Senin, 11 Juni 2018

'Kekalahan' Indonesia di Balik Pertemuan Trump dan Kim


'Kekalahan' Indonesia di Balik Pertemuan Trump dan Kim
Indonesia memiliki beberapa kriteria untuk menjadi lokasi pertemuan Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. (Ist/KBRI Pyongyang)


Jakarta, CB -- Setelah banyak spekulasi beredar, Presiden Amerika Serikat Donald Trump akhirnya memutuskan Singapura sebagai tempat pertemuannya dengan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong-un pada 12 Juni besok.

Sebelumnya, beberapa tempat seperti Swedia, Swiss, Mongolia, China, hingga Malaysia sempat disebut-sebut masuk dalam daftar pertimbangan Trump. Beberapa negara seperti Thailand dan Indonesia, seperti disampaikan Presiden Joko Widodo, juga menawarkan diri memfasilitasi pertemuan bersejarah itu.

Pengamat politik internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, mengatakan terpilihnya Singapura sebagai tuan rumah bisa dibilang sebagai 'kekalahan' bagi Indonesia.



Menurut Rezasyah, kegagalan Indonesia untuk dipilih menjadi lokasi pertemuan Trump dan Kim Jong-un semata karena pemerintah RI dianggap lebih fokus pada masalah dalam negeri.

Padahal, Presiden Jokowi sudah punya bekal banyak untuk meyakinkan dunia bahwa Indonesia pantas menghelat salah satu pertemuan paling bersejarah itu.




"Sebenarnya dua tahun lalu delegasi Korut sudah datang ke Indonesia meminta agar pemerintah mau fasilitasi dialog dengan Korsel, tapi itu tidak dijaga dan dikembangkan oleh Indonesia. Tampaknya energi pemerintah masih terkuras banyak menangani masalah dalam negeri saat ini seperti pemilihan presiden tahun depan hingga isu keamanan seperti terorisme," kata Rezasyah.
Menurut Rezasyah, Indonesia memiliki beberapa kriteria yang jauh lebih masuk akal untuk menjamu pertemuan kedua pemimpin itu.

"Indonesia sebenarnya kehilangan kesempatan yang berhasil direbut Singapura," kata Rezasyah saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (7/6).

Kriteria-kriteria itu antara lain, pertama, Indonesia memiliki sejarah hubungan baik dengan AS maupun Korut.



"Indonesia punya persyaratan ideologis, konstitusional yang jauh di atas Singapura soal ini," kata Rezasyah. "Indonesia juga mempertahankan hubungan baik dengan AS dan Korut."

AS merupakan salah satu negara pertama yang menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia setelah merdeka, tepatnya pada 1949 silam. Hingga kini,hubungan bilateral, bisnis, hingga people to people contact antara Indonesia-AS terus terjalin dalam bentuk kemitraan strategis yang berlangsung sejak 2015 lalu.

Adapun hubungan diplomatik Indonesia dan Korea Utara telah terjalin sejak 1961. Empat tahun kemudian, pendiri Korut sekaligus kakek Kim Jong-un, Kim Il-sung, berkunjung ke Jakarta.

Mendiang Presiden Soekarno dan Kim Il-sung, dikenal memiliki riwayat hubungan yang cukup dekat. Soekarno bahkan pernah menghadiahkan bunga anggrek yang ditanam di Istana Bogor untuk Kim Il-sung. Bunga itu diberi nama Kim Il-sung yang ditujukan sebagai simbol persahabatan kedua negara.


Hingga kini, bunga hadiah Soekarno itu kerap dipamerkan setiap tahunnya dalam Festival Kimilsungia sebagai salah satu perayaan Hari Matahari atau hari kelahiran Kim Il-sung.

Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri juga pernah berkunjung ke Pyongyang beberapa kali yakni pada 2002 dan 2001 silam.

Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia juga pernah diminta Pyongyang untuk memfasilitasi pertemuan Korut dan Korsel sebagai upaya meredakan ketegangan di Semenanjung Korea saat itu.

Dua pejabat tinggi Korut yakni wakil pemimpin Komite Pusat Partai Buruh Ri Su Yong dan Presiden Presidium Majelis Tertinggi Partai Buruh Kim Yong-nam juga sempat berkunjung ke Jakarta.


Pemimpin Korut Kim Jong-un dan Presiden Korsel Moon Jae-in
Foto: The Presidential Blue House /Handout via REUTERS
Pemimpin Korut Kim Jong-un dan Presiden Korsel Moon Jae-in


Presiden SBY sempat mengundang ayah Kim Jong-un, Kim Jong-il ke Istana Merdeka pada 2006 lalu, meski lawatan itu tidak pernah terjadi.

Presiden Joko Widodo juga sempat melakukan pertemuan bilateral dengan Kim Yong-nam di sela Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika pada 2015 lalu.

Alasan kedua, papar Rezasyah, netralitas Jakarta juga bisa dijamin meski memiliki hubungan baik dengan Washington dan Pyongyang. Tidak seperti Singapura, Indonesia tidak memiliki kerja sama aliansi pertahanan dengan Amerika.

Rezasyah menuturkan dengan politik luar negeri bebas aktif juga membuat Indonesia tidak pernah condong mengarah ke Barat atau bahkan Komunis.

Menurut Rezasyah, gelaran pertemuan Kim-Trump sama dengan mendukung perdamaian dunia. Dan hal itu, paparnya, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai salah satu tugas Indonesia.



"Itu semua sebenarnya modal besar Indonesia untuk menjadi tuan rumah pertemuan Trump dan Kim. Singapura tidak punya modal sejarah, politik, apalagi konstitusional. Indonesia juga lebih netral, tidak punya perjanjian militer aliansi dengan negara AS atau China," kata kakak Duta Besar RI untuk Kanada, Teuku Faizasyah itu.

Rezasyah masih berharap Indonesia masih bisa mempersiapkan untuk memfasilitasi pertemuan-pertemuan besar lainnya di masa depan, termasuk pertemuan lanjutan Korut-AS jika memang ada.

"Saya harap akan ada KTT AS-Korut selanjutnya, tidak cuman di Singapura nanti. Nah mungkin Indonesia bisa mempersiapkan diri untuk menawarkan diri lebih serius lagi untuk menggelar KTT itu selanjutnya."

Adapun Singapura dipilih karena dianggap lebih berpengalaman. Pada 2015 lalu, Singapura pernah memfasilitasi pertemuan antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou. Pertemuan itu merupakan yang pertama sejak tujuh dekade kedua pemimpin berselisih.



Negara berpenduduk 5,6 juta orang itu juga menjadi tuan rumah berbagai konferensi internasional tahunan seperti Shang-ri La Dialogue yang kerap didatangi pejabat tinggi negara seperti AS, China, dan negara lainnya.

Dari segi keamanan, Singapura juga menjadi negara di Asia Tenggara yang hingga kini bebas dari serangan teror.

"Kami tidak meminta, tapi kami diminta. Pihak AS lah yang pertama kali menawarkan ini. Saya pikir warga Singapura harus berbangga diri. Bangga bahwa negara ini telah dipercaya dan diandalkan untuk menggelar pertemuan tinggi ini," ucap Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan, seperti dikutip CNBC.




Credit  cnnindonesia.com