CB, Jakarta - Tindakan keras terhadap terduga pengedar narkoba
telah menyebabkan setidaknya 91 orang tewas dalam waktu kurang dari dua
minggu di Bangladesh. Hal itu telah memicu kekhawatiran akan perang
narkoba ala Filipina yang ditandai dengan pembunuhan di luar hukum.
Mereka yang tewas itu, sebagian besar terjadi dalam aksi baku tembak, meskipun keluarga beberapa orang yang tewas mengatakan mereka ditangkap oleh polisi dan meninggal dalam tahanan.
Sejak operasi perang terhadap narkoba ini dimulai pada 15 Mei 2018, jumlah korban tewas telah meningkat hampir setiap hari. Nama-nama dan keberadaan orang-orang yang tewas mengisi kolom surat kabar tanpa rincian bukti kesalahannya dan tanpa peradilan.
Odhikar, sebuah kelompok HAM di Bangladesh, mengatakan pada Ahad, 27 Mei 2018, sedikitnya 91 orang tewas dalam 13 hari.
Ilustrasi penjahat narkoba. TEMPO/Iqbal Lubis
Seperti dilansir situs South China Morning Post pada 28 Mei 2018, banyak dari mereka yang tewas merupakan pecandu dan penjaja kecil yang terbunuh di kota-kota dan di pelosok negeri itu. Ada pula yang dituduh membawa simpanan kecil obat-obatan dan senjata ringan. Salah satunya adalah Kamrul Islam, 35 tahun, yang digambarkan oleh istrinya sebagai mantan penjual obat terlarang yang meninggalkan perdagangan 10 tahun lalu dan mendapatkan penghasilan sedikit dari sebuah warung makan di sebuah stasiun bus di ibu kota Dhaka.
Tindakan tegas yang diambil pemerintah Bangladesh ini menyusul peredaran narkoba yang semakin marak. Kartel perdagangan narkoba dilaporkan memanfaatkan krisis pengungsi dengan merekrut pengungsi suku Rohingya yang putus asa sebagai pengedar kecil.
Perang narkoba adalah langkah berat terakhir oleh pemerintahan Perdana Menteri Sheikh Hasina yang semakin otoriter. Dia belakangan dikritik karena membatasi wartawan, memenjarakan lawan-lawan politik dan mengizinkan lembaga penegak hukum untuk menahan, menyiksa dan membunuh orang yang dicurigai sebagai milisi ekstrimis.
Dengan menolak proses hukum terhadap para terduga pengedar obat-obatan terlarang, dia menarik perbandingan dengan perang narkoba yang dilakukan Presiden Rodrigo Duterte di Filipina. Duterte, lewat kampanye perang melawan narkoba memerintahkan tembak di tempat terhadap pengedar narkoba hingga lebih dari 12.000 orang di duga tewas dalam dua tahun.
Kepolisian Bangladesh memperkirakan 7 juta dari 160 juta penduduk negara itu kecanduan narkoba. Yang paling umum adalah kecanduan yaba, yakni pil yang mengandung kafein dan metamfetamin.
Mereka yang tewas itu, sebagian besar terjadi dalam aksi baku tembak, meskipun keluarga beberapa orang yang tewas mengatakan mereka ditangkap oleh polisi dan meninggal dalam tahanan.
Sejak operasi perang terhadap narkoba ini dimulai pada 15 Mei 2018, jumlah korban tewas telah meningkat hampir setiap hari. Nama-nama dan keberadaan orang-orang yang tewas mengisi kolom surat kabar tanpa rincian bukti kesalahannya dan tanpa peradilan.
Odhikar, sebuah kelompok HAM di Bangladesh, mengatakan pada Ahad, 27 Mei 2018, sedikitnya 91 orang tewas dalam 13 hari.
Ilustrasi penjahat narkoba. TEMPO/Iqbal Lubis
Seperti dilansir situs South China Morning Post pada 28 Mei 2018, banyak dari mereka yang tewas merupakan pecandu dan penjaja kecil yang terbunuh di kota-kota dan di pelosok negeri itu. Ada pula yang dituduh membawa simpanan kecil obat-obatan dan senjata ringan. Salah satunya adalah Kamrul Islam, 35 tahun, yang digambarkan oleh istrinya sebagai mantan penjual obat terlarang yang meninggalkan perdagangan 10 tahun lalu dan mendapatkan penghasilan sedikit dari sebuah warung makan di sebuah stasiun bus di ibu kota Dhaka.
Tindakan tegas yang diambil pemerintah Bangladesh ini menyusul peredaran narkoba yang semakin marak. Kartel perdagangan narkoba dilaporkan memanfaatkan krisis pengungsi dengan merekrut pengungsi suku Rohingya yang putus asa sebagai pengedar kecil.
Perang narkoba adalah langkah berat terakhir oleh pemerintahan Perdana Menteri Sheikh Hasina yang semakin otoriter. Dia belakangan dikritik karena membatasi wartawan, memenjarakan lawan-lawan politik dan mengizinkan lembaga penegak hukum untuk menahan, menyiksa dan membunuh orang yang dicurigai sebagai milisi ekstrimis.
Dengan menolak proses hukum terhadap para terduga pengedar obat-obatan terlarang, dia menarik perbandingan dengan perang narkoba yang dilakukan Presiden Rodrigo Duterte di Filipina. Duterte, lewat kampanye perang melawan narkoba memerintahkan tembak di tempat terhadap pengedar narkoba hingga lebih dari 12.000 orang di duga tewas dalam dua tahun.
Kepolisian Bangladesh memperkirakan 7 juta dari 160 juta penduduk negara itu kecanduan narkoba. Yang paling umum adalah kecanduan yaba, yakni pil yang mengandung kafein dan metamfetamin.
Credit tempo.co