CB, JAKARTA -- Polemik tentang pembangunan
fasilitas gas alam cair atau LNG di Lapangan Abadi, Blok Masela, Maluku
terus bergulir hingga kini. Pemerintah masih belum memutuskan apakah
fasilitas LNG akan dibangun di laut (offshore) atau di darat (onshore). Perbedaan pendapat justru terjadi di dalam pemerintahan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengacu pada hasil studi yang sebutkan pembangunan di offshore lebih efisien dan irit. Sementara itu, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya justru kekeuh pembangunan harus dilakukan di onshore.
Kementerian ESDM mencatat, kontrak bagi hasil atau PSC antara pemerintah dengan INPEX Masela Ltd sejak 16 November 1998. Lantas, para 6 Desember 2010 Menteri ESDM saat itu telah menyepakati pengajuan Plan of Development (POD) 1 Blok Masela. Dalam POD pertama ini disebutkan pembangunan FLNG alias fasilitas LNG terapung (offshore) dengan kapasitas 2,5 MTPA. Namun, pada 10 September 2015, pihak SKK Migas mengajukan revisi POD 1 kepada Menteri ESDM dengan alasan adanya perubahan kapasitas FLNG menjadi 7,5 MTPA.
Polemik lantas makin panas ketika Kemenko Maritim menyatakan pembangunan di darat akan lebih irit. Akhirnya, masing-masing pihak memiliki hitungan dan argumen masing-masing mengenai pembangunan fasilitas LNG ini. Kemenko Maritim meyakini bahwa membangun pipa dari lapangan Abadi menuju darat lebih murah. Namun, SKK Migas beranggapan sebaliknya, membangun fasilitas di laut akan lebih murah.
Pada November sampai Desember 2015 dilakukan studi oleh konsultan independen, yakni Poten & Partners. Kemudian 23 Desember 2015 diberikan rekomendasi kepada SKK Migas dan targetnya, akhir tahun putusan POD diketok. Namun, karena argumen terus berlanjut, maka Presiden Joko Widodo turun tangan. Ia meminta semua pihak menunggu, karena pemerintah masih menimbang baik buruknya pembangunan fasilitas LNG di darat atau di laut.
Pada 29 Desember 2015, rapat kabinet terbatas menyimpulkan bahwa keputusan Masela yang terpenting adalah memberikan efek ganda kepada ekonomi nasional. Tak hanya di lingkup istana, SKK Migas juga memanggil akademisi Maluku dan Pemda Maluku untuk mencari solusi terbaik.
Pemerintah mencatat, Inpex Masela Ltd telah mengeluarkan 1,2 miliar dolar AS sejak PSC diteken sampai saat ini untuk survei seismik, pengeboran 10 sumur eksplorasi, dan studi kajian.
Berdasarkan kajian Kemenko Maritim dan Sumber Daya, biaya pembangunan kilang darat (onshore) sekitar 16 miliar dolar AS. Sedangkan jika dibangun kilang apung di laut (offshore), biayanya mencapai 22 miliar dolar AS. Dengan demikian, kilang di darat 6 miliar dolar AS lebih murah dibandingkan dengan kilang di laut. Sebelumnya, Menteri Menko Maritim dan Sumber Daya mengklaim pemerintah akan mengembangkan Blok Masela di darat.
Kemenko Maritim menyatakan, dalam kaitan ini, Pemerintah Indonesia memang bersikap hati-hati. Pemerintah juga belajar dari pengalaman pembangunan kilang offshore di Prelude, Australia, yang mengalami keterlambatan dan pembengkakan biaya cukup besar. Prelude telah menghabiskan biaya 12,6 miliar dolar AS. Padahal kapasitasnya hanya 3,6 juta ton per tahun, 48 persen dari Kapasitas Masela (7,5 juta ton per tahun).
Tak hanya itu, Kemenko Maritim juga menyebut, seandainya pembangunan kilang dilaksanakan di laut, maka Indonesia hanya akan menerima pemasukan 2,52 miliar dolar AS per tahun dari penjualan LNG. Angka itu pun diperoleh dengan asumsi harga minyak 60 dolar AS per barel. Sebaliknya dengan membangun kilang di darat, gas LNG itu sebagian bisa dimanfaatkan untuk industri pupuk dan petrokimia. Dengan cara ini, negara bisa memperoleh revenue mencapai 6,5 miliar dolar AS per tahun.
Hitungan berbeda diberikan oleh Kementerian ESDM. Bersama dengan SKK Migas, ESDM menyatakan bahwa kilang laut hanya butuh 14,8 miliar dolar AS. Sedangkan kilang darat, dananya lebih mahal yakni 19,3 miliar dolar AS untuk pembangunan di Tanimbar dan 22,3 miliar dolar AS untuk pembangunan di Aru.
Tak hanya itu, ESDM juga berargumen bahwa pembangunan kilang laut lebih kecil risiko konfliknya dibanding pembangunan kilang di darat. Selain itu, pengembangan daerah akan lebih luas jangkauannya apabila fasilitas LNG dibangun di atas laut dibanding di darat.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengacu pada hasil studi yang sebutkan pembangunan di offshore lebih efisien dan irit. Sementara itu, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya justru kekeuh pembangunan harus dilakukan di onshore.
Kementerian ESDM mencatat, kontrak bagi hasil atau PSC antara pemerintah dengan INPEX Masela Ltd sejak 16 November 1998. Lantas, para 6 Desember 2010 Menteri ESDM saat itu telah menyepakati pengajuan Plan of Development (POD) 1 Blok Masela. Dalam POD pertama ini disebutkan pembangunan FLNG alias fasilitas LNG terapung (offshore) dengan kapasitas 2,5 MTPA. Namun, pada 10 September 2015, pihak SKK Migas mengajukan revisi POD 1 kepada Menteri ESDM dengan alasan adanya perubahan kapasitas FLNG menjadi 7,5 MTPA.
Polemik lantas makin panas ketika Kemenko Maritim menyatakan pembangunan di darat akan lebih irit. Akhirnya, masing-masing pihak memiliki hitungan dan argumen masing-masing mengenai pembangunan fasilitas LNG ini. Kemenko Maritim meyakini bahwa membangun pipa dari lapangan Abadi menuju darat lebih murah. Namun, SKK Migas beranggapan sebaliknya, membangun fasilitas di laut akan lebih murah.
Pada November sampai Desember 2015 dilakukan studi oleh konsultan independen, yakni Poten & Partners. Kemudian 23 Desember 2015 diberikan rekomendasi kepada SKK Migas dan targetnya, akhir tahun putusan POD diketok. Namun, karena argumen terus berlanjut, maka Presiden Joko Widodo turun tangan. Ia meminta semua pihak menunggu, karena pemerintah masih menimbang baik buruknya pembangunan fasilitas LNG di darat atau di laut.
Pada 29 Desember 2015, rapat kabinet terbatas menyimpulkan bahwa keputusan Masela yang terpenting adalah memberikan efek ganda kepada ekonomi nasional. Tak hanya di lingkup istana, SKK Migas juga memanggil akademisi Maluku dan Pemda Maluku untuk mencari solusi terbaik.
Pemerintah mencatat, Inpex Masela Ltd telah mengeluarkan 1,2 miliar dolar AS sejak PSC diteken sampai saat ini untuk survei seismik, pengeboran 10 sumur eksplorasi, dan studi kajian.
Berdasarkan kajian Kemenko Maritim dan Sumber Daya, biaya pembangunan kilang darat (onshore) sekitar 16 miliar dolar AS. Sedangkan jika dibangun kilang apung di laut (offshore), biayanya mencapai 22 miliar dolar AS. Dengan demikian, kilang di darat 6 miliar dolar AS lebih murah dibandingkan dengan kilang di laut. Sebelumnya, Menteri Menko Maritim dan Sumber Daya mengklaim pemerintah akan mengembangkan Blok Masela di darat.
Kemenko Maritim menyatakan, dalam kaitan ini, Pemerintah Indonesia memang bersikap hati-hati. Pemerintah juga belajar dari pengalaman pembangunan kilang offshore di Prelude, Australia, yang mengalami keterlambatan dan pembengkakan biaya cukup besar. Prelude telah menghabiskan biaya 12,6 miliar dolar AS. Padahal kapasitasnya hanya 3,6 juta ton per tahun, 48 persen dari Kapasitas Masela (7,5 juta ton per tahun).
Tak hanya itu, Kemenko Maritim juga menyebut, seandainya pembangunan kilang dilaksanakan di laut, maka Indonesia hanya akan menerima pemasukan 2,52 miliar dolar AS per tahun dari penjualan LNG. Angka itu pun diperoleh dengan asumsi harga minyak 60 dolar AS per barel. Sebaliknya dengan membangun kilang di darat, gas LNG itu sebagian bisa dimanfaatkan untuk industri pupuk dan petrokimia. Dengan cara ini, negara bisa memperoleh revenue mencapai 6,5 miliar dolar AS per tahun.
Hitungan berbeda diberikan oleh Kementerian ESDM. Bersama dengan SKK Migas, ESDM menyatakan bahwa kilang laut hanya butuh 14,8 miliar dolar AS. Sedangkan kilang darat, dananya lebih mahal yakni 19,3 miliar dolar AS untuk pembangunan di Tanimbar dan 22,3 miliar dolar AS untuk pembangunan di Aru.
Tak hanya itu, ESDM juga berargumen bahwa pembangunan kilang laut lebih kecil risiko konfliknya dibanding pembangunan kilang di darat. Selain itu, pengembangan daerah akan lebih luas jangkauannya apabila fasilitas LNG dibangun di atas laut dibanding di darat.
Credit REPUBLIKA.CO.ID