Portal Berita Tentang Sains, Teknologi, Seni, Sosial, Budaya, Hankam dan Hal Menarik Lainnya
Senin, 21 November 2016
Solidaritas Umat Yahudi dan Kristen untuk Muslim AS
Jonathan Greenblatt (AP)
CB, New York - Ketua kelompok Yahudi Anti-Defamation League (ADL), sebuah grup anti-kebencian, bersumpah dirinya akan mendaftar menjadi seorang muslim jika Donald Trump mewujudkan rencananya, yaitu membuat database tentang muslim Americans.
Ide
Trump itu mencuat pada November 2015 ketika miliarder itu mengatakan
kepada media bahwa ia akan mengimplementasikan rencananya. "Tentu saja!"
kata Trump saat itu.
"Jika suatu hari muslim Amerika dipaksa
untuk mendaftarkan identitas mereka, itulah hari di mana Yahudi dengan
bangga mendaftarkan dirinya sebagai seorang muslim," kata Jonathan
Greenblatt, Ketua ADL, seperti dikutip dari BBC, Senin, (19/11/2016).
Komentarnya itu ia katakan di depan konferensi Never is Now yang berisi topik anti-Semit di New York.
"Kita
harus berdiri bersama membela warga Amerika yang tengah disorot seperti
apa muka mereka, dari mana mereka, siapa yang mencintai mereka dan
bagaimana mereka beribadah," ucapnya.
Ketua ADL yang dahulu pernah bekerja di Gedung Putih sebagai asisten khusus Presiden Barack Obama kepada BBC
berkata, "Intinya di sini, kami komunitas Yahudi tahu rasanya bagaimana
dicap, atau didaftarkan berdasarkan kepercayaan, ketika kalian
teridentifikasi dan diberi cap berdasarkan kepercayaan."
"Ketika
Anda menuding ke satu grup dan membuat mereka semua patut dicurigai.
Saya merasa kita punya kewajiban untuk berbicara," ujarnya.
Meski demikian, kebijakan Trump terkait pendaftaran ini masih simpang siur.
Dalam
pernyataannya yang dikeluarkan pada Kamis, 17 November lalu, tim
transisi Trup mengatakan, "Tidak pernah meminta untuk membuat sistem
registrasi atau semacamnya kepada individu berdasarkan kepercayaan dan
agama. Itu adalah isu yang salah."
Namun, sebelumnya salah satu
anggota tim transisi pemerintahan Presiden Amerika Serikat terpilih
Donald Trump, Kris Kobach, menyatakan pemerintahan baru negara tersebut
berencana mendaftarkan semua umat muslim di Negeri Paman Sam.
Hal
tersebut akan disertakan satu paket dengan pembangunan tembok di
perbatasan Meksiko dan Amerika Serikat. Menurut Kobach, kedua rencana
itu saat ini sedang dibahas serius oleh tim transisi pemerintahan.
Solidaritas Umat Yahudi dan Kristen untuk Muslim AS (Reuters)
"Tim imigrasi sudah menyusun apa yang akan didiskusikan bersama
presiden terpilih. Oleh sebab itu, Trump dan Kementerian Keamanan Negara
segera memanfaatkan kesempatan ini," sebut Kobach seperti dikutip dari Reuters, Kamis, 17 November.
Dia
mengatakan, langkah mendaftarkan seluruh warga muslim yang berada di AS
adalah bentuk penerapan kebijakan pemeriksaan ketat bagi seluruh
imigran. Kebijakan ini merupakan ide dari Donald Trump.
"Untuk
saat ini, kelompok penyusun kebijakan imigrasi kami sudah bisa
merekomendasikan kembali kebijakan registrasi imigran yang ingin masuk
dan sudah berada di AS secara nasional. Kebijakan ini diterapkan
terutama kepada imigran yang berasal dari negara-negara asal kelompok
ekstrem aktif," sebut dia. Kekerasan Atas Nama Agama di AS Meningkat
Janji Greenblatt untuk mendaftar sebagai muslim mengugah banyak orang di media sosial, yang mengangkat hastag #NeverIsNow.
Cornell W Brooks, presiden kelompok hak-hak sipil National
Association for the Advancement of Colored People (NAACP), adalah salah
seorang di antara mereka yang juga berjanji akan mendaftar sebagai
seorang muslim.
"Sebagai seorang Kristen yang bangga dan anggota
dari @NAACP, saya juga akan mendaftar sebagai muslim di belakang
@JGreenblattADL," tulisnya.
Never is now merujuk pada sumpah 'never again' yang dibuat oleh para Yahudi setelah Perang Dunia II, di mana mereka berjanji tidak akan diam saja menghadapi ketidakadilan.
Sementara
itu, menurut laporan FBI, kekerasan berdasarkan kebencian atas nama
agama meningkat hingga 23 persen antara tahun 2014 hingga 2015. Termasuk
di antaranya kekerasan terhadap kelompok anti-Yahudi.
The Southern Poverty Law Center,
sebuah kelompok nirlaba yang berbasis di Alabama, melaporkan terdapat
437 insiden terpisah yang berupa intimidasi yang terjadi antara pemilu
pada 8 November dan 14 November, dengan target etnis minoritas, muslim,
imigran, wanita, dan komunitas LGBT.
Jaksa Agung AS Loretta Lynch
mengatakan Departemen Kehakiman sedang menyelidiki apakah laporan baru
tentang pelecehan, misalnya di sekolah dan gereja, melanggar kejahatan
rasial federal dan undang-undang hak sipil lainnya.
"Banyak orang
Amerika prihatin dengan serentetan laporan berita terbaru tentang
dugaan kejahatan kebencian dan pelecehan," kata Lynch.
Dia
mendesak masyarakat untuk terus melaporkan insiden tersebut, "Sehingga
penyidik dan jaksa dapat mengambil tindakan untuk membela hak-hak Anda."