OKI selama ini dianggap tak mampu membantu mewujudkan kemerdekaan Palestina. (Paula Bronstein /Getty Images)
KTT Luar Biasa OKI di Jakarta kali ini dilatarbelakangi oleh adanya keinginan Palestina agar persoalan di negara tersebut dibahas khusus dalam sebuah pertemuan luar biasa OKI. Usulan tersebut mendapatkan respon oleh negara-negara anggota OKI, dan Palestina secara khusus meminta Indonesia agar menjadi tuan rumah pertemuan tersebut.
Menilik ke belakang, OKI dibentuk pada 1969, setelah para pemimpin negara Islam mengadakan konferensi di Rabat, Maroko. Pembentukan OKI ditujukan untuk meningkatkan solidaritas Islam di antara negara anggota, mengoordinasikan kerja sama, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat suci Islam dan membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.
Ini membuat OKI di masa awal menaruh perhatian besar pada masalah politik, terutama masalah Palestina. Namun dalam perjalanannya, organisasi ini menjadi wadah kerja sama di berbagai bidang baik politik, ekonomi, sosial, buday a, dan ilmu pengetahuan antarnegara Muslim di seluruh dunia.
Sebanyak 57 negara tergabung di dalam OKI, baik yang merupakan negara Islam maupun negara dengan populasi Muslim besar, seperti Indonesia.
Bela Palestina hanya tataran wacana
Dari negara yang tergabung didalamnya, OKI merepresentasikan 1,4 miliar orang, berdasar pada data 2008. Namun jumlah yang besar ini belum mampu membuat OKI berbuat untuk mewujudkan cita-cita awal pembentukannya, yakni untuk memerdekakan Palestina.
“KTT OKI sangat kuat membela kemerdekaan dan kedaulatan Palestina, tetapi hanya pada tataran wacana,” ujar pengamat Timur Tengah, Zuhairi Misrawi dari Middle East Institute, ketika dihubungi CNN Indonesia pada Kamis (3/3).
Zuhairi menyatakan bahwa hasil konferensi tak akan bisa memuluskan kemerdekaan Palestina karena “yang menentukan kemerdekaan Palestina adalah Amerika Serikat.”
“Oleh karena itu, KTT OKI yang akan datang, solusinya adalah melakukan lobi secara serius kepada AS untuk menyetujui kemerdekaan Palestina,” lanjutnya.
Selama ini, kekuatan OKI belum mampu meyakinkan AS dan negara sekutunya untuk menyetujui kemerdekaan Palestina. Padahal, AS memegang veto di Dewan Keamanan PBB, dan sejauh ini kerap membela kepentingan Israel.
“Kalau [lobi] tidak dilakukan, maka kemerdekaan Palestina hanya akan menjadi isu politis yang tidak akan menjadi kemerdekaan,” ujar Zuhairi.
Pendapat senada juga diutarakan oleh Fahmi Salsabila, pengamat Timur Tengah dari lembaga Indonesian Society for Middle East Studies (IMES), yang menilai KTT Luar Biasa OKI di Jakarta hanya merupakan pernyataan sikap negara-negara Muslim.
Fahmi menyatakan penyelenggaraan KTT OKI di Jakarta juga sejalan dengan upaya Presiden Jokowi untuk membawa masalah kedaulatan Palestina ke sejumlah konferensi internasional, seperti KTT AS-ASEAN bulan lalu dan Konferensi Asia-Afrika tahun lalu.
Fahmi juga menyinggung bahwa dua dokumen yang akan dihasilkan oleh KTT OKI di Jakarta, yakni resolusi dan deklarasi, tidak mengikat secara hukum. Sehingga, jika resolusi dan deklarasi tidak dilaksanakan maka tidak ada sanksi hukum apapun.
Fahmi menyatakan bahwa kunci untuk memuluskan jalan kemerdekaan di Palestina berada di PBB. "Kuncinya ada di PBB. Sayangnya, PBB hingga kini masih ompong. Rohnya masih roh perang dunia, sehingga [mengadopsi] hak veto di situ," ujar Fahmi.
Dengan hak veto, lanjut Fahmi, Amerika Serikat dan sejumlah negara besar lainnya pemegang hak veto dapat mementahkan berbagai kepentingan Palestina dan memihak Israel.
Meski demikian, Fahmi menilai KTT OKI kali ini akan menunjukkan bahwa meski dihalangi kekuatan yang sangat susah dilawan, negara-negara Islam tidak tinggal diam. Harapannya, ini dapat membuat kemajuan di PBB.
Dua kaki
Fahmi juga menyinggung bahwa Indonesia dapat memainkan peran yang signifikan dalam upaya mendukung kedaulatan Palestina. Indonesia, lanjutnya, memiliki reputasi baik sebagai salah satu negara moderat dengan penduduk Muslim terbesar dunia.
Fahmi menilai bahwa jika Indonesia ingin mendukung solusi dua negara, yakni Palestina dan Israel, Indonesia seharusnya melakukan langkah diplomatis dua kaki. Fahmi menjabarkan bahwa Indonesia seharusnya tidak hanya membuka konsul kehormatan di Ramallah, tetapi juga membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
"Walaupun Indonesia ingin membuka konsul kehormatan di Ramallah, pendekatan dua kaki akan lebih mudah, dengan cara membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Karena ini masalah dua arah, bukan satu arah. Dan selama ini Israel menganggap Indonesia bukan kawan," tuturnya.
Meski demikian, Fahmi mengakui bahwa pendekatan semacam itu akan menimbulkan polemik di dalam negeri. Sehingga menurutnya terdapat sejumlah alternatif lain untuk memberikan pendekatan ke Israel.
"Mungkin melalui mediasi, atau menjalin kontak yang intens," ujarnya.
Credit CNN Indonesia