Larangan tersebut disinyalir bertujuan membungkam kritik terhadap militer Israel.
CB,
 TEL AVIV -- Parlemen Israel akan mempertimbangkan rancangan 
undang-undang (RUU) yang melarang pemotretan atau perekaman aktivitas 
tentara. Para kritikus menyebut RUU tersebut sebagai upaya berbahaya 
untuk melemahkan pengawasan terhadap Pasukan Pertahanan Israel (IDF).
Di bawah RUU 
Prohibition against Photocopying and Documenting IDF Soldiers
 yang telah diusulkan, siapa pun yang tertangkap memotret tentara Israel
 dengan maksud untuk merusak semangat mereka, dapat dihukum hingga 10 
tahun penjara.
"Siapa pun yang memfilmkan, memfoto, 
dan/atau merekam tentara yang sedang menjalankan tugas mereka, dengan 
maksud untuk merusak semangat tentara IDF dan penduduk Israel, maka akan
 dijerat lima tahun penjara," kata RUU yang diusulkan oleh Robert 
Ilatov, anggota Knesset dan ketua partai nasionalis sayap kanan Yisrael 
Beiteinu.
"Siapa pun yang bermaksud membahayakan keamanan negara akan dijatuhi hukuman penjara 10 tahun," tambah RUU itu, dikutip 
The Independent.
Proposal
 RUU itu diajukan setelah kerusuhan mematikan terjadi di Gaza pada Senin
 (14/5) lalu. Para pejabat medis mengatakan, sedikitnya 60 warga 
Palestina tewas dan ribuan lainnya terluka, ketika pasukan Israel 
menembaki para demonstran yang memprotes pendudukan Israel di hari itu.
RUU
 itu dilaporkan didukung oleh Menteri Pertahanan Israel Avigdor 
Liberman.Catatan penjelasan yang menyertai RUU tersebut mengatakan, 
"Selama bertahun-tahun, Israel telah menyaksikan fenomena 
mengkhawatirkan dokumentasi tentara IDF."
Dokumentasi
 ini dilakukan melalui rekaman video dan audio oleh organisasi 
anti-Israel dan pro-Palestina, seperti B'telem, MachsomWatch, Breaking 
the Silence, dan berbagai organisasi BDS. "Dalam banyak kasus, 
organisasi itu menghabiskan waktu berhari-hari berada di dekat tentara 
IDF dan mereka bisa dipermalukan," tambah catatan itu.
"Kami
 memiliki tanggung jawab untuk menyediakan kondisi optimal bagi tentara 
IDF untuk melaksanakan tugas mereka, tanpa harus khawatir tentang 
seseorang atau organisasi yang mungkin mempublikasikan gambar mereka dan
 mempermalukan mereka," ujar catatan itu.
Sebuah editorial di surat kabar Israel, 
Haaretz, yang diterbitkan pada Ahad (27/5), mengutuk RUU itu. 
Haaretz
 menyebut RUU tersebut berbahaya dan tujuannya adalah untuk membungkam 
kritik terhadap tentara, dan khususnya untuk mencegah organisasi hak 
asasi manusia mendokumentasikan tindakan tentara Israel di sejumlah 
wilayah.
Akibat dari larangan semacam itu adalah ancaman 
terhadap hak asasi manusia dan ancaman dalam mengawasi kegiatan tentara.
 RUU itu merugikan kebebasan pers dan hak publik untuk mengetahuinya. 
"Publik memiliki hak untuk mengetahui apa realitasnya," tulis editorial 
itu.
Kekerasan di Gaza telah mereda sejak 14 Mei, tetapi 
masih ada gejolak sporadis. Setidaknya 113 warga Palestina telah tewas 
sejak protes di perbatasan Israel-Gaza dimulai pada 30 Maret lalu.
Aksi
 protes itu menuntut hak untuk kembali bagi para pengungsi Palestina dan
 keturunan mereka ke tanah dan rumah-rumah yang diambil Israel dalam 
perang 1948. Gaza telah dikendalikan oleh kelompok Hamas sejak 2007 dan 
Israel menuduh kelompok itu telah memprovokasi kekerasan di perbatasan.