Ilustrasi. (Pixabay/Succo)
Sekitar akhir Agustus lalu, Iran meminta ICJ memerintahkan AS mencabut sanksi yang dijatuhkan Presiden Donald Trump terhadap Teheran setelah AS menarik diri dari perjanjian nuklir 2015 dengan Iran.
Dalam gugatan ke ICJ, Iran menyatakan bahwa sanksi AS sangat merusak perekonomian yang sudah lemah, dan melanggar ketentuan Perjanjian Persahabatan 1955 antara Iran dan Amerika Serikat.
Iran meminta pengadilan tertinggi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu menangguhkan sanksi AS sembari mendengar penjelasan negaranya secara menyeluruh terkait ketaatannya pada perjanjian nuklir tersebut.
Dikutip Reuters, Washington menganggap permintaan Iran tersebut merupakan upaya penyalahgunaan pengadilan.
Pengacara Kementerian Luar Negeri AS, Jennifer Newstead, juga mengatakan Perjanjian Persahabatan 1955 tidak dapat dijadikan dasar "sebagai yurisdiksi pengadilan dalam kasus ini."
Newstead juga menyebut perjanjian persahabatan secara khusus mengesampingkan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa.
Relasi kedua negara memanas setelah Trump menarik AS keluar dari perjanjian nuklir antara Iran dan lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB pada Mei lalu.
Trump menganggap perjanjian nuklir Iran itu curang. Dia menuding Iran terus mengembangkan program senjatanya.
Tak lama setelahnya, Trump memutuskan memberlakukan kembali sanksi terhadap Teheran secara sepihak. Rangkaian sanksi baru AS terhadap Iran akan berlaku 4 November mendatang.
Sementara itu, selama ini ICJ merupakan badan peradilan tertinggi PBB yang berfungsi menyelesaikan sengketa internasional.
Keputusan ICJ mengikat secara hukum, tapi tidak memiliki kekuatan untuk menegakkan. Dalam beberapa kasus, keputusan ICJ bahkan diabaikan banyak negara, termasuk AS.
Credit cnnindonesia.com