Portal Berita Tentang Sains, Teknologi, Seni, Sosial, Budaya, Hankam dan Hal Menarik Lainnya
Jumat, 25 November 2016
Dunia Menanti Aksi Aung San Suu Kyi Selesaikan Krisis Rohingya
Aung
San Suu Kyi dinilai banyak pihak sudah terlalu lama berdiam diri
menyusul kekerasan demi kekerasan yang menimpa warga muslim Rohingya
(Reuters)
CB, Naypyidaw -
Negara bagian Rakhine di Myanmar kembali memanas. Pemicunya adalah
serangan kelompok bersenjata terhadap tiga pos perbatasan yang terjadi
pada 9 Oktober lalu. Sebanyak sembilan aparat kepolisian tewas sementara
delapan anggota kelompok bersenjata itu pun turut menjadi korban jiwa.
Meski tidak secara langsung menuding para pelaku adalah warga
Rohingya, namun otoritas setempat menjelaskan ciri-ciri yang mengarah
pada etnik tersebut. Mereka mengatakan para pelaku penyerangan berbicara
bahasa Bengali.
Peristiwa penyerangan ketiga pos perbatasan tersebut dianggap sebagai
kekerasan terparah sejak serangkaian bentrokan komunal yang terjadi
antara warga muslim Rohingya dengan penduduk Rakhine yang beragama
Buddha.
Operasi militer pun diberlakukan di sejumlah wilayah di Rakhine.
Tujuannya untuk "membersihkan" area itu dari kelompok bersenjata. Namun
yang belakangan muncul adalah tudingan kesewenang-wenangan pihak
militer, yakni berupa pemerkosaan dan pembunuhan warga sipil Rohingya.
Militer mengklaim telah menewaskan puluhan orang yang mereka sebut
berusaha melakukan penyerangan dengan berbekal berbagai senjata seperti
parang dan kayu. Sebagian besar pihak meragukan penjelasan tersebut.
Di lain sisi, organisasi pemantau hak asasi manusia (HAM), Human
Right Watch (HRW) menguak fakta berbeda. Melalui foto satelit mereka
mengungkap, terjadi pembakaran terhadap rumah-rumah warga Rohingya.
Total rumah yang diratakan dengan tanah mencapai 1.250 unit.
Wilayah utara Rakhine memang menjadi "rumah" bagi kurang lebih 1 juta
warga Rohingya. Kehadiran mereka bukan baru melainkan sudah sejak Abad
ke-16. Beberapa menyebut etnik ini berasal dari Bangladesh.
Sejarawan berpendapat migrasi Rohingya yang cukup besar terjadi
ketika Inggris menjajah Myanmar. Sementara sebagian lainnya datang
setelah kemerdekaan Myanmar pada tahun 1984 dan Perang Kemerdekaan
Bangladesh pada 1971.
Seorang perempuan berjalan di antara puing-puing kebakaran kamp pengungsi Rohingya di Rakhine pada 3 Mei 2016 (Reuters)
Tahun 2012 menjadi titik penting dalam konflik sektarian antara
muslim Rohingya dengan warga Rakhine yang mayoritas beragama Buddha.
Pemicu konflik berdarah tersebut tak diketahui secara pasti.
Namun surat kabar The New Light of Myanmar edisi 4 Juni 2012
memuat dalam laporannya bahwa pemicu bentrokan adalah pemerkosaan dan
pembunuhan seorang perempuan Rakhine asal Desa Kyauknimaw. Peristiwa ini
dilatarbelakangi motif perampokan karena salah seorang pelaku mengaku
butuh biaya untuk menikah.
Meski para pelaku telah ditahan pihak kepolisian, namun warga Desa
Kyauknimaw tak puas. Mereka mendatangi kantor polisi dan mendesak aparat
untuk menyerahkan ketiga pemuda tersebut.
Marah karena permintaan mereka tak dituruti, kerusuhan pun terjadi.
Polisi bahkan sampai harus melepas lima tembakan untuk membubarkan
massa.
Tak lama, beredar kabar tentang pembunuhan 10 warga muslim Rohingya
yang tengah dalam perjalanan menuju Yangon. Praktis, sejak saat itu
ketegangan meningkat.
Puluhan bahkan ratusan orang warga muslim Rohingya tewas akibat
konflik di sepanjang tahun 2012. Warga Rohingya yang tidak diakui
pemerintah serta merupakan kaum minoritas dilaporkan semakin menjadi
"bulan-bulanan" dalam berbagai tindak kekerasan.
Di tengah situasi yang memanas, Wakil Presiden RI yang menjabat
sebagai Ketua Palang Merah Indonesia pada 2012, Jusuf Kalla sempat
berkunjung ke Myanmar. Usai bertemu dengan Presiden Thein Sein, Jusuf
Kalla menjelaskan bahwa pemerintah Myanmar tidak melihat konflik di
Rakhine dipicu oleh persoalan etnik atau agama, melainkan kasus kriminal
biasa.
"Presiden Thein Sein menjelaskan tentang kejadian di Rohingya,
khususnya yang dimulai pada Juni tahun ini. Dimulai dengan kasus
kriminal di antara beberapa anak muda. Lalu, ada aksi saling balas, yang
dengan cepat menjadi besar," kata Jusuf Kalla.
Kehadiran Jusuf Kalla di Myanmar saat itu untuk memberikan bantuan
kemanusiaan selain tentunya membantu penyelesaian konflik mengingat ia
memiliki pengalaman dalam menangani konflik pemberontakan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM).
"Saya katakan, berdasarkan pengalaman kita, kehidupan masyarakat yang
terlibat konflik harus diharmoniskan, disatukan kembali. Penyaluran
bantuan, misalnya, harus menyentuh semua pihak yang bertikai," jelas
pria yang akrab disapa JK tersebut.
Tak hanya Indonesia, namun sejumlah pihak seperti PBB, Turki dan
sejumlah negara lainnya juga mengulurkan tangan terhadap puluhan ribu
warga Rakhine yang terpaksa mengungsi sebagai dampak dari aksi
kekerasan. Namun hingga detik ini, kekerasan belum mereda.
Konflik Agama?
Secara umum, publik mungkin melihat ini menyangkut dengan persoalan
agama. Namun analis, Siegfried O. Wolf memiliki pandangan berbeda.
Menurutnya, krisis di Rakhine bersifat politis dan ekonomis.
Wolf menjelaskan, konflik terjadi karena warga Rakhine merasakan
ketidakadilan di mana terjadi diskriminasi secara budaya, eksploitasi
secara ekonomi, dan tersingkir secara politik oleh pemerintah pusat yang
didominasi etnis Burma.
Penduduk Rakhine melihat warga Rohingya sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi identitas mereka sendiri.
"Warga Rakhine merasa dikhianati secara politis, karena warga
Rohingya tidak memberikan suara bagi partai politik mereka. Ini menambah
runcing persoalan. Sementara itu, pemerintah tidak mendorong
rekonsiliasi, melainkan mendukung fundamentalis Buddha dengan tujuan
menjaga kepentingannya di kawasan yang kaya sumber alam tersebut.
Faktor-faktor ini adalah penyebab utama di balik konflik antar kelompok
etnis dan antar agama. Ini juga jadi penyebab memburuknya kondisi hidup
warga Rohingya, serta pelanggaran hak-hak sosial-politis mereka," jelas
Wolf seperti dikutip dari kantor berita Jerman, Deutsche Welle.
Hubungan antar agama di Myanmar digambaran Wolf sangat kompleks.
Warga muslim Rohingya, dikonfrontasikan dengan rasa takut mendalam
terhadap Islam di sebuah masyarakat dan negara yang mayoritas rakyatnya
beragama Buddha.
Seorang
perempuan warga Rohingya dan anaknya menangis setelah tertangkap
pasukan perbatasan Bangladesh (BGB) setelah memasuki negara itu secara
ilegal di Cox's Bazar pada 21 November 2016 (Reuters)
Sementara warga yang fundamentalis mengklaim bahwa kebudayaan Buddha
serta masyarakat lokal terdesak oleh keberadaan muslim Rohingya.
Terlebih, Myanmar dikelilingi sejumlah negara yang mayoritas rakyatnya
beragama Islam, seperti Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia.
Warga Rohingya pun dianggap sebagai ancaman terhadap gaya hidup dan
kepercayaan Buddha. Yang lebih jauh lagi, etnik ini dipandang sebagai
pembuka jalan menuju islamisasi Myanmar. Selain politik, ada faktor
ekonomi pula yang turut memengaruhi konflik di Rakhine.
"Rakhine adalah salah satu negara bagian yang warganya paling miskin,
meski wilayah itu kaya sumber daya alam. Sehingga warga Rohingya
dianggap beban ekonomi tambahan, jika mereka bersaing untuk mendapat
pekerjaan dan kesempatan untuk berbisnis. Pekerjaan dan bisnis di negara
bagian itu sebagian besar dikuasai kelompok elite Burma," kata analis
itu.
Solusi yang banyak digaungkan oleh berbagai pihak adalah dilakukannya
rekonsiliasi nasional. Hal ini pernah disinggung oleh pemimpin de facto
Myanmar, Aung San Suu Kyi. Namun belum dilaksanakan. Sementara ada pula
yang menyoroti sangat penting bagi pemerintah Myanmar untuk mengakui
kewarganegaraan masyarakat Rohingya sehingga hak-hak politik dan ekonomi
mereka dijamin undang-undang.
Bungkamnya Sang Pejuang Demokrasi
Bertahun-tahun, nama Aung San Suu Kyi dielu-elukan sebagai pejuang
demokrasi. Ia memimpin gerakan oposisi, melawan tirani, demi tegaknya
hak asasi.
Namun suaranya nyaris tak pernah terdengar bicara secara lugas
tentang konflik yang merenggut hak asasi manusia warga muslim Rohingya.
Publik menilai sudah terlalu lama ia diam. Dan sikapnya ini memicu pertanyaan, layakkah ia diganjar Nobel Perdamaian?
Sebelumnya, di Markas PBB pada akhir September lalu, Suu Kyi
menjelaskan telah melakukan pendekatan terhadap masyarakat di Rakhine
melalui pendirian Komisi Penasihat.
Komisi ini didirikan mantan Sekjen PBB Kofi Annan dan ditujukan untuk
membantu penanganan masalah keamanan dan hak-hak dasar. Langkah ini
ditentang sejumlah pihak. Meski demikian pemerintah mengacuhkannya dan
memilih terus mempertahankan keberadaan komisi tersebut demi mewujudkan
perdamaian di Rakhine.
"Dengan sikap teguh kami melawan semua prasangka dan intoleransi.
Kami menegaskan kembali keyakinan kami untuk mempertahankan martabat dan
nilai manusia," ujar Suu Kyi.
Putri dari pejuang kemerdekaan, Aung San itu pun menyebutkan bahwa
pembangunan dan penciptaan lapangan kerja adalah prioritas pemerintah
pusat yang dipimpinnya.
"Wilayah Rakhine serta warga muslim di sana hidup berkekurangan, dan
kami ingin semua orang di sana dalam keadaan aman," kata ibu dari dua
putra itu.
"Apa yang telah kami coba lakukan ialah menemukan solusi demi
mengakhiri ketegangan komunal dan mencari cara mengakhiri semua
perselisihan yang ada," pungkasnya.
Sementara itu, dalam lawatannya ke Jepang pada awal November lalu,
Aung San Suu Kyi mengatakan, saat ini penyelidikan tengah berlangsung di
Negara Bagian Rakhine atas dugaan penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan militer berupa tindak pemerkosaan dan pembunuhan warga sipil
Rohingya.
"Kami telah sangat berhati-hati untuk tidak menyalahkan siapa pun
sampai kami memiliki bukti yang lengkap mengenai siapa bertanggung jawab
untuk apa," ujar Suu Kyi seperti dikutip dari Reuters.
Sebagian meyakini diamnya Suu Kyi tak lepas dari faktor ia takut
kehilangan dukungan mayoritas warga yang berujung pada terancamnya
kekuasaan politiknya.
Lindsay Murdoch dalam tulisan kolom di The Sydney Morning Herald
menyebutkan, dukungan mutlak mayoritas warga telah menempatkan Suu Kyi
pada titik arogan. Karenanya Suu Kyi menilai ia tak lagi harus bicara
soal Rohingya. Yang terpenting adalah dukungan kepada dirinya dan
partainya.
Dalam tulisannya di Global Research pada Senin, 21 November
2016, Tony Cartalucci menjuluki Suu Kyi sebagai "diktator demokratis
baru Myanmar". Julukan ini kurang lebih sama dengan yang pernah
disematkan Lindsay sekitar tujuh bulan lalu ketika menyikapi kemenangan
Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Hingga saat ini tak ada perkembangan berarti yang terjadi di Rakhine
khususnya yang dirasakan warga Rohingya. Laporan terakhir menyebutkan,
sebanyak 3.000 warga Rohingya diberikan perlindungan oleh pemerintah
China. Dan 500 orang dilaporkan menyeberang ke Bangladesh dengan membawa
kisah horor.
"Tentara Myanmar membunuh ayah dan kakekku...," kata seorang remaja berusia 17 tahun, Mohammad Amin.
"Sejauh mataku memandang, yang tampak hanya rumah-rumah yang dibakar. Aku tak tahu bagaimana nasib ibu dan adikku," imbuhnya.