Selasa, 13 September 2016

'Jangan Lihat Papua dengan Logika Jawa'

 
'Jangan Lihat Papua dengan Logika Jawa' 
 Bambang Purwoko, Ketua Kelompok Kerja Papua UGM, meminta warga Yogya berempati kepada orang Papua. (CNN Indonesia/Martahan Sohuturon)
 
Yogyakarta, CB -- Bambang Purwoko sudah menuju Bandara Sentani, Jayapura, ketika telepon selulernya berdering. Panggilan itu tak bisa diabaikan, berasal dari orang nomor satu di provinsi tersebut. Gubernur Papua Lukas Enembe memintanya menghadap. Bambang langsung putar balik ke rumah sang Gubernur, menunda setengah hari kepulangannya ke Yogya.

Sebagai Ketua Kelompok Kerja Papua Universitas Gadjah Mada, Bambang menjadi tempat bertanya Lukas Enembe. Ia juga sering dimintai pendapat oleh Kantor Staf Presiden dan Keraton Yogyakarta terkait isu Papua.

Papua bak rumah kedua bagi Bambang. Ia kerap bolak-balik Yogya-Papua, menjelajah Papua dari pantai hingga pegunungan, mencurahkan waktu untuk masyarakat timur Indonesia itu.

Ketika wartawan CNNIndonesia.com, Anggi Kusumadewi dan Martahan Sohuturon, menyambangi kediamannya di Condongsari, Yogyakarta, Minggu pagi (31/7), Bambang baru tiba dari Jayapura. Gurat lelah sama sekali tak terlihat di wajahnya.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM itu kemudian bercerita banyak hal tentang Papua. Berikut petikan wawancaranya.


Anda ikut “sibuk” waktu terjadi insiden di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I?

Saya jadi tempat bertanya beberapa pihak, termasuk dari Jakarta. Sebab salah satu tugas pokok dan fungsi Pokja Papua ialah memberi masukan terkait kebijakan apa yang seharusnya diambil Jakarta untuk Papua.

Saya ingin tekankan, dalam melihat permasalahan yang terjadi di Asrama Papua dan insiden-insiden lain terkait Papua, kita tidak bisa menggunakan logika kita sebagai orang Jawa, Jakarta, dan Yogya yang bagaimanapun hidup dalam tradisi berbeda.

Penting sekali untuk mengedepankan hati dan empati, terlepas dari rasa kesal yang mungkin ada. Oleh sebab itu jargon Pokja Papua UGM adalah membangun dengan hati.

Berempatilah dengan melihat orang Papua dari latar belakang sosial dan budayanya. Tolong juga pahami bahwa orang Papua itu tidak satu tipe. Ada 320 subetnis dengan 300-an lebih suku dan bahasa di Papua. Satu kampung bisa terdiri dari beberapa kelompok penutur bahasa yang berbeda.

Kita kerap tidak bisa membedakan dia orang pantai atau gunung. Sesama orang pantai pun bisa merasa beda meski sama-sama Papua. Sementara sesama orang gunung juga saling membedakan antara satu suku dengan lainnya. Mereka bahkan kadang bilang bahwa suku tertentu cenderung lebih keras dibanding sukunya. Ada istilah kepala batu.

Orang Jayapura, daerah pantai, mungkin tahu lika-liku jalan di Jakarta, tapi tidak tahu soal distrik-distrik di gunung seperti Ilaga. Sebaliknya orang gunung tidak terlalu paham budaya kota Jayapura walaupun mereka tahu Jakarta.

Demikian pula mahasiswa Papua yang datang ke sini bisa berasal dari berbagai daerah. Maka mahasiswa Papua di UGM dari daerah pantai yang ingin mengetahui wilayah pegunungan Papua, kerap ikut program KKN (kuliah kerja nyata) ke sana.

Kita juga harus cek para mahasiswa Papua yang datang ke Yogya, apakah mereka masih aktif kuliah, apa frustasi karena tidak ada pendamping, apakah dia tak pernah datang kuliah lagi tapi beasiswa diterima terus dari pemerintah daerah? Sebab pemda menghabiskan banyak dana untuk beasiswa, termasuk bagi mereka yang tidak kuliah.

Ada 1.028 mahasiswa asal Papua di dalam dan luar negeri yang dibiayai dengan dana otonomi khusus. Itu pun tak semua kualitasnya bagus.

Mereka, mahasiswa Papua belum lama ini kumpul di sini. Cukup banyak, termasuk yang non-UGM. Kami tanya apa permasalahan yang mereka hadapi. Untuk yang kuliah di UGM, di mana 90 persen berasal dari wilayah pantai, bisa dikatakan tidak ada masalah setelah lewat tahun pertama belajar. Memang IP (indeks prestasi) tidak bisa dibandingkan dengan mahasiswa daerah lain, tapi rata-rata mata kuliah bisa selesai dengan baik.

Tanpa bermaksud melakukan dikotomi, hal berbeda misal dialami oleh teman-temannya yang berasal dari daerah pegunungan. Mereka pergi studi ke Yogya, semester awal diperlakukan sama seperti mahasiswa lain oleh dosennya, ‘Minggu depan review bab ini dan ini, kumpulkan.’

Dia tidak punya tempat konsultasi ke mana dan ke siapa, tidak ada yang membimbing, lantas frustasi. Salah satu akibat rasa frustasi itu, malam minggu mabuk-mabukan dan hari Minggu pagi terlihat bergelimpangan di stadion.

Itu karena tidak ada pendampingan untuk mereka. Adaptasi jadi amat sulit. Belum lagi secara sosial bermasalah karena ada stereotip. Cari kos juga susah. Kasihan sekali.



Apa salah satu perhatian utama Anda soal Papua?

Ketertinggalan di bidang pendidikan. Itu berdampak sangat serius pada rendahnya kualitas birokrasi dan etos kerja. Pendidikan yang buruk merusak semuanya.

Anak-anak SMA belum bisa baca tulis itu hal wajar di Papua. Lulus SMA, punya ijazah tapi tidak bisa baca tulis. Ini realita.

Sudah umur 18 tahun tapi belum sekolah. Atau sudah 16 tahun tapi belum sekolah, lantas dimasukkan ke SD, daftar langsung kelas enam. Tapi dia tidak pernah pergi ke sekolah, dan nanti tahu-tahu datang menjelang ujian. Minta ikut ujian dan harus lulus.

Masyarakat memaksa, guru-guru tak berdaya, ya dia diluluskan. Dapat ijazah SD, dipakai mendaftar ke SMP, masuk langsung kelas tiga karena umur sudah tua. Setelah itu sama, tidak pernah masuk, tiba-tiba datang ikut ujian dan minta lulus. SMA begitu juga.

Lulus SMA, dia memaksa masuk ke perguruan tinggi di Jayapura dengan sistem kuota. Harus masuk. Tapi lagi-lagi tidak pernah belajar. Mereka yang seperti ini kerap memalang pintu Uncen (Universitas Cenderawasih). Tahun 2014 atau 2015 misalnya, dalam setahun gerbang Uncen dipalang 40 kali oleh mahasiswa.

Mereka tidak mau belajar, tapi harus lulus. Seorang mahasiswa mendatangi dosennya suatu malam. “Bapak mau hidupkah? Mau kasih saya nilai B-kah? Kalau teman satu kampung dapat B, saya juga. Sa tra berani pulang kampung kalau tidak dapat B.”

Ini bukan cerita dulu, tapi masih kejadian sampai sekarang. Jelek sekali kondisi pendidikan di Papua. Generasi yang tua ini sudah sulit diapa-apakan. Perbaikan harus dari dasar. Maka Pokja Papua UGM mulai tahun 2013 mengirim guru-guru perintis ke Kabupaten Puncak, bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat.

Tahap pertama kami mengirim 60 orang, tahap kedua 40 orang. Tahap ketiga kami kirim guru ke Kabupaten Intan Jaya sebanyak 40 orang. Total sudah 140 guru kami kirim. Mereka bertugas di distrik-distrik pedalaman yang selama ini bahkan tidak ada guru PNS (pegawai negeri sipil) yang bertugas di sana karena berbagai alasan.

Sekarang setelah tiga tahun program guru perintis berjalan, hasilnya terlihat. Pendidikan di wilayah pegunungan Papua mulai hidup. Kalau ini dipertahankan, Puncak dan Intan Jaya akan memiliki SDM (sumber daya manusia) paling maju di seluruh Papua karena pendidikan ditangani dengan baik.


Apa yang Anda bicarakan dengan Gubernur Papua Lukas Enembe di Jayapura?

Pak Lukas ingin mahasiswa tak tinggal di asrama, agar mereka berinteraksi dengan masyarakat. Itu juga imbauan Pemprov DIY, dan Pemprov Papua sepakat.

Intinya berbaur. Gubernur mengatakan, asrama-asrama itu tidak diperlukan lagi karena menyebabkan tidak ada pembauran. Mereka yang sudah tidak aktif kuliah masih ada yang tinggal di situ, dan terkoneksi dengan Gerakan Pembebasan (Papua).

Bagi Pak Gubernur, itu sesuatu yang tidak benar juga. Mereka itulah yang kemarin (15 Juli) melakukan gerakan. Mereka tidak merepresentasikan mahasiswa Papua di Yogya. Mereka membangun struktur oligarki. Semua ikatan mahasiswa Papua di daerah, juga asrama daerah, harus tersubordinasi dan tunduk pada Kamasan.

Saat Keluarga Mahasiswa Papua Gadjah Mada tahun 2015 mau mengadakan kegiatan, kami ingin merangkul mereka (mahasiswa Papua di Kamasan), tapi ketua asrama tidak mau. Akhirnya acara kami, Corak Tanah Papua, tetap sukses.

Corak Tanah Papua dengan tema ‘Mengenal dan Memahami Papua dari Beragam Perspektif’ digelar 30-31 Oktober 2015 di kampus UGM sebagai bagian dari Dies Natalis UGM ke-66. Acara ini bertujuan antara lain untuk memperbaiki citra negatif mahasiswa Papua di mata masyarakat Yogya.

Meski begitu, mereka (mahasiswa Papua di Kamasan) harus dikasihi dan dipahami, mengapa mereka seperti itu.
 
Asrama Kamasan I di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, menjadi pusat kegiatan Aliansi Mahasiswa Papua. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi)
Mereka marah pada ormas yang melontarkan kata-kata binatang dan rasialis pada insiden di Asrama Kamasan 15 Juli.

Sangat disayangkan. Mestinya ormas-ormas di Yogya belajar memahami bagaimana kita semua bersaudara dengan baik. Tidak perlu overacting. Bagaimana mau hidup bersama secara humanis jika tidak mau belajar.

Kita harus belajar bagaimana menerima saudara-saudara Papua dengan baik di sini, seperti kita juga diterima baik ketika berada di Papua.

Perilaku berlebihan ormas-ormas juga akan berdampak pada relasi antarwarga. Bukan hanya warga di Yogya, tapi juga di Papua. Apa yang terjadi di Yogya menimbulkan sentimen di Papua. Apalagi kita hidup di era yang bikin orang cepat meletup.


Bagi Gerakan Pembebasan Papua, nothing to lose jika di Yogya ribut. Semakin ribut, semakin menguntungkan untuk ekspose.

Jangan karena kepentingan masing-masing, mengorbankan hal lebih luas seperti masyarakat, relasi antarwarga, termasuk teman mereka sendiri.

Kuncinya adalah pendampingan, pendekatan dari hati, empati.

Membangun Papua juga dengan hati, dan komitmen. Pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Jokowi, punya komitmen tinggi membangun Papua. Sayang hal itu tidak diikuti dengan komitmen yang sama tingginya dari para menterinya.

Banyak sekali kebijakan-kebijakan Presiden tentang Papua yang sebetulnya sudah jelas, akhirnya malah tidak jalan. Anggaran triliunan terserak di kementerian, tapi sering dialokasikan untuk hal-hal yang secara riil tidak dibutuhkan masyarakat Papua.

Pemerintah pusat harus mendahulukan kepentingan masyarakat Papua. Cermati apa sebetulnya kebutuhan mereka. Tanpa itu, kekecewaan rakyat Papua akan terus berlanjut dan terakumulasi.

Menurut Anda pemerintah tak cermat soal Papua?

Negara memang tidak hadir di hadapan masyarakat Papua. Kehadiran negara di tanah Papua mestinya ditandai dengan tersedianya pelayanan publik dasar, yaitu pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur.

Masyarakat Papua bukan hanya tertindas dalam arti fisik. Mereka mungkin bebas, tapi sulit mengakses pelayanan publik dasar. Fasilitas kesehatan belum menjangkau daerah terpencil. Jika pun tersedia, akses ke sana sulit.

Harga di wilayah pegunungan Papua sangat mahal. Semen Rp2 juta, air mineral 600 mililiter Rp30 ribu, air mineral 300 mililiter Rp20 ribu, beras Rp50 ribu. Masyarakat miskin jadi dipaksa membayar mahal untuk kebutuhan dasarnya.

Negara tidak hadir untuk masyarakat Papua.

Kami (Pokja Papua UGM) berupaya memperjuangkan Papua dari ketertinggalan pendidikan, kesulitan mengakses layanan kesehatan, harga yang mahal. Ini berkali-kali dikomunikasikan ke Presiden dan beliau paham. Tapi menteri-menterinya, tak semua punya komitmen sama.

Kalau tidak ditangani serius, efek-efek kekecewaan akan meletup. Merdeka bukan cuma persoalan ideologi, tapi juga terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar.




Credit  CNN Indonesia