WASHINGTON
- Para ilmuwan di Amerika Serikat merasa terkejut dengan kekuatan
tsunami yang menghancurkan kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng),
Indonesia pada hari Jumat lalu. Tsunami hingga tiga meter menerjang
setelah terjadi gempa 7,5 skala richter (SR).
Selain Palu, musibah itu juga melanda Donggala, salah satu kabupaten di Sulteng. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan korban tewas di dua wilayah itu sudah mencapai 832 orang.
Versi laporan The New York Times, Senin (1/10/2018), tinggi gelombang tsunami di Palu mencapai 18 kaki atau 5,4 meter.
"Kami berekspektasi ini bisa menyebabkan tsunami, tidak hanya sebesar itu," kata Jason Patton, seorang ahli geofisika yang bekerja di perusahaan konsultan Temblor, dan mengajar di Humboldt State University di California.
"Ketika peristiwa seperti ini terjadi, kami lebih mungkin menemukan hal-hal yang belum pernah kami amati sebelumnya," ujarnya yang terkejut dengan kekuatan gelombang tsunami di Palu.
Selain menewaskan ratusan orang, gempa dan tsunami di Sulteng telah menghancurkan banyak bangunan, kendaraan dan berbagai infrastruktur.
Tsunami dahsyat pernah melanda Indonesia dan sekitarnya tahun 2004. Saat itu gelombang tsunami mencapai sekitar 100 kaki dan menewaskan hampir seperempat juta orang dari Indonesia hingga Afrika Selatan. Tsunami dahsyat ini dihasilkan dari gempa berkekuatan 9,1 SR di Sumtera.
Namun, para ilmuwan terkejut dengan kejadian di Sulteng. Menurut mereka, kejadian di wilayah itu adalah strike-slip, di mana gerakan bumi sebagian besar horizontal. Gerakan semacam itu biasanya tidak akan menciptakan tsunami.
Kendati demikian, menurut Patton, dalam kondisi tertentu hal itu bisa menciptakan tsunami dan benar-benar terjadi di Palu dan Donggala.
Selain Palu, musibah itu juga melanda Donggala, salah satu kabupaten di Sulteng. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan korban tewas di dua wilayah itu sudah mencapai 832 orang.
Versi laporan The New York Times, Senin (1/10/2018), tinggi gelombang tsunami di Palu mencapai 18 kaki atau 5,4 meter.
"Kami berekspektasi ini bisa menyebabkan tsunami, tidak hanya sebesar itu," kata Jason Patton, seorang ahli geofisika yang bekerja di perusahaan konsultan Temblor, dan mengajar di Humboldt State University di California.
"Ketika peristiwa seperti ini terjadi, kami lebih mungkin menemukan hal-hal yang belum pernah kami amati sebelumnya," ujarnya yang terkejut dengan kekuatan gelombang tsunami di Palu.
Selain menewaskan ratusan orang, gempa dan tsunami di Sulteng telah menghancurkan banyak bangunan, kendaraan dan berbagai infrastruktur.
Tsunami dahsyat pernah melanda Indonesia dan sekitarnya tahun 2004. Saat itu gelombang tsunami mencapai sekitar 100 kaki dan menewaskan hampir seperempat juta orang dari Indonesia hingga Afrika Selatan. Tsunami dahsyat ini dihasilkan dari gempa berkekuatan 9,1 SR di Sumtera.
Namun, para ilmuwan terkejut dengan kejadian di Sulteng. Menurut mereka, kejadian di wilayah itu adalah strike-slip, di mana gerakan bumi sebagian besar horizontal. Gerakan semacam itu biasanya tidak akan menciptakan tsunami.
Kendati demikian, menurut Patton, dalam kondisi tertentu hal itu bisa menciptakan tsunami dan benar-benar terjadi di Palu dan Donggala.
Kemungkinan
lain, menurut ilmuwan tersebut, adalah bahwa tsunami di Sulteng
diciptakan secara tidak langsung. Guncangan keras selama gempa mungkin
telah menyebabkan longsor bawah laut dan menciptakan gelombang. Kejadian
seperti itu tidak biasa; dan beberapa di antaranya pernah terjadi pada
gempa berkekuatan 9,64 SR di Alaska tahun 1964.
Patton mengatakan kombinasi faktor mungkin telah berkontribusi pada tsunami. Studi tentang dasar laut akan sangat penting untuk memahami peristiwa tersebut. "Kami tidak akan tahu apa yang menyebabkannya sampai itu selesai," katanya.
Tsunami juga dapat dipengaruhi oleh lokasi Palu di ujung teluk yang sempit. Garis pantai dan kontur dasar teluk bisa memfokuskan energi gelombang dan mengarahkannya ke teluk, sehingga meningkatkan tinggi gelombang saat mendekati pantai.
Patton mengatakan kombinasi faktor mungkin telah berkontribusi pada tsunami. Studi tentang dasar laut akan sangat penting untuk memahami peristiwa tersebut. "Kami tidak akan tahu apa yang menyebabkannya sampai itu selesai," katanya.
Tsunami juga dapat dipengaruhi oleh lokasi Palu di ujung teluk yang sempit. Garis pantai dan kontur dasar teluk bisa memfokuskan energi gelombang dan mengarahkannya ke teluk, sehingga meningkatkan tinggi gelombang saat mendekati pantai.
Efek semacam itu juga telah terlihat sebelumnya di Crescent City, California, yang dihantam oleh lebih dari 30 tsunami, termasuk satu di antaranya setelah gempa Alaska tahun 1964 di mana 11 orang tewas. Menurut Patton, kontur dasar laut, topografi dan lokasi kota ikut berpengaruh.
Gelombang tsunami yang begitu dekat dengan Palu, hanya memberikan sedikit waktu bagi para korban untuk menyelamatkan diri. Terlebih, sistem peringatan dini tsunami Indonesia telah dinyatakan tidak berfungsi sejak 2012.
Indonesia, pada saat ini hanya menggunakan seismograf, perangkat sistem penentuan posisi global dan alat pengukur pasang untuk mendeteksi tsunami. Menurut Louise Comfort, seorang profesor di studi pascasarjana University of Pittsburgh, perangkat seperti itu memiliki efektivitas yang terbatas.
Comfort telah terlibat dalam proyek untuk membawa sensor tsunami baru ke Indonesia. Di Amerika Serikat, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memiliki jaringan canggih 39 sensor di dasar laut yang dapat mendeteksi perubahan tekanan yang sangat kecil yang menunjukkan bagian dari tsunami.
Data tersebut kemudian diteruskan melalui satelit dan dianalisis, dan peringatan dikeluarkan jika diperlukan.
Comfort mengatakan bahwa Indonesia memiliki jaringan yang sama dengan 22 sensor, tetapi perangkat itu tidak lagi digunakan karena telah rusak. Proyek yang sedang dikerjakannya akan membawa sistem baru ke Indonesia yang akan menggunakan komunikasi bawah laut untuk menghindari penggunaan pelampung permukaan yang dapat dirusak atau ditabrak kapal.
Credit sindonews.com