ICRC mengungkapkan bahwa dalam 72 jam
terakhir sekitar 20 ribu warga melarikan diri dari kota Aleppo, dan 16
ribu lainnya hidup terlantar. (Reuters/Abdalrhman Ismail)
Juru bicara ICRC yang berbasis di Jenewa, Swiss, Krista Armstrong, memaparkan kepada AFP bahwa jumlah tersebut merupakan jumlah perkiraan, karena situasi di kota terbesar kedua di Suriah itu kini masih belum kondusif, sehingga menyebabkan pendataan sulit dilakukan.
Namun, Armstrong menegaskan bahwa pertempuran telah menyebabkan "warga melarikan diri dari berbagai arah" dalam upaya yang putus asa untuk mencari tempat bernaung yang aman dan jauh dari perang.
Kepala bantuan kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Stephen O'Brien, sebelumnya menyebut bahwa jumlah warga terlantar di Aleppo timur diperkirakan mencapai 16 ribu orang.
O'Brien memaparkan bahwa di wilayah itu tidak ada lagi rumah sakit yang dapat beroperasi karena hancur akibat serangan udara yang diluncurkan pemerintah Suriah yang didukung Rusia. Stok makanan di wilayah itu juga hampir habis.
Warga Aleppo yang masih bertahan, lanjut O'Brien, diduga akan melarikan diri tanpa tujuan pasti jika pertempuran terus berkecamuk dalam beberapa hari mendatang.
"Situasinya sangat buruk. Terdapa kekhawatiran ada upaya pemusnahan kolektif," kata seorang dokter yang tinggal di wilayah itu dan mengaku bernama Abu al-Abbas, Reuters.
"Minggu ini saya sudah berpindah lokasi sebanyak tiga kali. Di tempat penampungan, kami terpaksa menyimpan jasad mereka yang telah tiada karena pengeboman begitu hebat kami tidak bisa berpergian," tuturnya pada Senin (28/11), ketika dihubungi Reuters melalui akun sosial media.
Kelompok pemerhati HAM, Syrian Observatory for Human Rights, melaporkan kawasan Aleppo timur dihujani bom dari jet tempur selama semalam suntuk, menewaskan sedikitnya 18 orang, termasuk 12 warga di distrik al-Shaar yang dekat dengan garis depan pertempuran.
Sementara, kantor berita Suriah, SANA, melaporkan pada Senin bahwa serentetan penembakan yang diluncurkan pemberontak menewaskan tujuh orang di distrik yang dikuasai pemerintah.
Tentara Suriah terus meluncurkan operasi militer secara masif di timur Aleppo dalam
upaya Presiden Bashar al-Assad merebut kembali kota itu dari pemberontak yang ingin melengserkannya. Operasi itu dibantu dukungan militer Rusia dan Iran serta milisi Libanon.
Kelompok pemberontak Suriah kini menghadapi salah satu kekalahan terparah dalam perang sipil yang telah berlangsung selama lima tahun, ketika tentara berhasil merebut sepertiga wilayah di timur Aleppo pada akhir pekan lalu.
Pejabat pro-pemerintah, yang menolak untuk diidentifikasi menyatakan bahwa Suriah dan para sekutunya berniat untuk memukul mundur kelompok pemberontak dari seluruh penjuru Aleppo dan menguasai kota itu sebelum presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, dilantik pada Januari mendatang.
Langkah ini merupakan antisipasi jika terjadi pergerseran kebijakan AS soal konflik Suriah ketika Trump menggantikan presiden petahana, Barack Obama.
Di bawah pemerintahan Obama, AS mendukung kelompok pemberontak, baik dari segi persenjataan maupun pelatihan, dalam upaya melengserkan Assad. AS menilai perdamaian di Suriah hanya dapat tercipta ketika Assad tidak berada di pemerintahan.
Namun, pemberontak menyatakan bahwa dukungan AS kini memudar terhadap mereka. AS dinilai mengabaikan pemberontak yang terus bertahan menghadapi gempuran tentara pemerintah dari wilayah tenggara.
Credit CNN Indonesia