"Kabar terakhir yang kami dapat, berkasnya sudah masuk di meja Sekretariat Negara. Kami sih berharap minggu depan selesai, kalau bisa hari ini ya hari ini selesai," ujar Ketua Umum Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Eddy Kurniawan Logam di Jakarta, Rabu (20/5).
Meskipun menginginkan hal ini segera direalisasikan, Eddy menginginkan agar BMDTP ini tidak berlaku selamanya demi mendukung pengembangan industri komponen galangan kapal dalam negeri. Bahkan ia menginginkan pengenaan bea masuk komponen impor kembali jika Indonesia sudah bisa melakukan produksi komponen galangan kapal secara domestik.
"Memang kita minta ke Kementerian Perindustrian untuk bebaskan bea masuk terlebih dahulu, tapi kita tidak mau seperti itu terus. Kalau nantinya sudah bertumbuh (industri komponen galangan kapal dalam negeri), satu persatu kita minta kenakan bea masuk lagi," tegasnya.
Seperi diberitakan sebelumnya, pemerintah telah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003 tentang fasilitas PPN dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 tentang insentif PPh untuk membebaskan industri galangan kapal dari pajak dan pembebasan bea masuk bagi komponen impor industri ini.
Awalnya, kebijakan ini direncanakan berlaku mulai 1 Januari 2015 yang lalu. Namun hingga sekarang belum ada kejelasan kapan para pengusaha bisa menikmati fasilitas tersebut. Bahkan pada bulan Maret lalu, Iperindo sempat melayangkan surat audiensi kepada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian Perindustrian.
Credit CNN Indonesia
Industri Galangan Kapal Masih Terjepit Komponen Impor
Galangan kapal di Tegal, Jawa Tengah. (CNN Indonesia/Antara Photo/Oky Lukmansyah)
Komponen industri galangan kapal yang masih impor menyebabkan produksi kapal dalam negeri lebih sedikit dibandingkan permintaan kapal asal luar negeri.
Seperti diutarakan Ketua Umum Iperindo Eddy Kurniawan Logam, industri galangan kapal perlu meningkatkan TKDN agar biaya produksinya lebih efisien dibandingkan kapal produksi negara lain. Ia mengatakan, harga kapal ukuran menengah besar produksi dalam negeri bisa lebih mahal lima hingga 20 persen apabila dibandingkan dengan kapal ukuran serupa yang dibangun oleh negara Asia lainnya.
"Biaya pembuatan kapal kita selama ini kurang efisien karena sebagian besar komponennya masih impor dari luar negeri. Selain karena hal itu, masalah bea masuk komponen yang besar dan bunga usaha yang tinggi juga sangat disayangkan pelaku usaha," ujar Eddy ketika ditemui selepas mengisi acara di Jakarta, Rabu (20/5).
Meskipun sudah ada beberapa komponen kapal yang bisa diproduksi dalam negeri, namun Eddy menambahkan bahwa daya saing komponen dalam negeri masih kalah dibanding negara lain. Ia mencontohkan komponen pelat baja yang sebenarnya sudah bisa diproduksi dalam negeri namun harga jual domestiknya masih lebih mahal dibanding produksi Tiongkok.
"Sebenarnya, pelat baja sudah bisa dihasilkan oleh Krakatau Postco dan produsen lainnya, namun harga mereka masih lebih mahal gara-gara perlakuan dumping baja asal Tiongkok sebagai dampak dari perekonomian mereka yang cooling down," katanya menambahkan.
Demi menambah daya saing komponen galangan kapal dalam negeri, Eddy berharap pemerintah segera menciptakan iklim investasi komponen galangan kapal yang kondusif, seperti konsistensi kepengurusan pajak.
Sebagai informasi, industri galangan kapal masih mengimpor mesin, gearbox, pompa, dan komponen lain, di mana total komponen impor memiliki porsi sebanyak 70 hingga 80 persen dari total komponen secara keseluruhan.
Sedangkan data Iperindo menunjukkan bahwa kapasitas kapal nasional sebesar 1,2 juta unit per tahun dengan utilisasi sebesar 50 persen, atau sebesar 200 hingga 300 dead weight ton (DWT) pada tahun 2014. Angka produksi ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan Filipina dengan jumlah produksi mencapai 4,6 juta DWT serta Tiongkok dengan jumlah produksi 45 juta DWT pada periode yang sama.
Credit CNN Indonesia