Rabu, 21 September 2016

Ini Jawaban Sri Mulyani Atas Dalil Penggugat UU Tax Amnesty


Ini Jawaban Sri Mulyani Atas Dalil Penggugat UU Tax Amnesty
Foto: Grandyos Zafna


Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjawab gugatan yang disampaikan oleh beberapa pihak terhadap Undang-undang (UU) nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak atau tax amnesty kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Terutama soal prinsip pajak di Indonesia.

"Para pemohon dalam permohonannya mendalilkan bahwa kebijakan pengampunan pajak bertentangan dengan prinsip pajak yang bersifat memaksa, prinsip keadilan, prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum, prinsip penegakan hukum, serta prinsip keterbukaan informasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945," kata Sri Mulyani di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (20/9/2016).

Terkait dengan sifat memaksa pajak, yang merujuk pada pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengatur bahwa pajak sebagaimana juga pungutan negara lainnya yang bersifat memaksa diatur dengan undang-undang. Menurut Sri Mulyani, kata memaksa tidak dapat dimaknai bahwa pemerintah tidak dapat merumuskan kebijakan pengampunan pajak.

"Karena Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sendirilah yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama-sama untuk membentuk suatu kebijakan atas pajak dalam bentuk undang-undang," paparnya.

"Sifat memaksa dalam pajak haruslah dimaknai bahwa setiap wajib pajak memiliki kewajiban untuk membayar pajak dan negara memiliki kewenangan untuk memberi sanksi apabila wajib pajak tidak melaksanakan kewajiban perpajakan tersebut," ujar Sri Mulyani.

Mantan Direktur Bank Dunia tersebut menambahkan, sistem perpajakan sendiri menganut sistem self assessment di mana pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan seluruh pajak yang menjadi kewajibannya.

"Hal ini menunjukkan bahwa pola pikir para pemohon dalam memaknai kata memaksa di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah pola pikir yang kurang tepat," tegasnya.

Terkait dengan dalil keadilan yang disampaikan penggugat, menurut Sri Mulyani juga tidak tepat. Sebab kebijakan ini justru akan menimbulkan keadilan seluas-luasnya karena kebijakan pengampunan pajak akan menambah basis jumlah subjek dan objek pajak baru serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak setelah kebijakan pengampunan pajak yang pada akhirnya beban pajak untuk pembangunan menjadi lebih merata dan adil.

Bila melihat total jumlah pekerja yaitu sebesar 114,819 juta jiwa atau rakyat Indonesia yang bekerja statusnya dibandingkan dengan jumlah orang pribadi yang telah terdaftar sebagai wajib pajak yaitu sebesar 27,571 juta jiwa pada tahun 2015, maka terlihat hanya 24, 01% dari potensi jumlah pekerja yang telah mendaftarkan diri sebagai wajib pajak.

"Artinya terdapat potensi sekitar 87 juta wajib pajak yang belum terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan. Bahkan kalau dikurangi mereka yang pendapatannya tidak kena pajak sekalipun, angkanya masih sangat signifikan," ujarnya.

Sri Mulyani menilai para penggugat hanya melihat dari satu sisi, di mana wajib pajak yang patuh tidak diperlakukan sama dengan wajib pajak yang tidak patuh yang dapat menebus kewajiban pajaknya dengan tarif yang rendah, sehingga dapat merugikan negara.

"Akan tetapi para pemohon tidak melihat manfaat lahirnya Undang-Undang Pengampunan Pajak yang dapat menumbuhkan kepatuhan dan manfaatnya dapat menggerakkan perekonomian secara lebih cepat. Prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak," kata Sri Mulyani.






Credit  detikFinance


Ini Jawaban Sri Mulyani Atas Dalil Penggugat UU Tax Amnesty


Ini Jawaban Sri Mulyani Atas Dalil Penggugat UU Tax Amnesty
Foto: Grandyos Zafna



Jakarta - Banyak pihak yang kemudian mempertanyakan, bahkan di antaranya menggugat Undang-undang (UU) pengampunan pajak atau tax amnesty kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Namun reaksi positif juga nyata terlihat.

Demikianlah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam paparannya saat menjawab gugatan UU pengampunan pajak di Gedung MK, Jakarta, Selasa (20/9/2016).

"Reaksi positif atas kebijakan pengampunan pajak terhadap pasar keuangan di Indonesia nyata terlihat pada pergerakan indeks harga saham gabungan pada tanggal 27 Juni, yakni sebelum Undang-Undang Pengampunan Pajak disahkan," terangnya.

Pada tanggal 20 Juli 2016, indeks harga saham tercatat pada tingkat 4.836,052 dan setelah UU disahkan indeks meningkat ke 5.242,823 atau ada kenaikan sebesar 406,771 poin. Peningkatan juga terjadi pada nilai kapitalisasi pasar di bursa efek Indonesia pada tanggal 20 Juli yang menembus angka Rp 5.639 triliun.

Di samping itu juga terjadi penguatan nilai tukar rupiah dari Rp 13.335,00 per US dollar pada tanggal 27 Juni setelah disahkan menjadi Rp 13.110,00/US$ pada tanggal 20 Juli atau menguat 225 atau 1,69%. Bahkan pada tanggal 14 Juli menguat ke Rp 13.085,00/US$.

Pada pasar obligasi dan pasar uang juga terjadi reaksi positif, yang terlihat dari penguatan pasar obligasi negara dalam bentuk penurunan yield, sbn, benchmark, tenor 10 tahun dari 7,67% pada tanggal 27 Juni menjadi 6,97% pada tanggal 20 Juli 2016 atau menguat 70 basis poin.

"Bayangkan, 70 basis poin dikalikan outstanding sbn negara yang sangat besar, ini nilainya sangat signifikan," ungkapnya.

Sri Mulyani menambahkan rata-rata suku bunga pasar uang antar bank untuk tenor overnight juga mengalami penurunan yang cukup signifikan dari 5,43% pada 27 Juni menjadi 4,6% pada tanggal 20 Juli atau turun 83 basis poin.

"Pemerintah tetap berupaya maksimal untuk melaksanakan Undang-Undang Pengampunan Pajak secara konsisten dan kredibel," tegasnya.


Credit  detikFinance