NEW YORK
- Amerika Serikat (AS) telah mengusulkan kepada Dewan Keamanan PBB
memberlakukan sanksi terhadap beberapa menteri dan pejabat Sudan
Selatan. AS menuduh mereka menghalangi upaya perdamaian dan memblokir
bantuan kemanusiaan kepada warga sipil.
Diplomat Dewan Keamanan akan bertemu untuk negosiasi draft usulan tersebut pada hari Selasa esok dan melakukan voting pada Kamis. Resolusi membutuhkan sembilan suara dukungan dan tidak ada veto oleh Rusia, Cina, Prancis, Inggris atau AS untuk diloloskan seperti dikutip dari Reuters, Senin (28/5/2018).
DK PBB sebelumnya telah menjatuhkan sanksi kepada beberapa pejabat senior Sudan Selatan yang terlibat konflik pada tahun 2015, tetapi upaya AS untuk memaksakan embargo senjata pada bulan Desember 2016 gagal.
Pada bulan November, Rusia mengatakan akan menjadi kontraproduktif untuk menjatuhkan sanksi lebih lanjut atau embargo senjata di Sudan Selatan.
Langkah-langkah yang diusulkan akan membekukan aset dan melarang perjalanan bagi enam pejabat, termasuk Menteri Pertahanan Kuol Manyang Juuk, mantan panglima militer Paul Malong, Menteri Penerangan Michael Lueth, dan wakil kepala pertahanan untuk logistik di Angkatan Darat Sudan Selatan Malek Reuben Riak Rengu .
Sanksi ini juga menargetkan Koang Rambang, gubernur Negara Bagian Bieh, yang dituduh AS memimpin serangan militer dan menghalangi bantuan kepada warga sipil; dan menteri urusan kabinet Martin Elia Lomuro.
Sudan Selatan, yang memisahkan diri dari tetangganya Sudan utara pada 2011, dicengkeram oleh perang saudara yang dipicu oleh persaingan politik antara Presiden Salva Kiir dan mantan deputinya Riek Machar.
Mawien Makol, juru bicara urusan luar negeri Sudan Selatan, mengatakan kepada Reuters bahwa pemerintah mengetahui proposal sanksi baru dari Washington.
“Kami masih mengatakan bahwa sanksi bukanlah solusi dan juga menjatuhkan sanksi kepada individu bukanlah solusi. Solusinya adalah mendorong pihak-pihak untuk membawa perdamaian di negara ini,” kata Makol.
Pembicaraan di Ethiopia untuk menghidupkan kembali pakta perdamaian 2015 yang gagal di Sudan Selatan dan mengakhiri perang saudara yang bubar minggu lalu tanpa kesepakatan.
Diplomat Dewan Keamanan akan bertemu untuk negosiasi draft usulan tersebut pada hari Selasa esok dan melakukan voting pada Kamis. Resolusi membutuhkan sembilan suara dukungan dan tidak ada veto oleh Rusia, Cina, Prancis, Inggris atau AS untuk diloloskan seperti dikutip dari Reuters, Senin (28/5/2018).
DK PBB sebelumnya telah menjatuhkan sanksi kepada beberapa pejabat senior Sudan Selatan yang terlibat konflik pada tahun 2015, tetapi upaya AS untuk memaksakan embargo senjata pada bulan Desember 2016 gagal.
Pada bulan November, Rusia mengatakan akan menjadi kontraproduktif untuk menjatuhkan sanksi lebih lanjut atau embargo senjata di Sudan Selatan.
Langkah-langkah yang diusulkan akan membekukan aset dan melarang perjalanan bagi enam pejabat, termasuk Menteri Pertahanan Kuol Manyang Juuk, mantan panglima militer Paul Malong, Menteri Penerangan Michael Lueth, dan wakil kepala pertahanan untuk logistik di Angkatan Darat Sudan Selatan Malek Reuben Riak Rengu .
Sanksi ini juga menargetkan Koang Rambang, gubernur Negara Bagian Bieh, yang dituduh AS memimpin serangan militer dan menghalangi bantuan kepada warga sipil; dan menteri urusan kabinet Martin Elia Lomuro.
Sudan Selatan, yang memisahkan diri dari tetangganya Sudan utara pada 2011, dicengkeram oleh perang saudara yang dipicu oleh persaingan politik antara Presiden Salva Kiir dan mantan deputinya Riek Machar.
Mawien Makol, juru bicara urusan luar negeri Sudan Selatan, mengatakan kepada Reuters bahwa pemerintah mengetahui proposal sanksi baru dari Washington.
“Kami masih mengatakan bahwa sanksi bukanlah solusi dan juga menjatuhkan sanksi kepada individu bukanlah solusi. Solusinya adalah mendorong pihak-pihak untuk membawa perdamaian di negara ini,” kata Makol.
Pembicaraan di Ethiopia untuk menghidupkan kembali pakta perdamaian 2015 yang gagal di Sudan Selatan dan mengakhiri perang saudara yang bubar minggu lalu tanpa kesepakatan.
Credit sindonews.com