Rabu, 24 Oktober 2018

Israel Bebaskan Kepala Intelijen Palestina


Penjara/ilustrasi
Penjara/ilustrasi
Foto: pixabay
Penangkapan Ghaith dan al-Faqih telah membuat PLO geram.




CB, RAMALLAH -- Otoritas Israel membebaskan kepala badan intelijen Palestina Jihad al-Faqih pada Senin (22/10). Al-Faqih ditangkap Israel pada Sabtu pekan lalu karena berupaya mempublikasikan nama-nama yang terlibat dalam proses penjualan rumah untuk para pemukim Yahudi di lingkungan Muslim di Yerusalem.

Seperti dilaporkan laman kantor berita Palestina WAFA, kepala unit hukum di Palestinian Prisoner’s Society Jawad Boulos mengatakan, al-Faqih dibebaskan setelah otoritas Palestina mengajukan permohonan pembebasan. Berdasarkan keputusan pengadilan Israel, al-Faqih seharusnya dibebaskan pada Rabu (24/10).

Pada Sabtu pekan lalu, Israel tidak hanya menangkap al-Faqih. Mereka juga menahan gubernur Palestina di Yerusalem Adnan Ghaith. Ghaith ditahan karena alasan serupa dengan al-Faqih. Hingga Senin malam kemarin, Ghaith masih belum dibebaskan otoritas Israel.



Penangkapan Ghaith dan al-Faqih telah membuat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) geram. Menurut Sekretaris Komite Eksekutif PLO Saeb Erekat penangkapan kedua pejabat Palestina itu adalah upaya Israel untuk mengintimidasi pemerintahan Otoritas Palestina.
“Penculikan ini adalah bagian kecil dari serangkaian pelanggaran dan praktik oleh Israel, termasuk pemindahan paksa, pembongkaran rumah, dan perluasan sistem permukiman kolonial dalam rangka mencapai rencananya menghilangkan solusi dua negara berdasarkan perbatasan 1967 dan untuk memaksakan pemerintahan Israel yang lebih besar sebagai gantinya,” kata Erekat.

Perundingan solusi dua negara antara Palestina dan Israel telah terhenti sejak 2014. Prospek keberhasilan solusi dua negara pun terancam saat Amerika Serikat (AS) mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember tahun lalu.

Setelah pengakuan itu, Palestina memutuskan mengundurkan diri dari perundingan damai dengan Israel yang dimediasi AS. Hal itu dilakukan karena Palestina menilai AS tidak lagi menjadi mediator yang netral karena terbukti membela kepentingan politik Israel. Padahal AS mengetahui bahwa Palestina mendambakan Yerusalem Timur menjadi ibu kota masa depan untuk negara mereka.





Credit  republika.co.id