Selasa, 09 Oktober 2018

S-400 Rusia, Diganggu AS tapi Diminati Sekutu AS



S-400 Rusia, Diganggu AS tapi Diminati Sekutu AS
Sistem rudal pertahanan S-400 Rusia. Foto/REUTERS

JAKARTA - Sistem pertahanan S-400 Triumf Rusia kembali jadi sorotan media internasional setelah Amerika Serikat (AS) gagal mencegah India untuk membeli senjata tersebut.

Sistem rudal surface-to-air (permukaan ke udara) termutakhir Moskow ini terus diganggu penjualannya oleh Washington dengan mengumbar ancaman sanksi bagi setiap negara yang membelinya. Uniknya, beberapa negara, termasuk sekutu-sekutu Washington justru meminatinya.

India yang dianggap sebagai negara mitra AS resmi membeli lima unit senjata pertahanan anti-pesawat tersebut dengan nilai kesepakatan USD5 miliar. Meski sudah mengancam akan menjatuhkan sanksi melalui undang-undangnya, Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA), Washington, tak berani terang-terangan membuktikan ancamannya kepada New Delhi.

NATO menamai S-400 Rusia sebagai SA-21 Growler. Senjata yang dapat melesatkan hingga 72 rudal dalam sekali tembak dan melibatkan 36 target sekaligus ini sejatinya adalah pengembangan dari sistem rudal S-300 yang baru-baru ini dipasok Moskow kepada rezim Suriah. Pengembang senjata itu adalah Russia's Almaz Central Design Bureau.

Latihan perang Vostok-2018 di Siberia timur bulan lalu, yang tercatat sebagai latihan militer terbesar Rusia sejak akhir Perang Dingin, ikut andil mempromosikan kehebatan sistem pertahanan S-400. Dalam latihan perang yang diikuti China dan Mongolia tersebut, senjata anti-pesawat Moskow itu diperlihatkan kinerjanya.

China menjadi negara pembeli dan penerima pertama. Turki, yang merupakan sekutu AS di keanggotaan NATO, sudah resmi membeli dan akan menerima pasokan perdana tahun 2019. Sekutu Washington lain yang berminat membelinya adalah Arab Saudi dan Qatar.

Peneliti di Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) kepada Al Jazeera, Senin (8/10/2018), mengatakan ada alasan tersendiri mengapa sekutu-sekutu AS meminati senjata pertahanan Moskow itu. 

"S-400 adalah salah satu sistem pertahanan udara paling maju yang tersedia, setara dengan yang terbaik yang ditawarkan oleh Barat," kata Siemon Wezeman, peneliti senior SIPRI.

"Radar dan sensor, serta misilnya, menjangkau area yang luas. Radarnya memiliki jangkauan paling tidak 600 km untuk pemantauan, dan rudalnya memiliki jangkauan hingga 400km," ujar Wezeman.

"Ini tepat dan berhasil melacak sejumlah besar target potensial, termasuk target terselubung," imbuh dia.

Keuntungan lainnya adalah pengaturan modular dan mobilitas tinggi, yang berarti dapat diatur, diaktifkan, dan dipindahkan dalam hitungan menit.

"Ini dimaksudkan untuk menjadi sistem rudal satu ukuran cocok untuk semua. Hal ini dapat dikonfigurasi dengan sistem senjata jarak jauh, semi jarak jauh, jarak menengah dan bahkan sistem senjata jarak pendek, tergantung pada bagaimana pengguna individu ingin mengkonfigurasi S-400," kata Kevin Brand, analis militer yang bekerja untuk Council on Foreign Relations, kepada Al Jazeera.

"Ini sangat kasar, mudah beradaptasi dan ini adalah sistem road-mobile, sesuatu yang sedang dicari banyak negara berkembang," ujarnya.

Berbicara pada upacara wisuda untuk perwira militer, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan pada Agustus lalu bahwa Ankara akan mencoba untuk mendapatkan sistem rudal itu secepat mungkin, yang menurut Rusia akan dipasok pada 2019.

Namun ketertarikan Turki pada sistem rudal Rusia sudah menakuti sekutu Barat-nya, karena alasan teknis dan politik.


"Dalam pengertian teknologi, S-400 pasti akan menjadi langkah maju (bagi Turki), tetapi itu tidak selalu dalam kepentingan terbaik NATO untuk memiliki sistem persenjataan yang terintegrasi dalam arsitekturnya yang lebih luas," kata Brand.

S-400, kata Brand, dapat menyebabkan situasi yang berpotensi berbahaya.

"Ketika Anda melihat sistem S-400 Rusia, terutama dalam struktur NATO, ada skala kesulitan ketika mengintegrasikannya ke dalam sistem pertahanan yang lebih besar," kata Brand.

"Jika Anda menganggapnya sebagai situasi yang sangat jinak, skenario yang paling sederhana adalah datanya mungkin tidak dapat dimasukkan ke dalam arsitektur defensif yang saat ini digunakan oleh NATO. Itu mungkin adalah skenario terburuk yang terbaik."

NATO sangat bergantung pada beberapa sistem yang bekerja bersama dalam jaringan yang lebih besar.

"(Menambahkan S-400) mungkin memperumit gambar, mungkin mencemari pandangan bahwa sistem yang lebih besar memberi Anda," ujarnya.

Tapi, lanjut Brand, risiko lebih berbahaya adalah ketika Rusia memiliki niat buruk.

"Kontrak apa yang akan dilakukan dengan teknisi Rusia yang mengurus S-400, misalnya, apakah personel perawatan (dari) Rusia memiliki akses ke data (NATO)?," katanya.



Skenario terburuk adalah bahwa mungkin ada kerentanan yang terkait dengan sistem itu yang dapat dimanfaatkan oleh musuh potensial.

Bagi India, Arab Saudi dan Qatar, yang bukan bagian dari aliansi seperti NATO, membeli sistem seperti S-400 akan menyebabkan masalah teknologi yang lebih sedikit. Namun, mereka bisa mengambil risiko dampak diplomatik dan ekonomi dari AS.

Sejak 2017 , Washington mengimplementasikan CAATSA sebagai respons atas dugaan campur tangan Rusia dalam pemilu AS 2016 dan keterlibatan militer di Ukraina dan Suriah. CAATSA memungkinkan AS untuk bertindak melawan individu, perusahaan atau negara yang "mengganggu keamanan internasional".

China menjadi negara pertama yang terkena sanksi AS dari pemberlakuan CAATSA karena membeli S-400 dan jet tempur Su-35.

Menurut Wezeman, kemungkinan AS melanjutkan ancaman sanksi-nya sangat tipis, terutama untuk negara-negara seperti India atau Arab Saudi. "Sanksi tidak otomatis dan pengecualian adalah mungkin jika ada di dalam kepentingan nasional AS," katanya.

"Sanksi sebenarnya tidak mungkin karena India dan yang lain terlalu penting sebagai mitra militer dan politik untuk AS. Bahkan sanksi terbatas mungkin akan membuat negara-negara itu cukup marah," ujarnya.







Credit  sindonews.com