Jakarta (CB) - Pakar Hubungan Internasional Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, Siti Daulah Khoiriati berpendapat bahwa saat
ini, opini pemerintah Jepang terbagi ke dalam dua kelompok terkait sikap
atas masalah keamanan di Semenanjung Korea.
"Yang pertama ialah konservatif, yang meletakkan keputusan keamanan pada Amerika Serikat, sementara kubu lain menginginkan sikap lebih mandiri, harus bereaksi tanpa bergantung pada AS," kata Siti saat dihubungi Antara di Jakarta, Minggu.
Dalam menghadapi ancaman nuklir dari Korea Utara, kubu konservatif tetap pada pendirian untuk berlindung pada payung nuklir AS, sebagaimana perjanjian kedua negara itu pasca-Perang Dunia II.
Kubu itu meyakini bahwa jika Jepang terancam, AS akan segera bertindak untuk membela Jepang.
Sementara itu, kubu oposisi menginginkan sikap lebih mandiri, yaitu dengan mengembangkan senjata nuklir sendiri.
"Tapi pilihan itu selalu jadi perdebatan, apalagi Jepang sudah terikat dengan kesepakatan anti-nuklir internasional. Akhirnya, kebijakan Jepang dalam bidang pertahanan tidak selalu berjalan lurus, selalu berubah mengikuti perkembangan," katanya menjelaskan.
Selain itu, perbedaan orientasi dalam KTT AS dengan Korea Utara juga menjadi perhatian Jepang.
Menurut dia, jika AS hanya menekankan tujuannya pada pelucutan nuklir Korea Utara maka hal tersebut tidak mengakomodasi secara penuh keinginan Jepang lainnya seperti pengembalian warga negara Jepang yang diculik Utara serta pemulihan hubungan diplomatik secara resmi.
"Jepang memang berserah pada kebijakan AS, namun waktu menyerahkan ini kadang-kadang juga tidak 100 persen untuk kepentingan Jepang," kata Siti.
Oleh sebab itu, jika nantinya pertemuan antara Presiden Trump dan Kim Jong-Un berjalan sukses namun tidak memberikan dampak positif bagi Jepang maka hal itu kurang bermanfaat.
Jepang pun dinilai menyambut dingin pertemuan itu, dengan masyarakatnya lebih peduli pada soal penculikan daripada peluru kendali Korea Utara, karena senjata tersebut tidak diarahkan ke Jepang, melainkan AS.
Bahkan, sejumlah pejabat tinggi di Jepang melihat bahwa sebetulnya tingkat ancaman Korea Utara kepada Jepang tidak terlalu tinggi, karena Utara hanya memproduksi rudal jarak jauh.
Kecuali, jika kelak Korea Utara membuat peluru kendali jarak dekat atau menengah, yang bisa mencapai Jepang, baru akan ada kekhawatiran mendesak terkait pelucutan nuklir, katanya menambahkan.
"Yang pertama ialah konservatif, yang meletakkan keputusan keamanan pada Amerika Serikat, sementara kubu lain menginginkan sikap lebih mandiri, harus bereaksi tanpa bergantung pada AS," kata Siti saat dihubungi Antara di Jakarta, Minggu.
Dalam menghadapi ancaman nuklir dari Korea Utara, kubu konservatif tetap pada pendirian untuk berlindung pada payung nuklir AS, sebagaimana perjanjian kedua negara itu pasca-Perang Dunia II.
Kubu itu meyakini bahwa jika Jepang terancam, AS akan segera bertindak untuk membela Jepang.
Sementara itu, kubu oposisi menginginkan sikap lebih mandiri, yaitu dengan mengembangkan senjata nuklir sendiri.
"Tapi pilihan itu selalu jadi perdebatan, apalagi Jepang sudah terikat dengan kesepakatan anti-nuklir internasional. Akhirnya, kebijakan Jepang dalam bidang pertahanan tidak selalu berjalan lurus, selalu berubah mengikuti perkembangan," katanya menjelaskan.
Selain itu, perbedaan orientasi dalam KTT AS dengan Korea Utara juga menjadi perhatian Jepang.
Menurut dia, jika AS hanya menekankan tujuannya pada pelucutan nuklir Korea Utara maka hal tersebut tidak mengakomodasi secara penuh keinginan Jepang lainnya seperti pengembalian warga negara Jepang yang diculik Utara serta pemulihan hubungan diplomatik secara resmi.
"Jepang memang berserah pada kebijakan AS, namun waktu menyerahkan ini kadang-kadang juga tidak 100 persen untuk kepentingan Jepang," kata Siti.
Oleh sebab itu, jika nantinya pertemuan antara Presiden Trump dan Kim Jong-Un berjalan sukses namun tidak memberikan dampak positif bagi Jepang maka hal itu kurang bermanfaat.
Jepang pun dinilai menyambut dingin pertemuan itu, dengan masyarakatnya lebih peduli pada soal penculikan daripada peluru kendali Korea Utara, karena senjata tersebut tidak diarahkan ke Jepang, melainkan AS.
Bahkan, sejumlah pejabat tinggi di Jepang melihat bahwa sebetulnya tingkat ancaman Korea Utara kepada Jepang tidak terlalu tinggi, karena Utara hanya memproduksi rudal jarak jauh.
Kecuali, jika kelak Korea Utara membuat peluru kendali jarak dekat atau menengah, yang bisa mencapai Jepang, baru akan ada kekhawatiran mendesak terkait pelucutan nuklir, katanya menambahkan.
Credit antaranews.com