Rabu, 21 September 2016

CBA: `Rapor Merah` PT DI Buat TNI AU Terpaksa Beli Helikopter AW 101


Istimewa
Jakarta, CB - Center for Budget Analysis (CBA) mempertanyakan kinerja PT Dirgantara Indonesia (PT DI) yang selama ini bertanggung jawab dalam pengadaan dan pemeliharaan Alat Utama Sistem Pertahanan (Alutsista) TNI, khususnya Angkatan Udara.

Koordinator Investigasi CBA Jajang Nurjaman, mengatakan, hal itu terlihat dari rencana TNI AU yang akan membeli helikopter Agusta Westland 101 (AW 101) buatan Inggris untuk melengkapi rencana strategis dalam rangka memperkuat Alutsista.

Pasalnya, menurut Jajang, pengadaan dan pemeliharaan Alat Utama Sistem Pertahanan (Alutsista) TNI Angkatan Udara selama ini dipegang oleh PT Dirgantara Indonesia (PTDI).

"TNI AU cukup familiar untuk mengoperasikan helikopter di dalam keluarga Puma, produksi Airbus Helicopter, Perancis, seperti pada seri AS332 Super Puma dan SA330 Puma, dengan lisensi produksi PTDI sejak lebih dari 30 tahun yang lalu." Ungkap Jajang.

Jajang menilai, kenapa TNI AU berpaling muka dan memilih AW 101 untuk melengkapi rencana strategis dalam rangka memperkuat Alutsista, khususnya matra udara RI. "Hal ini merupakan imbas dari kinerja PTDI yang tercatat banyak memiliki ‘rapor merah’ dalam melaksanakan kewajibannya kepada TNI AU. Sebut saja salah satu diantaranya adalah enam unit rotorcraft EC725 untuk misi Combat SAR (CSAR) atau SAR Tempur Paskhas, yang konon telah diserahkan Airbus Helicopters di Marignane, Perancis kepada PTDI." Kata Jajang.

Masih seperti kata Jajang, contoh lainnya adalah proyek pekerjaan pengadaan Helikopter Bell 412EF tahap II, dari TNI AU kepada PTDI  yang senilai Rp. 220 miliar, pada 2011 silam. “Untuk proyek pengerjaan ini PTDI telah menerima 96% atau sekitar Rp. 212,5 miliar, dengan hasil pengerjaan yang tak kunjung selesai. Bayangkan, hingga saat ini penyelesaian kemajuan fisik tercatat baru mencapai 20% saja,” ujarnya. Hingga saat ini, dilihat dari sisi produk pun PTDI dinilai sangat kurang memadai. Akhir-akhir ini, beberapa kali matra udara dari keluarga Super Puma itu mengalami kecelakaan. Hingga April 2016 silam, Super Puma tercatat mengalami beberapa kali musibah.

Jajang menambahkan, seharusnya perubahaan nama dari sebelumnya PT IPTN menjadi PT DI dapat membuat BUMN ini semakin meningkatkan kinerjanya, namun justru Sebaliknya, kinerja dalam "pembuatan" pesawat atau helikopter yang semestinya menjadi kebanggaan, ternyata hanya menoreh rapor merah dan mengecewakan harapan publik. “Apalagi, salah satu tugasnya adalah menopang kepentingan angkutan militer,” timpalnya.

TNI AU harus terus melakukan evaluasi, kalau perlu tidak lagi memakai Super Puma sebagai varian Alutsista TNI AU dalam mendukung rencana strategis pertahanan negara RI. "TNI AU harus didukung dengan helikopter yang lebih unggul dari sisi teknologi, desain, kenyamanan dan keamanannya dari Super Puma, sebagai alat pertahanan negara kita,” tegas Jajang.

Pada kesempatan terpisah Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsma Jemi Trisonjaya menjelaskan alasan TNI AU membeli Agusta Westland 101 karena sudah sesuai kajian atas kondisi heli angkut TNI AU yang selama ini digunakan, serta kemampuannya memenuhi kebutuhan militer masa datang. “Spesifikasi AW 101 yang diharapkan TNI bukan untuk VVIP seperti yang pernah ditolak oleh Presiden Jokowi pada Desember 2015, tetapi untuk kepentingan angkutan militer,” kata Jemi.



Credit  HanTer