Kamis, 25 Oktober 2018

Perang Dagang dengan AS Bisa Picu China Makin Agresif di LCS


Perang Dagang dengan AS Bisa Picu China Makin Agresif di LCS
Ilustrasi. (Reuters/Stringer)


Jakarta, CB -- Perang dagang antara Amerika Serikat dengan China dianggap bisa memicu ekspansi ekonomi, politik, hingga keamanan Negeri Tirai Bambu semakin "agresif" di Laut China Selatan.

Analis senior kawasan Asia Timur dari platform intelijen geopolitik Stratfor, Zhixing Zhang, menganggap perang dagang menyebabkan China terpaksa mencari jalur perdagangan alternatif agar tidak bergantung pada pasar AS dan Eropa.

Sementara itu, Zhang menilai Laut China Selatan menjadi "aset" satu-satunya yang bisa diandalkan Beijing di kawasan untuk menjaga ketahanan ekonomi dan politik di tengah perang tarif dengan AS terhadap sebagian besar produknya.


Selain kaya sumber daya alam, Laut China Selatan merupakan perairan dengan jalur perdagangan terpadat dengan nilai mencapai US$5 triliun per tahun.


Demi mempertahankan hal itu, Zhang menilai China bisa saja terus berekpsansi dengan berbagai cara, termasuk mengubah status quo tatanan di kawasan demi "menguasai" Laut China Selatan.

"Perang dagang membuat China harus menemukan jalur alternatif bagi ekonominya. Selama ini, pandangan umum melihat China sebagai kekuatan ekspansionis," ucap Zhang dalam Jakarta Geopolitical Forum 2018, Rabu (24/10).


Melanjutkan pandangannya, Zhang berkata, "China menggunakan seluruh cara-mulai dari membangun pulau, instalasi militer di Laut China Selatan, bahkan pembangunan pelabuhan di Samudra Hindia meski itu bertentangan dengan tatanan di kawasan selama ini."

"China juga menentang status quo yang ada dengan Jepang terkait sengketa Laut China Timur dan menetapkan ketentuan praktis di Kepulauan Paracel (yang masih menjadi bagian sengketa Laut China Selatan). Kombinasi strategi ini digunakan China untuk mencapai kepetingannya."

Zhang menuturkan China sadar agresivitas dan ekspansinya di kawasan membuat negara itu semakin rentan terhadap ancaman keamanan serta logistik.

Beijing juga masih memiliki sengketa dengan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darusalam terkait Laut China Selatan.

Namun, Zhang menganggap "keagresifan" China di kawasan terutama terkait Laut China Selatan sudah tak lagi bertumpu pada militerisasi, tapi dialog.

Hal ini terlihat ketika China mulai mengurangi aktivitas agresifnya di Laut China Selatan sejak berdialog dengan ASEAN pada 2016 lalu. Sejak itu kedua belah pihak terus berupaya saling membangun kepercayaan.


Kedua belah pihak juga terus bernegosiasi untuk merampungkan kode etik atau code of conduct (CoC) sebagai pedoman setiap negara berprilaku di Laut China Selatan. CoC sepakat dibentuk China dan ASEAN untuk menghindari konflik dan agresi militer di perairan tersebut.

"Pekan ini, ASEAN dan China bahkan menggelar latihan militer gabungan di Laut China Selatan. Beijing juga menggelar latihan bersama Thailand dan Malaysia di Selat Malaka," tutur lulusan Peking University itu.

"Bagi China ini jelas keuntungan. Kerja sama dengan negara ASEAN membuat China bisa mempertahankan pengaruh di Laut China Selatan dan di saat bersamaan bisa membendung keterlibatan pihak eksternal--AS--di wilayah itu."




Credit  cnnindonesia.com