat ini presiden Filipina  dalam operasi penumpasan kejahatan di Davao.

Kode Charlie Mike diungkap Edgar Matubato, 57 tahun, saat bersaksi di hadapan Senat Filipina pada Kamis, 15 September 2016 di Manila. Dalam setiap misi yang dijalankan saksi dengan regu jagalnya, mereka selalu mendapat kode Charlie Mike untuk menggambarkan bahwa Duterte  memerintahkan sebuah pembunuhan ataupun serangan kejam lainnya.

Matobato yang mengaku telah membunuh sekitar 50 orang dari tahun 1988 atau sejak bergabung dengan DDS hingga berhenti pada 2013,  mengatakan bahwa motif pembunuhan yang diperintahkan presiden Duterte saat jadi wali kota Davao berkisar dugaan kejahatan dan untuk dendam pribadi.

 Tidak hanya Duterte atau Charlie Mike yang memberikan perintah terhadap DDS, namun kroni dan anggota keluarganya juga memberikan perintah ke regu jagal itu. Bahkan regu jagal diberikan kewenangan melakukan pembunuhan di luar hukum Filipina.

Kepolisian  Davao saat itu dipimpin oleh Ronald Dela Rosa. Menurut Matobato, Dela Rosa merupakan pemimpin unit yang membawahi DDS Dela Rosa saat ini menjabat Kepala Kepolisian Nasional Filipina.

Matubato yang mengaku bahwa kesaksiannya dibuat untuk memberikan keadilan bagi korban yang dibunuhnya, mengungkapkan bahwa dia direkrut secara pribadi oleh Duterte pada 1988. Awalnya regu jagal itu bernama Lambada Boys yang beranggotakan tujuh orang termasuk dirinya. Mereka ditugaskan dikirim untuk membunuh penjahat, pengedar narkoba, pemerkosa setiap harinya.

Salah satu misi besar yang pernah diemban saksi atas perintah Duterte, yakni melakukan pengeboman terhadap beberapa masjid dan membunuh beberapa pemuda Muslim, sebagai pembalasan terhadap diledakannnya Katedral San Pedro di Davao.

Kelompok tersebut kemudian berkembang, terutama dengan bergabungnya bekas milisi pemberontak komunis, hingga berubah nama menjadi DDS.  Tim itu diketuai oleh Arthur Lascanas, seorang polisi senior di Davao. Dia digambarkan sebagai salah satu polisi yang cukup tangguh saat itu dan merupakan orang dekat presiden Duterte.

Sejak itu pembunuhan demi pembunuhan terus dilakukan olek tim itu dan olehnya, hingga dia berhenti dan keluar pada awal 2014.



Credit  TEMPO.CO

Anak Presiden Duterte Pernah Suruh Bunuh Perebut Gebetannya

Anak Presiden Duterte Pernah Suruh Bunuh Perebut Gebetannya
Paolo Duterte. Davao City Information Office
 
CBManila - Dalam perkembangan terbaru kesaksian mantan anggota jagal Rodrogo Duterte, Edgar Matobato, di hadapan Senat Filipina, terungkap bahwa dia pernah diperintah anak Duterte, Paolo Duterte, untuk membunuh pengusaha hotel pada 2014.

Dalam pengakuannya, Matobato mengatakan bahwa tidak hanya Duterte—yang kala itu menjabat sebagai Wali Kota Davao—yang memberikan perintah pembunuhan di luar hukum, tapi Paolo juga pernah memanfaatkan skuad jagal yang diberi nama Regu Kematian Davao (Davao Death Squad-DDS) tersebut. Bahkan perintah pembunuhan tersebut dilakukan untuk alasan yang bersifat pribadi.

Paolo, yang saat ini menjabat Wakil Wali Kota Davao, memerintahkan DDS untuk membunuh orang asal Cebu atau Cebuano, Richard King pada 2014. King, pemilik Crown Regency Group of Hotels, ditembak mati di Kota Davao pada 12 Juni 2014.



Paolo marah kepada King karena menjadi saingannya dalam memperebutkan seorang wanita. Menurut Matobata, King dituding mengincar wanita idaman Paolo hanya berdasarkan isu atau kabar angin yang beredar. Tidak ada bukti bahwa pemilik hotel itu benar-benar dekat dengan wanita yang dimaksud.

Matobato, yang kemudian mengatakan dia bukan bagian dari kelompok yang mengeksekusi King, menuduh pembunuhnya berjumlah dua orang. Mereka dilaporkan dibayar 500 ribu peso atau sekitar Rp 137,9 juta.

Setelah pembunuhan itu, Matobato justru dijadikan sebagai kambing hitam dan dituduh membunuh King. Penyebabnya, saat itu Matobato menyatakan ingin meninggalkan DDS.

Gara-gara mau meninggalkan DDS, Matobato ditangkap dan disiksa selama seminggu, kemudian dibebaskan. Dia lalu bersembunyi di Cebu, Leyte, dan Samar.

Pada Agustus 2014, Matobato mencari perlindungan ke Komisi Hak Asasi Manusia (CHR), tapi diberi tahu bahwa mereka tidak akan mampu melindunginya. Sebulan kemudian, ia pergi ke Kementerian Kehakiman dan ditempatkan di bawah program perlindungan saksi.

 

Matobato, yang merupakan saksi kunci kekejaman Duterte pada masa lalu, mengaku memutuskan untuk mengungkapkan informasi terkait dengan misi DDS, setelah Duterte terpilih menjadi presiden, karena khawatir akan keamanannya.

Matobato juga mengungkapkan bahwa Paolo adalah seorang pecandu narkoba. Ini menjadi alasan sang ayah memerintahkan pembantaian ribuan orang tanpa melalui pengadilan. Dia juga menuduh Paolo terlibat dalam penyelundupan ilegal dan melindungi bandar narkoba asal Cina yang beroperasi di Kota Davao.

Selain itu, beberapa pembunuhan pernah diperintahkan oleh Paolo, termasuk membunuh seorang pria pada 2013 yang memotong antrean saat hendak mengisi bahan bakar di SPBU.

Credit  TEMPO.CO