Selasa, 06 Januari 2015

AS-Rusia Terancam Kembali ke Era Persaingan Nuklir


AS-Rusia Terancam Kembali ke Era Persaingan Nuklir  
 Pesawat tanpa awak X-47B di atas kapal induk bertenaga nuklir USS George H.W. Bush (14/5). Test terbang dilakukan di pantai Virginia. AP/US Navy, Specialist 2nd Class Timothy Walter

CB, London - Lebarnya celah antara Washington dan Moskow soal teknologi rudal jelajah dan semakin beraninya patroli kapal selam Rusia yang berkemampuan nuklir mengancam akan mengakhiri era pengawasan senjata mematikan. Hal penting lainnya, ini akan membawa kembali kedua negara adikuasa itu pada persaingan berbahaya antara dua negara besar pemilik nuklir dunia.

Ketegangan keduanya mencapai tingkat yang baru setelah Amerika Amerika Serikat mengancam akan melakukan hal serupa karena melihat Rusia mengembangkan rudal jelajah baru. Washington menuduh Moskow melanggar salah satu perjanjian pengawasan senjata utama di era perang dingin yang ditandatangani keduanya dan ini akan meningkatkan kemungkinan Amerika Serikat untuk menempatkan rudal jelajahnya di Eropa setelah tak ada di sana selama sekitar 23 tahun.

Salah satu yang dianggap sebagai tanda paling terlihat dari kegelisahan AS itu adalah saat militer negara itu meluncurkan yang pertama dari dua percobaan "balon udara" di atas Washington. Sistem, yang dikenal sebagai JLENS, dirancang untuk mendeteksi rudal jelajah yang masuk ke negara itu.

Komando Pertahanan Udara Amerika Utara (The North American Aerospace Command - Norad) tidak menyebutkan sifat ancaman yang akan mereka hadapi. Namun percobaan ini dilakukan sembilan bulan setelah Komandan Norad, Jenderal Charles Jacoby, mengatakan bahwa Departemen Pertahanan AS menghadapi "beberapa tantangan yang signifikan" menghadapi rudal jelajah, yang itu mengacu kepada ancaman serangan dari kapal selam Rusia.

Kapal selam Rusia itu menyelinap, melintasi Atlantik, secara rutin dan membawa rudal jelajah berkemampuan nuklir. Di tengah retorika agresif dari Pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin terhadap negara Barat dan berakhirnya pembatasan pengembangan senjata berdasarkan perjanjian antara dua negara adikuasa itu, ada ketidakpastian apakah rudal-rudal Rusia itu sekarang membawa hulu ledak nuklir atau tidak.

Naiknya ketegangan AS dan Rusia ini terjadi saat upaya pengawasan senjata yang dihasilkan pasca-perang dingin kehilangan momentum. Jumlah hulu ledak nuklir strategis yang digunakan oleh AS dan Rusia juga benar-benar meningkat tahun lalu, dan kedua negara menghabiskan miliaran dolar per tahun untuk memodernisasi persenjataan mereka.

Dengan latar belakang perang di Ukraina dan ekonomi dalam negerinya yang mulai goyah, Vladimir Putin menempatkan peningkatan kemampuan senjata nuklirnya sebagai penjamin dan simbol dari pengaruh Rusia terhadap dunia. Dalam pidato, terutama tentang konflik di Ukraina pada musim panas lalu, Putin secara tegas menyebut senjata nuklir negaranya dan menyatakan negara-negara lain "harus memahami lebih baik dan tidak main-main dengan kami".

Pravda, yang sebelumnya kerap menjadi juru bicara pemerintah Uni Soviet, menerbitkan sebuah artikel November 2014 lalu berjudul "Rusia mempersiapkan kejutan nuklir untuk NATO." Artikel itu membanggakan keunggulan Rusia atas Barat, khususnya dalam soal senjata nuklir taktis. "Orang Amerika sangat menyadari hal ini," kata komentar dalam artikel itu. "Mereka yakin sebelumnya bahwa Rusia tidak akan pernah bangkit lagi. Sekarang sudah terlambat (bagi mereka menyadarinya)."

Menurut Julian Borger dalam The Guardian edisi 4 Januari 2015, beberapa retorika dari artikel itu tampaknya hanya sekadar menggertak. Versi baru dari doktrin militer Rusia, yang diterbitkan 25 Desember 2014, mengindikasikan bahwa kebijakan senjata nuklir negara itu tidak berubah dari empat tahun sebelumnya. Senjata mematikan itu akan digunakan hanya jika terjadi serangan menggunakan senjata pemusnah massal atau senjata serangan konvensional yang "dimasukkan ke dalam kategori membahayakan keberadaan negara".

Namun, nada agresif baru pemerintah Rusia bertepatan dengan peningkatan secara luas kemampuan senjata nuklirnya. Ini sepertinya mencerminkan tekad baru Moskow untuk mengimbangi kemampuan persenjataannya dengan AS. Ini akan melibatkan peningkatan substansial dalam jumlah hulu ledak yang dimuat pada kapal selam, sebagai hasil dari pengembangan Bulava, rudal balistik multi-hulu ledak yang bisa diluncurkan dari laut.

Modernisasi ini juga melibatkan sistem pengiriman baru, atau dihidupkan kembali sistem yang sudah ada. Bulan lalu Rusia mengumumkan akan memperkenalkan kembali kereta rudal nuklir, yang memungkinkan rudal balistik antarbenua negaranya dipindahkan di dalam negara itu dengan kereta api sehingga mereka akan lebih sulit untuk jadi target serangan.



Hal lain yang juga memicu kecemasan negara Barat adalah penjualan Rusia ke luar negeri atas rudal jelajah yang disebut Club-K. Rudal ini dapat disembunyikan, lengkap dengan peluncurnya, dalam sebuah kontainer pengiriman yang hanya tampak saat akan ditembakkan.

Namun, perkembangan yang paling mengkhawatirkan Washington adalah pengujian Rusia terhadap rudal jelajah jarak menengah yang oleh pemerintahan Obama dianggap sebagai pelanggaran nyata dari Kesepakatan Kekuatan Nuklir Jarak Menengah (INF) tahun 1987, perjanjian yang mengakhiri perselisihan berbahaya antara AS dan Rusia soal penempatan rudal jelajah di Eropa.

Dengan kontur yang seperti memeluk bumi, rudal jelajah Rusia itu dapat menghindari radar pertahanan dan mencapai target strategis dengan sedikit atau tanpa pemberitahuan.

Dalam sidang kongres pada 10 Desember 2014, Partai Republik mengkritik dua negosiator pengawasan senjata terkemuka pemerintahan Barack Obama, yaitu Gottemoeller dari Departemen Luar Negeri dan Brian McKeon dari Departemen Pertahanan. Keduanya dianggap tidak menanggapi secara dini dugaan pelanggaran kesepakatan pengawasan senjata itu oleh Rusia.

Gottemoeller mengatakan ia sudah menyampaikan kekhawatiran AS atas rudal baru Rusia itu "lusinan kali" kepada rekan-rekannya di Moskow dan Obama telah menulis surat kepada Vladimir Putin tentang masalah tersebut. Dia mengatakan bahwa rudal jelajah baru Rusia tampaknya siap untuk disebarkan.

Gottemoeller tidak menyebut jenis rudal jelajah itu, tetapi kemungkinan yang dimaksudnya adalah rudal Iskander-K, yang memiliki jangkauan 500-5,500 km --yang sebenarnya dilarang oleh perjanjian antara AS dan Rusia. Rusia sendiri membantah keberadaan rudal itu dan justru menuding Amerika yang justru melangar --tuduhan yang juga dibantah Washington.

McKeon mengatakan, Pentagon sedang mempertimbangkan berbagai tanggapan militer soal rudal Rusia, termasuk dengan penempatan senjata serupa milik Amerika. "Kami tidak memiliki rudal jelajah yang diluncurkan dari darat di Eropa sekarang, karena dilarang oleh perjanjian itu. Tapi itu jelas akan menjadi salah satu pilihan yang akan dieksplorasi."

Menempatkan kembali rudal jelajah AS di Eropa memang akan memicu perdebatan tersendiri, namun politisi Republik di Kongres mendorong agar AS menanggapi serius ancaman rudal Rusia.

Militer AS juga dinilai was-was oleh kebangkitan armada kapal selam Rusia. Moskow embangun generasi baru kapal selam rudal balistik raksasa, yang dikenal sebagai "boomer". Kapal selam jenis penyerang ini memiliki kemampuan sama, sama atau lebih unggul, dari rekan-rekan mereka di AS dalam soal kinerja dan kemampuan silumannya.

Ada laporan sporadis di media AS tentang kapal selam Rusia yang mencapai pantai timur Amerika, yang itu dibantah oleh militer AS. Tapi tahun lalu Jacoby, Kepala Norad dan Komandan Utara AS saat itu, mengakui kepeduliannya untuk menanggapi investasi baru Rusia dalam teknologi rudal jelajah dan kapal selam canggih. "Mereka baru saja mulai memproduksi kelas baru kapal selam nuklir siluman yang dirancang untuk mengangkut rudal jelajah," kata Jacoby kepada Kongres AS.

Peter Roberts, pensiun AL Kerajaan Inggris tahun lalu mengatakan penyusupan kapal selam Rusia kelas penyerang, Akula, berlangsung rutin, setidaknya sekali atau dua kali setahun. Roberts, yang kini peneliti senior untuk studi maritim di Royal United Services Institute, mengatakan penampakan periskop di lepas pantai barat Skotlandia, yang memicu perburuan oleh kapal selam NATO bulan lalu, adalah tanda terbaru dari adanya kapal selam Rusia itu.

Kapal selam Akula kini digantikan oleh kapal selam yang lebih tak terlihat, yaitu Yasen. Keduanya serbaguna: pemburu-penghancur yang dirancang untuk melacak dan menghancurkan kapal selam musuh dan kelompok kapal tempur. Keduanya juga dipersenjatai dengan rudal jelajah penyerang daratan, yang jenis terbarunya adalah Granat, yang mampu membawa hulu ledak nuklir.

AS dan Rusia menghapus rudal jelajah dari kapal selam mereka setelah adanya Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis (Start) 1991, tapi itu berakhir pada akhir tahun 2009. Penerusnya, New Start, yang ditandatangani oleh Obama dan Presiden Rusia mitry Medvedev tahun 2010 tidak mencakup pembatasan tersebut, juga bahkan tidak memungkinkan untuk melanjutkan pertukaran informasi tentang nomor rudal jelajah.

Pavel Podvig, seorang peneliti senior di Institut PBB untuk Penelitian Perlucutan Senjata dan analis independen terkemuka kekuatan nuklir Rusia, mengatakan: "Intinya adalah bahwa kita tidak tahu. Tapi cukup aman untuk mengatakan bahwa sangat mungkin bahwa kapal selam Rusia membawa SLCMs nuklir (kapal selam berpeluncur rudal jelajah).

Jeffrey Lewis, seorang ahli pengendalian senjata di Monterey Institute of International Studies dan pendiri penerbit ArmsControlWonk.com, percaya balon udara JLENS terutama sebagai respon terhadap langkah Rusia untuk mulai mempersenjatai kembali kapal selam penyerangnya dengan senjata nuklir.

"Untuk waktu yang lama, Rusia telah mengatakan mereka akan melakukan ini dan sekarang sepertinya mereka milikinya," kata Lewis. Dia menambahkan, fakta bahwa pertukaran data pada rudal jelajah dibiarkan berakhir di bawah perjanjian New Start tahun 2010 sebagai kegagalan utama dua negara yang meningkatkan ketidakpastian.

Dengan kedua Amerika Serikat dan Rusia memodernisasi persenjataan mereka dan Rusia berinvestasi pada penangkal nuklirnya, Hans Kristensen, direktur Proyek Informasi Nuklir di Federasi Ilmuwan Amerika, mengatakan, kita sedang menghadapi periode "mendalamnya kompetisi militer". Dia menambahkan: "Ini akan membawa sedikit keamanan tambahan, tapi lebih banyak orang-orang yang gugup di kedua sisi."



Credit TEMPO.CO