Senin, 22 Oktober 2018

700 Ribu Warga Inggris Gelar Demo Menolak Brexit


Pengunjuk rasa berpartisipasi dalam demonstrasi anti-Brexit berbaris melalui pusat kota London, Inggris, Sabtu, 20 Oktober 2018. REUTERS/Henry Nicholls
Pengunjuk rasa berpartisipasi dalam demonstrasi anti-Brexit berbaris melalui pusat kota London, Inggris, Sabtu, 20 Oktober 2018. REUTERS/Henry Nicholls




TEMPO.COLondon – Ratusan ribu warga Inggris menggelar unjuk rasa di ibu kota London untuk mendukung integrasi dengan Uni Eropa. Mereka mendesak pemerintah Inggris menggelar pemungutan suara publik kedua mengenai Brexit atau British Exit, yang merupakan istilah yang merujuk keluarnya Inggris dan UE.

Para pengunjuk rasa, yang berjumlah sekitar 700 ribu orang menurut klaim dari panitia, mengibarkan bendera UE yang berwarna emas dan biru. Jumlah ini menjadikan unjuk rasa ini menjadi yang terbesar pasca unjuk rasa menentang invasi sekutu ke Irak pada 2003. Sebagian memegang spanduk atau kertas bertuliskan “Bollocks to Brexit” yang artinya Brexit itu bodoh. Laiinnya melambaikan kertas bertuliskan “Saatnya kembali ke EU” dan “Orang Eropa dan Bangga”.

“Orang-orang berpikir proses negosiasi Brexit berlangsung kacau. Mereka tidak percaya pemerintah akan memenuhi janji-janji yang dibuat, terutama karena mereka memang tidak memenuhi janjinya,” kata James McGrory, panitia unjuk rasa ini, seperti dilansir Reuters pada Sabtu, 20 Oktober 2018 waktu setempat.


Unjuk rasa besar-besaran ini digelar setelah pemerintahan PM Theresa May mengalami gejolak. Ini terjadi setelah dia gagal menyepakati kesepakatan perceraian dengan pemimpin UE di Brussel, Belgia, yang menjadi markas UE. May juga memicu kemarahan sebagian anggota partai konservatif karena dinilai memberikan konsesi tambahan kepada UE.
Proses Brexit ini bakal kelar dalam lima bulan lagi namun hingga kini belum ada kesepakatan yang jelas antara Inggris dengan EU. Ini dipersulit sikap sebagian anggota Partai Konservatif, yang mengancam akan menolak jika May membuat kesepakatan tertentu dengan EU.


Para pengunjuk rasa berkumpul di Hyde Park lalu bergerak melewati Downing Street, yang menjadi lokasi kantor PM Inggris. Mereka lalu berkumpul di depan gedung parlemen untuk mendengarkan berbagai orasi dari berbagai partai politik.

Philip May, suami Perdana Menteri Inggris Theresa May, bekerja untuk sebuah perusahaan senjata, yang harga sahamnya naik saat terjadi serangan militer Inggris ke Suriah. Sumber [REUTERS]



Unjuk rasa ini terkesan berupaya membalik hasil jajak pendapat pada 2016, yang dimenangkan para pendukung Brexit dengan jumlah suara 52 perse. Dua tahun terakhir situasi berkembang dan memanas karena pemerintah Inggris belum juga menyetujui kesepakatan apapun dengan UE pasca Brexit. Ada kekhawatiran Brexit bakal terjadi tanpa Inggris dan UE membuat kesepakatan kerja sama.

 
Media The Sun melansir PM Theresa May mendapat peringatan dari elit Partai Konservatif bahwa posisinya terancam jika tidak segera membuat kesepakatan Brexit dengan UE sebelum Natal 2018. Sebagian anggota partai menulis surat meminta pemungutan suara terkait tingkat kepercayaan anggota partai terhadap kepemimpinan May. “Belum ada upaya untuk menggantinya. Tapi ada ketidak-puasan di mana-mana di partai,” kata dia.





Credit  tempo.co