CB - Analis dari Institut Pembangunan, Higher School of Economics, sebuah badan yang cukup berpengaruh, memiliki data yang berbeda setelah membandingkan dua perkiraan sederhana terkini dari Bank Sentral Rusia. Salah satu versi itu menunjukkan bahwa sanksi Barat akan dihapus pada kuartal ketiga 2015. Sementara versi lain memprediksi sanksi akan tetap diberlakukan hingga 2017. Perbedaan perkiraan pelarian modal antara dua versi ini berjumlah sekitar 170 miliar dolar AS dalam periode tiga tahun, atau 57 miliar dolar AS per tahun.
Kerugian Finansial


“Sulit untuk menghitung kerugian ekonomi yang disebabkan oleh sanksi. Tetapi orang dapat berasumsi bahwa kerugian itu akan sama dengan selisih antara pelarian modal pada 2014 dan 2013. Dalam kasus tersebut, angka 40 miliar dolar AS merupakan hasil yang sangat optimis, mengingat pelarian modal dari Rusia tahun ini diprediksi akan melebihi 120 miliar dolar,” kata Kepala Departemen Pasar Saham dan Rekayasa Keuangan di Russian Presidential Academy of National Economy and Public Administration Konstantin Korishchenko. Namun demikian, menurut Korishchneko, membedakan efek sanksi dan efek pemberlakuan nilai mengambang untuk rubel akan sulit dilakukan. 
Para pengamat melihat penurunan harga minyak sebagai kerugian tidak langsung yang dialami Rusia. Sebagai contoh, anggaran Rusia telah dirancang berdasarkan perkiraan harga sekitar seratus dolar AS per barel Brent. Namun, karena harga minyak turun ke bawah 80 dolar AS per barel, Kementerian Keuangan telah mengajukan pemotongan pengeluaran anggaran. “Ketika merencanakan anggaran untuk siklus anggaran masa depan, kita harus berangkat dari perkiraan nilai minyak. Harga itu kemungkinan sekitar 80 dolar AS per barel,” kata Anton Siluanov. Kementerian Keuangan memprediksi bahwa tahun depan, jika nilai tukar rubel dan harga minyak masih dalam kondisi sama seperti saat ini, pendapatan anggaran akan turun sebesar hingga 500 miliar rubel (10,7 miliar dolar AS).
Efek Keseluruhan
“Kerugian yang disebabkan oleh sanksi mengandung banyak elemen, tetapi akibat utamanya adalah penurunan minat investor terhadap Rusia dan peningkatan risiko terkait investasi untuk proyek-proyek Rusia,” papar analis utama UFS IC Alexei Kozlov. Dalam situasi ini, tambah Kozlov, Rusia harus mengambil tindakan aktif untuk menstabilkan rubel, menjaga agar inflasi tetap berada dalam batas wajar, dan menjalankan program substitusi impor.

“Kebutuhan untuk mendanai ulang utang-utang beberapa perusahaan negara yang terdampak sanksi dan menggantikan dana investor asing yang sekarang tidak dapat ditarik untuk proyek-proyek tertentu mengakibatkan berkurangnya dana investasi pemerintah,” kata analis Investcafe Timur Nigmatullin. Perusahaan minyak dan gas besar Rosneft dan Novatek sudah meminta untuk diberi alokasi dana dari simpanan utama pendapatan minyak dan gas Rusia, Dana Kekayaan Nasional.
Dengan semua hal ini, pendapatan perusahaan Rusia pun terjun bebas. Menurut Badan Statistik Federal Rusia Rosstat, pada September 2014, pendapatan perusahaan sebelum pajak yang mencakup hampir separuh dari total investasi modal di Rusia, turun sebesar 83 persen. Sebagai akibatnya, pada kuartal ketiga, keuntungan tahunan berkurang sebesar 44 persen, setelah pertumbuhan 50 persen pada kuartal kedua 2014 dan penurunan 18 persen pada kuartal pertama.
Kementerian Ekonomi menjelaskan bahwa pada kuartal kedua 2014 pendapatan rubel eksportir, bersama depresiasi mata uang nasional pada kuartal pertama, ditopang oleh harga komoditas yang relatif tinggi. Maka mulai Juli, hal-hal tersebut (terutama harga minyak) telah turun. Dengan demikian, perusahaan tidak siap untuk berinvestasi untuk mengembangkan produksi.


Menurut sebuah survei pengusaha yang dilakukan oleh Rosstat pada November lalu, ‘ketidakpastian ekonomi’ untuk pertama kalinya dicantumkan dalam tiga faktor utama yang menghambat pertumbuhan investasi, dan disebutkan oleh hampir 40 persen perusahaan yang disurvei. Sebanyak 40 persen lain menyebutkan ‘pajak terlalu tinggi’ sementara 54 persen menganggap ‘permintaan domestik tidak cukup’ sebagai faktor yang menghambat pertumbuhan investasi.


Credit RBTH Indonesia