NAYPYIDAW - Para aktivis hak asasi manusia (HAM) internasional mengkritik keras Aung San Suu Kyi, sosok peraib nobel perdamaian yang sebelumnya dianggap sebagai pejuang HAM saat ditindas junta militer. Suu Kyi dikiritik karena masih diam melihat penganiayaan militer terhadap komunitas Muslim Rohingya di Rakhine.
Aktivis HAM dari Human Rights Watch, David Scott Mathieson, mempertanykan kredibilitas Suu Kyi dalam mempromosikan HAM karena bungkam melihat penindasan di negaranya sendiri. Suu Kyi, pemimpin faksi politik yang berkuasa di Myanmar saat ini sejatinya punya kekuatan untuk berindak lebih dalam mencegah kekerasan terhadap komunitas Rohingya.
”Suu Kyi berisiko merobek-robek apa yang tersisa dari kredibilitasnya untuk mempromosikan HAM jika dia gagal untuk berbicara,” kritik Mathieson, seperti dikutip ABC, Jumat (25/11/2016).
”Dia telah membuat jelas bahwa dia adalah seorang politisi, bukan pembela HAM atau kemanusiaan, ketika situasi putus asa di Rakhine membutuhkan pemimpin politik untuk memprioritaskan isu-isu tersebut,” ujarnya.
Pejabat PBB, Yanghee Lee, menyesalkan sikap pemerintah Myanmar yang mengunci akses bantuan kemanusiaan dan media di Rakhine utara yang kini jadi zona operasi militer. ”Hal ini tidak dapat diterima bahwa selama enam minggu telah terjadi penguncian lengkap, tanpa akses (kemanusiaan) ke daerah yang terkena (operasi militer),” ujar Lee.
PBB memperkirakan hingga 30 ribu orang telah mengungsi, yang hampir semuanya berasal dari warga minoritas Muslim Rohingya. Lebih dari 70 ribu jiwa segera membutuhkan makanan.
Masih menurut PBB, dengan pemutusan akses bantuan kemanusiaan, diperkirakan 30-50 persen dari 3.000 anak-anak berisiko menderita gizi buruk akut.
Credit Sindonews
Pejabat PBB: Myanmar Ingin Bersihkan Etnis Rohingya
NAYPYIDAW - Myanmar tengah melakakun pembersihan etnis minorita Muslim Rohingya dari wilayahnya. Hal itu diungkapkan oleh seorang pejabat senior PBB."Angkatan bersenjata telah membunuh etnis Rohingya di negara bagian Rakhine, memaksa banyak dari mereka melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh," kata John McKissick dari badan pengungsi PBB seperti dikutip dari BBC, Jumat (25/11/2016).
McKissick mengatakan bahwa militer Myanmar dan polisi penjaga perbatasan telah terlibat dalam hukuman kolektif terhadap minoritas Rohingya. Aksi itu dilakukan setelah pembunuhan sembilan penjaga perbatasan pada 9 Oktober lalu dimana beberapa politisi menyalahkannya kepada kelompok militan Rohingya.
"Pasukan keamanan telah membunuh, menembak mereka, membunuh anak-anak, memperkosa wanita, membakar dan menjarah rumah-rumah mereka, memaksa orang-orang untuk menyeberangi sungai ke Bangladesh," ungkap McKissick.
"Sekarangan sangat sulit bagi pemeirntah Bangladesh untuk mengatakan perbatasan terbuka karena ini lebih lanjut akan mendorong pemerintah Myanmar untuk melanjutkan kekejaman dan mendorong mereka keluar sampai mereka telah mencapai tujuan akhir mereka yaitu pembersihan etnis minoritas Muslim di Myanmar," katanya.
Menanggapi pernyataan McKissick, juru bicara presiden Myanmar Zaw Htay mengatakan pejabat PBB tersebut harus menjaga profesionalisme dan etika sebagai seorang pejabat karena komentarnya hanya tuduhan belaka. "Dia seharusnya hanya berbicara berdasarkan bukti konkret dan kuat di lapangan," katanya.
Credit Sindonews
Bangladesh Pulangkan 150 Muslim Rohingya yang Lari dari Myanmar
DHAKA - Pihak berwenang Bangladesh mengaku telah mengirim 20 perahu yang berisi sekitar 150 warga Muslim Rohingya kembali ke Myanmar. Ratusan warga Rohingya itu melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan dalam operasi militer di Rakhine.Pemulangan ratusan Muslim Rohingya oleh otoritas Bangladesh dilakukan Selasa lalu. Bangladesh juga telah memanggil duta besar Myanmar untuk mennyampaikan “keprihatinan mendalam” terhadap operasi militer yang telah memaksa ribuan minoritas Muslim Rohingya melarikan diri desa-desa di perbatasan Myanmar dan Bangladesh.
Kementerian Luar Negeri Bangladesh menyatakan para warga Rohingya merupakan orang-orang yang putus asa, yang masuk ke negara tetangga demi mencari keselamatan dan tempat tinggal. Namun, Bangladesh juga kewalahan menampung banyaknya pengungsi Rohingya sehingga memulangkan sebagain dari mereka ke Myanmar.
Dalam sebuah pernyataan, kementerian itu meminta Myanmar—sebelumnya dikenal sebagai Burma—untuk menjamin integritas perbatasan dan untuk menghentikan masuknya orang dari negara bagian Rakhine ke wilayah Bangladesh.
”Meskipun upaya tulus penjaga perbatasan untuk mencegah masuknya ribuan warga Myanmar yang tertekan, termasuk perempuan, anak-anak dan orang tua, (mereka) terus menyeberangi perbatasan ke Bangladesh,” bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri Bangladesh, seperti dikutip dari BBC, Kamis (24/11/2016).
”Ribuan lebih (warga Rohingya) telah berkumpul di perbatasan,” lanjut kementerian itu. Komunitas Rohingya yang jumlahnya sekitar satu juta jiwa, dianggao kelompok mayoritas Buddha Rakhine sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Mereka tidak mendapatkan hak kewarganegaraan dari pemerintah Myanmar meskipun sudah tinggal di Rakhine selama beberapa generasi.
Myanmar telah meluncurkan operasi keamanan besar-besaran setelah tiga pos polisi perbatasan diserang orang-orang bersenjata tak dikenal yang menewaskan sembilan polisi Myanmar pada 9 Oktober 2016. Beberapa pejabat pemerintah menyalahkan kelompok militan Rohingya sebagai pelakunya.
Awal pekan ini, Human Rights Watch merilis gambar satelit yang menunjukkan bahwa ratusan rumah telah dibakar dan dihancurkan di desa-desa komunitas Rohingya selama enam minggu terakhir. Namun, militer dan pemerintah Myanmar menyangkal telah membakar rumah-rumah dan membunuh warga Rohingya. Myanmar menuduh kelompok HAM telah membesar-besarkan apa yang terjadi di Rakhine.
Credit Sindonews