WHO mengatakan di dalam satu pernyataan bahwa terhentinya penularan tersebut adalah prestasi besar bagi satu negara yang sebelumnya melaporkan jumlah paling banyak kematian akibat wabah yang paling besar, paling lama, dan paling rumit sejak Ebola pertama kali muncul pada 1976.
Saat terjadi puncak penularan pada Agustus dan September 2014, negara itu melaporkan terjadi sebanyak 300 sampai 400 kasus baru setiap pekan.
WHO menyatakan hal itu merupakan prestasi bagi pemerintah dan rakyat Liberia. Rakyat dan pemerintah Liberia, disebutkan, telah menunjukkan tekad untuk mengalahkan Ebola yang tak pernah pudar.
Para dokter dan perawat terus merawat pasien, bahkan ketika saat pasokan perlengkapan perlindungan diri dan pelatihan yang dimilikinya tak memadai, kata Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Ahad pagi. Secara keseluruhan, 375 pekerja kesehatan tertular dan 189 kehilangan nyawa mereka.
Relawan lokal, yang bekerja di pusat perawatan, pada tim pemakaman, atau sebagai pengemudi ambulans, dinilai memiliki tanggung-jawab yang tinggi untuk mengakhiri Ebola serta membawa kembali harapan bagi rakyat negeri tersebut.
Saat jumlah kasus meningkat drastis, bantuan internasional mulai mengalir ke negeri itu. Semua upaya tersebut mendorong jumlah kasus Ebola turun menjadi nol.
Kasus terakhir di Liberia adalah seorang perempuan di Daerah Monrovia, yang terserang gejala pada 20 Maret dan meninggal pada 27 Maret. Sumber penularannya masih diselidiki.
Sebanyak 332 orang yang mungkin telah berhubungan dengan pasien itu diidentifikasi dan dipantau secara seksama. Tak seorang pun memperlihatkan gejala, dan semuanya telah diperkenankan pulang dari rumah sakit.
Walau demikian, para pejabat kesehatan tetap melakukan pengawasan seksama untuk memantau kasus baru. Selama April, lima laboratorium yang memusatkan perhatian pada Ebola di negeri tersebut memeriksa sebanyak 300 sampel setiap pekan. Semua hasil pemeriksaan itu negatif.
Meskipun WHO yakin bahwa penularan telah terhenti di Liberia, wabah tersebut masih menyerang di negara tetangganya, Guinea dan Sierra Leone, sehingga menciptakan resiko tinggi bahwa orang yang tertular mungkin menyeberang ke dalam wilayah Liberia melewati penjagaaan perbatasan yang sangat longgar di wilayah itu.
Credit ANTARA News