CB, Jakarta - Amerika Serikat mengontak anggota koalisi politik di Irak yang dipimpin oleh bekas musuhnya, ulama Syiah Moqtada al-Sadr, setelah memenangkan pemilu. Keterangan tersebut disampaikan oleh pembantu dekat Sadr seperti dikutip Middle East Monitor.
"Kemenangan Sadr sangat mengejutkan dan menempatkannya dalam posisi yang sangat kuat untuk membentuk pemerintahan baru," ucapnya.
Ulama Syiah Irak Moqtada al-Sadr berbicara dengan Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi di Baghdad, Irak 20 Mei 2018. Iraqi Prime Minister Media Office/Handout via REUTERS
Kemenangan luar biasa oleh aliansi Sairoon yang dipimpin oleh Sadr
dalam pemilihan parlemen pekan lalu membuat Washington canggung. Milisi
bersenjata Mehdi yang dipimpin Sadr pernah bertempur melawan pasukan
Amerika Serikat setelah Saddam Hussein jatuh pada 2003.
Meskipun keduanya pernah bermusuhan, Washington dan Sadr, seorang nasionalis, sepakat menentang pengaruh Iran di Irak dengan cara mempersenjatai, melatih dan mendanai milisi serta menjalin kedekatan dengan sejumlah politikus.
Dhiaa al-Asadi, pembantu dekat Sadr, mengatakan, beberapa pejabat Amerika Serikat telah menggunakan perantara berinisiatif menghubungi anggota aliansi Sairoon.
Muqtada Al-Sadr, kiri, berjabat tangan dengan pemimpin Syiah Ammar Al-Hakim di Bagdad. (AP Photo)
"Mereka menanyakan posisi apa yang diminta oleh Gerakan Sadris ketika mereka mendapatkan kekuasaan. Apakah mereka akan meminta menjadi Angkatan Darat Mahdi atau mempekerjakan mereka kembali? Apakah mereka akan menyerang pasukan Amerika di Irak,” katanya kepada Reuters.
Asadi menerangkan, Angkatan Bersenjata Mahdi telah dibubarkan pada 2008. "Mereka tidak akan kembali lagi. Kami hanya menggunakan anggota militer resmi, pasukan kepolisian dan pasukan keamanan," kata Asadi.
Sadr tidak bisa menjadi Perdana Menteri karena bukan salah satu kontestan dalam pemilu. Namun dalam beberapa kali pertemuan dengan para pemimpin koalisi, dia mengatakan akan mendukung salah satu dari mereka menjadi Perdana Menteri Irak.
Amerika Serikat diyakini masih menempatkan sekitar 7.000 pasukan di Irak, meskipun Pentagon mengakui hanya 5.200 pasukan yang ditempatkan di sana. Hampir semuanya bertugas melatih dan menjadi penasihat pasukan Irak.
"Kemenangan Sadr sangat mengejutkan dan menempatkannya dalam posisi yang sangat kuat untuk membentuk pemerintahan baru," ucapnya.
Ulama Syiah Irak Moqtada al-Sadr berbicara dengan Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi di Baghdad, Irak 20 Mei 2018. Iraqi Prime Minister Media Office/Handout via REUTERS
Meskipun keduanya pernah bermusuhan, Washington dan Sadr, seorang nasionalis, sepakat menentang pengaruh Iran di Irak dengan cara mempersenjatai, melatih dan mendanai milisi serta menjalin kedekatan dengan sejumlah politikus.
Dhiaa al-Asadi, pembantu dekat Sadr, mengatakan, beberapa pejabat Amerika Serikat telah menggunakan perantara berinisiatif menghubungi anggota aliansi Sairoon.
Muqtada Al-Sadr, kiri, berjabat tangan dengan pemimpin Syiah Ammar Al-Hakim di Bagdad. (AP Photo)
"Mereka menanyakan posisi apa yang diminta oleh Gerakan Sadris ketika mereka mendapatkan kekuasaan. Apakah mereka akan meminta menjadi Angkatan Darat Mahdi atau mempekerjakan mereka kembali? Apakah mereka akan menyerang pasukan Amerika di Irak,” katanya kepada Reuters.
Asadi menerangkan, Angkatan Bersenjata Mahdi telah dibubarkan pada 2008. "Mereka tidak akan kembali lagi. Kami hanya menggunakan anggota militer resmi, pasukan kepolisian dan pasukan keamanan," kata Asadi.
Sadr tidak bisa menjadi Perdana Menteri karena bukan salah satu kontestan dalam pemilu. Namun dalam beberapa kali pertemuan dengan para pemimpin koalisi, dia mengatakan akan mendukung salah satu dari mereka menjadi Perdana Menteri Irak.
Amerika Serikat diyakini masih menempatkan sekitar 7.000 pasukan di Irak, meskipun Pentagon mengakui hanya 5.200 pasukan yang ditempatkan di sana. Hampir semuanya bertugas melatih dan menjadi penasihat pasukan Irak.
Credit tempo.co