Rabu, 07 September 2016

Crane Lokal Kalah Saing dengan Buatan China, Ini Strategi Silmy Karim

 
Crane Lokal Kalah Saing dengan Buatan China, Ini Strategi Silmy Karim 
 Ilustrasi Foto: Imam Wahyudiyanta
 
Jakarta -Industri crane atau alat berat yang digunakan sebagai alat pengangkat dalam proyek konstruksi dalam negeri belum banyak dikenal unggul di negeri sendiri. Serbuan impor crane dari China yang masif ke beberapa negara termasuk Indonesia membuat pertumbuhan industri alat berat di Indonesia sulit berjaya di negeri sendiri.

Harga yang murah dengan kualitas yang hampir serupa dengan produk kelas satu membuat para pelaku industri memilih crane buatan China dibandingkan buatan dalam negeri. Padahal kualitas crane buatan Indonesia lebih unggul dibandingkan crane buatan negara lain dengan harga yang kompetitif.

PT Barata (Persero) sebagai salah satu BUMN yang memproduksi alat berat di Indonesia perlahan memperluas segmen bisnisnya dengan menggandeng BUMN pelabuhan seperti Pelindo II dan Pelindo III untuk menyediakan crane sebagai kebutuhan bongkar muat container. Sinergi antar BUMN dilakukan untuk membuat alat berat buatan Indonesia mampu menjadi juara di negerinya sendiri.

"Kemudian yang berikutnya adalah pemerintah juga logistik. Jadi logistik itu wujudnya adalah di pelabuhan. Saya sudah ketemu dua Dirut Pelindo, yaitu Pelindo II dan Pelindo III itu untuk mencari business model di mana Barata bisa berpartisipasi dalam menghasilkan produk crane dari berbagai jenis crane untuk bongkar muat. Kita lagi susun supaya business model itu bisa diterima Pelindo sesama BUMN, sinergi BUMN," kata Direktur Utama PT Barata (Persero) Silmy Karim saat berbincang dengan detikFinance di Financial Club Graha Niaga, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (6/9/2016).

Menurut Silmy, potensi pasar alat berat di Indonesia sangat besar dibandingkan negara-negara lain. Hal ini sejalan dengan rencana pemerintah mempermudah akses logistik untuk menekan harga barang.

"Kemudian kita juga ingin membangun kemampuan sendiri untuk crane. Eropa itu sudah tidak ada lagi pembangunan crane karena mereka logistic support-nya sudah jadi. Pasar yang paling besar itu di Indonesia saat ini. Wilayah kemudian ekonominya sedang bangun logistic support dan seterusnya," ujar Silmy.

Namun, untuk menjadi produsen alat berat di Indonesia bukan berarti berjalan mulus. Serbuan impor alat berat dari China ke beberapa negara menjadi ancaman serius bagi industri alat berat di Indonesia. Dengan kapasitas produksi yang besar, China mampu menjual alat berat buatannya ke berbagai negara dengan harga yang relatif lebih murah.

"Sekarang itu banyak sekali crane-crane dari China. Mereka juga karena punya kapasitas berlebih akhirnya juga karena support harga steel (baja) mereka yang rendah, itu menjual crane ke Indonesia. Nah, itu pesaing kita," tutur Silmy.

Padahal kalau dilihat dari segi kualitas, crane dan alat berat lainnya buatan Indonesia tidak kalah bagus dengan buatan luar negeri. Pemerintah juga harus membantu alat berat buatan Indonesia bisa memiliki daya saing di negerinya sendiri.

"Kalau kualitas kan kita bisa lakukan engineering untuk yang terbaik. Kan itu terdiri dari komponen-komponen. Kalau komponen dari China ya tentu harganya jadi murah, tapi kalau spesifikasinya tinggi tentunya harganya juga tidak bisa murah. Nah ini kan cara-cara seperti ini yang perlu dipahami bahwa akhirnya harga itu jangan jadi dasar, yang jadi dasar adalah kemampuan nasional. Kita pasti bisa kok, buat pesawat bisa, masa bikin crane nggak bisa," jelas Silmy.



Credit  detikfinance