Portal Berita Tentang Sains, Teknologi, Seni, Sosial, Budaya, Hankam dan Hal Menarik Lainnya
Senin, 14 November 2016
Nestapa Pangeran Muslim Afrika yang Jadi Budak di AS
Setelah
selesai sekolah, Pangeran Abdulrahman Ibrahim Ibn Sori kembali ke Futa
untuk memulai tugas-tugas seputar tahta ayahnya. Abdulrahman Ibrahim Ibn
Sori. (Sumber Wikipedia)
CB, New York -
Abdulrahman Ibrahim Ibn Sori, yang dikenal juga sebagai Abdul Rahman,
lahir di Timbo, Afrika Barat. Sekarang, negeri itu dikenal sebagai
Guinea.
Ia adalah seorang Fulbe dari tanah Futa Jallon. Ayahnya, seorang
sultan kaya raya, mampu mengirimnya untuk belajar di Mali, Timbuktu,
pada 1771.
Timbuktu adalah sebuah kota di Kawasan Tombouctou, tempat kediaman
bangsa Mail. Kota itu sekaligus menjadi tempat kedudukan Universitas
Sankore yang menjadi pusat intelektual dan spiritual yang menjadi
pondasi Islam di Afrika pada Abad ke-15 dan 16.
Dikutip dari The Vintage News pada Jumat (11/11/2016),
Abdulrahman mempelajari hukum dan filsafat. Setelah selesai sekolah, ia
kembali ke Futa untuk memulai tugas-tugas di lingkaran takhta ayahnya.
Ketika tiba di Futa, ia menjadi pemimpin salah satu divisi pasukan sang ayah.
Sejak saat itu, urusannya justru menjadi runyam. Kira-kira pada 1788,
pada usia sekitar 26 tahun, Ibrahim memimpin salah satu divisi ayahnya
dalam peperangan. Mereka kalah dan ia menjadi tawanan lawannya, suku
Heboh.
Ia kemudian dijual kepada beberapa pedagang budak hingga akhirnya tiba di Amerika Serikat pada 1788.
Ia dilelang dan menjadi budak Kolonel Thomas Foster, dipekerjakan tanpa upah menjadi pemetik di perkebunan kapas di negara bagian Mississippi.
Ibrahim mengerti benar soal kapas. Pengetahuannya itu membantunya
naik ke posisi yang memegang wewenang di perkebunan. Pada akhirnya, ia
menjadi mandor.
Di situ ia bertemu dengan Dr. John Cox yang sebelumnya diselamatkan
oleh keluarga Ibrahim -- setelah Cox yang terjangkit penyakit
ditinggalkan oleh kapalnya.
ILustrasi perkebunan kapas di negara bagian Mississippi pada masa perbudakan. (Sumber The Vintage News)
Cox menceritakan kisahnya kepada Foster dan meminta untuk membeli sang pangeran supaya bisa dibantu pulang ke Afrika.
Foster menolak tawaran itu karena Ibrahim adalah salah satu budaknya yang terbaik dan paling bernilai.
Pada 1862, Ibrahim memutuskan untuk menulis surat kepada Presiden dan pimpinan legislatif Amerika Serikat.
Ia mengirim salinannya kepada Sultan Maroko dan pelindung bangsa
Moor, yang meminta penegakan haknya sesuai dengan Pasal 2, 6, 16, dan 20
dalam Perjanjian Persahabatan antara Amerika Serikat dan Maroko yang
ditandatangani pada 1776.
Setelah Sultan Maroko membaca surat itu, ia meminta kepada Presiden
John Adam dan Menteri Dalam Negeri Henry Clay untuk membebaskan Ibrahim
Abdul Rahman.
Setelah 40 tahun, sang pangeran akhirnya dibebaskan dan pulang ke Afrika, tapi meninggal dunia sebelum tiba di kampung halaman.