Kamis, 25 Oktober 2018

Sejumlah Alasan Mengapa Saudi Bunuh Khashoggi


Sejumlah Alasan Mengapa Saudi Bunuh Khashoggi
Wartawan Arab Saudi Jamal Khashoggi (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)


Jakarta, CB -- Sosiolog Turki Yasin Aktay, mengemukakan sejumlah alasan yang mungkin menjadi penyebab wartawan Jamal Khashoggi jadi target pembunuhan di konsulat Arab Saudi.

Aktay yang juga menjadi penasihat partai berkuasa Turki, Partai Keadilan dan Pembangun (AK) itu menyebut bahwa pemerintah Riyadh menganggap wartawan Washington Post itu berpotensi untuk mengorganisasikan oposisi. Meski demikian, ia tak pernah menganggap dirinya akan melakukan hal itu.

"Dari mana kecurigaan ini berasal?" tanya Aktay yang juga dikenal sebagai teman Khashoggi ini, kepada Anadolu, Rabu (24/10).


"Saya kira kecurigaan ini dibangun dari keparanoidan, kekuasaan, ketakutan pemerintah, dan kepengecutan."


Khashoggi berasal dari keluarga yang terpandang. Kakeknya adalah seorang Turki, Muhammed Halit Kasikci. Sehingga keluarga itu merupakan satu dari ribuan warga Saudi keturunan Turki. Nama Khashoggi sendiri dalam bahasa Turki berarti pembuat sendok dan dieja sebagai 'Kasikci'. Dalam satu setengah tahun terakhir, Khashoggi tinggal di Washington D.C sebagai kolumnis untuk Washington Post.

Ia pun kerap terbang ke Istanbul untuk mengikuti pertemuan dengan para ahli dan akademisi untuk mendiskusikan solusi terhadap ketidaknyamanan atas dunia Islam belakangan ini.

"Istanbul adalah pusat komunitas Islam yang penting. Kebanyakan pertemuan Islam dunia saat ini diadakan di Istanbul," lanjut politisi itu.

"Ia diundang ke pertemuan ini nyaris tiap bulan. Dalam pertemuan dengan peserta yang berbeda-beda, dia adalah salah satu yang pertama diingat untuk diundang.


Jamal Khashoggi kerap diajak menjadi pembicara dan diundang ke acara diskusi terkait dunia Islam (Middle East Monitor/Handout via REUTERS)

Terinspirasi 'Arab Spring'

Harapan Khashoggi tumbuh seiring dengan bertiupnya angin demokrasi dan kebebasan di era Arab Spring pada 2011. Ia menulis artikel dan memberikan pidato tentang era baru di Mesir, Libia, dan Yaman. Menurutnya dunia Islam bisa mengatasi segala persoalannya lewat demokrasi. Terobosan demokrasi dan pembangunan ekonomi di Turki membuatnya tertarik. Ia menyebut bahwa Truki bisa menjadi contoh bagi dunia muslim.

"Tentu ia sadar bahwa tidak ada model yang bisa ditransfer mentah-mentah begitu saja, tapi inspirasi dan pengaruh Turki akan menggema disana. Sebagai contoh, saat terjadi Arab Spring, ia yakin melihat analogi itu tengah berkembang."

Tapi harapan Khashoggi tersendat di negara-negara di mana pemerintah Saudi terlibat.

"Selama periode Arab Spring, ia mengambil sikap menentang negaranya sendiri. Ide-ide oposisi ini tidak mengubahnya menjadi seorang pria yang bisa dibungkam," kata Aktay.

Lebih lanjut Aktay, Khashoggi kecewa dengan sikap Saudi yang dianggap memberi kontribusi negatif untuk gerakan Arab Spring. Pemerintah Saudi lantas melihat wartawan ini sebagai oposisi.

"Tapi ini baru terjadi dalam satu setengah tahun terakhir. Sebelum itu, dia memiliki hubungan yang cukup baik [dengan otoritas Saudi]," paparnya.

Aktay pun menegaskan bahwa Khashoggi tidak hendak menggulingkan kekuasaan kerajaan Saudi saat ini.

"Ia tidak mencari alternatif. Maksudku, dia tidak mencari dinasti atau raja baru. Namun ia ingin negaranya untuk menjadi kerajaan yang lebih demokratis dan pengaturan yang lebih baik seperti Inggris," tandasnya.

Sebelumnya, rekan Khashoggi di Amerika Serikat, Ali Al-Ahmed, juga sempat mengemukakan hal serupa. Bahwa wartawan itu hanya menginginkan kerajaan Saudi agar menerima dan mengembangkan diskusi. Bukan menekan mereka dengan penangkapan dan pengejaran.

Meski demikian, Al-Ahmed, penentang Saudi yang menjalankan studi di Washington, DC, sendiri mengaku dirinya berpihak pada mereka yang menginginkan perombakan total kerajaan monarki itu menjadi negara demokratis.

Percaya pada Saudi


Kasus ini dianggap bisa menodai kepercayaan publik terhadap kantor konsulat (Yasin AKGUL / AFP)
Aktay juga menggarisbawahi bahwa Khashoggi memiliki kepercayaan besar terhadap negaranya dan Turki. Ia yakin bahwa Saudi tidak akan melakukan kekejaman terhadap warganya sendiri, apalagi di gedung konsulatnya sendiri.

"Dia terlalu yakin bahwa insiden semacam (pembunuhan) itu tidak akan terjadi di Turki. Dia tahu bahwa tidak akan ada penculikan semacam itu di Turki, yang memiliki negara hukum dan di mana kekuatan polisi dan kemampuan mereka benar-benar baik. Dan tentu saja, itu adalah konsulat. Dia sangat percaya seperti seorang manusia biasa. Kepercayaan diri ini merusak."

Aktay pun menambahkan bahwa insiden ini sangat mengerikan. Sebab, menurutnya hal ini bisa mengurangi kepercayaan seseorang terhadap konsulat. Apalagi setiap orang di luar negeri pada titik tertentu harus tetap berkunjung ke konsulat negara mereka.

"Jika konsulat ini berubah menjadi tempat di mana orang dengan mudah melakukan pembunuhan dan menutupinya, maka orang akan kehilangan kepercayaan mereka," tandasnya.

Aktay juga menyayangkan sikap Saudi yang dianggapnya telah mengeksekusi Khashoggi tanpa sebuah kejahatan. Sebab, yang dilakukannya hanyalah menentang kerajaan tanpa ada menggerakan pemberontakan.

Jamal juga keberatan dengan cara Saudi yang melakukan sejumlah penangkapan dalam campur tangannya soal Yaman. Meski awalnya ia mendukung campur tangan itu, namun penangkapan tersebut bagi Khashoggi malah akan memperburuk kekerasan hak azasi manusia di negara itu dan memperdalam konflik, bukan menyelesaikannya.





Credit  cnnindonesia.com