Jakarta (CB) - Pakar Hubungan Internasional UGM Yogyakarta
Siti Daulah Khoiriati berpendapat denuklirisasi atau pelucutan nuklir
Semenanjung Korea tidak menjadi fokus utama Jepang pada KTT antara
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim
Jong-Un di Singapura.
"Jepang tidak menganggap persoalan denuklirisasi sebagai hal utama karena ada tiga persoalan utama dengan Korea Utara," tutur Siti saat dihubungi Antara di Jakarta, Minggu.
Pertama, Jepang belum melakukan normalisasi hubungan dengan Korea Utara sejak Perang Dunia II, berbeda dengan Korea Selatan yang telah menjalin hubungan diplomatik.
Menurut pakar Kajian Wilayah Jepang ini, Jepang ingin terlebih dahulu menormalisasi hubungan dengan Korea Utara untuk menyelesaikan masalah di masa perang sebelum meminta denuklirisasi.
"Belum tercapai perjanjian perdamaian pada kedua negara, apalagi hubungan diplomatik resmi," tutur Siti.
Kedua, terkait kasus penculikan warga negara Jepang oleh pemerintah Korea Utara yang belum terselesaikan hingga sekarang.
Kasus tersebut menjadi perhatian yang sangat serius karena ada tekanan domestik yang sangat besar.
"Setiap kali ada persoalan menyangkut Korea Utara pasti yang muncul di media Jepang adalah soal penculikan. Tuntutan masyarakat kepada pemerintah sangat besar," kata Siti.
Sedangkan yang ketiga, baru menyangkut persoalan nuklir, katanya.
Bagi Jepang, ketiga persoalan tersebut merupakan satu paket yang tidak bisa dipisahkan.
Oleh sebab itu, jika nantinya pertemuan antara Presiden Trump dan Kim Jong-Un berjalan sukses namun tidak memberikan dampak positif bagi Jepang maka hal itu kurang bermanfaat.
"Jepang sepertinya menyambut dingin dengan pertemuan itu. Masyarakatnya juga lebih peduli dengan soal penculikan daripada rudal Korea Utara karena rudalnya tidak diarahkan ke Jepang, tapi Amerika," katanya.
Bahkan sejumlah pejabat tinggi di Jepang melihat bahwa sebetulnya tingkat ancaman Korea Utara kepada Jepang tidak terlalu tinggi karena Utara hanya memproduksi rudal jarak jauh.
"Kecuali jika kelak Korea Utara memproduksi rudal jarak dekat atau menengah yang bisa mencapai Jepang, baru akan ada kekhawatiran yang mendesak terkait denuklirisasi," katanya menambahkan, dilaporkan Reuters.
"Jepang tidak menganggap persoalan denuklirisasi sebagai hal utama karena ada tiga persoalan utama dengan Korea Utara," tutur Siti saat dihubungi Antara di Jakarta, Minggu.
Pertama, Jepang belum melakukan normalisasi hubungan dengan Korea Utara sejak Perang Dunia II, berbeda dengan Korea Selatan yang telah menjalin hubungan diplomatik.
Menurut pakar Kajian Wilayah Jepang ini, Jepang ingin terlebih dahulu menormalisasi hubungan dengan Korea Utara untuk menyelesaikan masalah di masa perang sebelum meminta denuklirisasi.
"Belum tercapai perjanjian perdamaian pada kedua negara, apalagi hubungan diplomatik resmi," tutur Siti.
Kedua, terkait kasus penculikan warga negara Jepang oleh pemerintah Korea Utara yang belum terselesaikan hingga sekarang.
Kasus tersebut menjadi perhatian yang sangat serius karena ada tekanan domestik yang sangat besar.
"Setiap kali ada persoalan menyangkut Korea Utara pasti yang muncul di media Jepang adalah soal penculikan. Tuntutan masyarakat kepada pemerintah sangat besar," kata Siti.
Sedangkan yang ketiga, baru menyangkut persoalan nuklir, katanya.
Bagi Jepang, ketiga persoalan tersebut merupakan satu paket yang tidak bisa dipisahkan.
Oleh sebab itu, jika nantinya pertemuan antara Presiden Trump dan Kim Jong-Un berjalan sukses namun tidak memberikan dampak positif bagi Jepang maka hal itu kurang bermanfaat.
"Jepang sepertinya menyambut dingin dengan pertemuan itu. Masyarakatnya juga lebih peduli dengan soal penculikan daripada rudal Korea Utara karena rudalnya tidak diarahkan ke Jepang, tapi Amerika," katanya.
Bahkan sejumlah pejabat tinggi di Jepang melihat bahwa sebetulnya tingkat ancaman Korea Utara kepada Jepang tidak terlalu tinggi karena Utara hanya memproduksi rudal jarak jauh.
"Kecuali jika kelak Korea Utara memproduksi rudal jarak dekat atau menengah yang bisa mencapai Jepang, baru akan ada kekhawatiran yang mendesak terkait denuklirisasi," katanya menambahkan, dilaporkan Reuters.
Credit antaranews.com